Midah: Simanis Bergigi Emas
Pramoedya Ananta Toer
Lentera Dipantara
Cet. 1, Juli 2003
432 hal.
Di kata pengantar, tertulis bahwa ini adalah ‘Ini
adalah novel ringan. Ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada warsa 50-an dengan
setting tempat: DJAKARTA’ (hal. 5). Ringan
tapi
Berkisah tentang Midah, anak perempuan yang
manis, dimanja oleh kedua orang tuanya. Selama 9 tahun, ia menjadi anak
satu-satunya. Hadji Abdul benar-benar memanjakan putri semata wayangnya itu. Midah
selalu ditimang, dipangku, diajak mendengarkan nyanyian dari Umi Kulsum,
penyanyi asal Mesir.
Hadji Abdul, gambaran juragan di tahun 1950an.
Asal Cibatok. Pernah pergi ke Mesir dan sangat membanggakan bahwa ia berhasil
keluar dari kampungnya, tak seperti teman-temannya yang katanya penakut. Taat
shalat, rajin berdzikir.
Sebagai laki-laki, tentulah ia mendambakan punya
anak laki-laki. Siang-malam, tak henti-hentinya ia berdoa kepada Allah. Dan
suatu hari, Allah pun berkenan mengabulkan doanya. Selamat besar-besaran
diadakan. Kegembiraan terus berlanjut hingga lahirlah bayi yang
ditunggu-tunggu, tak hanya satu, tapi adik Midah terus bertambah.
Namun, justru inilah awal kesedihan dan
pemberontakan Midah. Dengan lahirnya adik-adik Midah, ia tak lagi jadi pusat
perhatian orang tuanya. Midah pun mencari kesenangan lain di luar. Salah
satunya dengan mengikuti rombongan orkes keroncong yang sedang berkeliling.
Dari sini pengetahuan musik Midah bertambah. Tak lagi hanya kenal Umi Kulsum,
tapi juga lagu-lagu yang kala itu sedang terkenal. Tapi, bagi ayahnya,
musik-musik seperti ini adalah hal yang haram. Kemarahan Hadji Abdul jadi tak
terkendali.
‘Penderitaan’ bagi Midah mengalami puncaknya kala
ia dinikahkan dengan Hadji Trebus, pria pilihan ayahnya asal Cibatok yang kaya
dan juga taat beragama, yang ternyata sudah punya istri banyak. Dalam keadaan
hamil, Midah memutuskan untuk melarikan diri.
Perjuangan hidup bagi Midah yang sesungguhnya
dimulai. Dari anak yang biasa dimanja, segalanya serba ada, Midah harus
berusaha sendiri, mencari uang dengan bergabung di rombongan pemusik keliling,
alias mengamen di rumah makan. Kecantikannya begitu menggoda bagi anggota
rombongan yang mayoritas laki-laki itu.
Dalam keadaan hamil dan kemudian melahirkan bayi
laki-laki membuat posisi Midah makin sulit. Anggota pemusik itu tak lagi mau
menerima Midah. Midah akhirnya dibantu oleh seorang polisi, yang kemudian akan
membuka jalan Midah menjadi penyanyi radio.
Yah, inilah cerita tentang Midah, yang berjuang
untuk bertahan hidup. Ia berusaha menjaga moralnya sebagai perempuan dan
seorang ibu. Tapi, di belantara Djakarta ini,
tak mudah untuk melawan pesona seorang laki-laki yang begitu baik. Belum lagi
cemooh orang-orang kala ia hamil dan melahirkan tapi tak ada suami yang
mendampinginya. Begitu mudah terkadang orang menilai, menghakimi seseorang,
tanpa tahu apa permasalahan yang sebenarnya.
Dan ternyata, rajin shalat dan berdzikir tak
menjadikan seseorang rendah hati. Harta juga masih dianggap yang utama. Lihat
bagaimana Hadji Abdul memilih jodoh untuk Midah. Lain halnya Hadji Trebus, yang
tampak tak risau istrinya pergi dalam keadaan hamil.
__ ‘Perkenalan dengan karya Pramoedya Ananta
Toer’__
Dimulai ketika munculnya buku-buku PAT, yaitu
Tetralogi Pulau Buru di Gramedia. Kontroversi yang masih melekat kala itu,
sempat membuat beberapa orang yang tahu gue membaca buku itu ‘khawatir’. Alasan
gue membeli buku beliau ketika itu, yah, pertama sih karena pengen tahu ya.
Mungkin sekitar tahun 2000, pengaruh milis pasarbuku, membuat gue jadi ikut
penasaran, pengen ikut ‘sok bersastra Indonesia’, padahal biasanya bacaan gue
berkisah buku-buku novel Danielle Steel atau romance lainnya. Si mantan pacar
ini bilang, “Baca deh, sekali-sekali baca yang begini.”
Ok… gue pun baca Bumi Manusia(dan oopss… baru
buku ini yang gue punya dari seri Tetralogi Pulau Buru). Dan, ternyata… bagus…
Gue gak terlalu ngerti dengan segala kontroversi yang bikin PAT sampai
dipenjara dan karya-karyanya dilarang terbit. Bagi gue, Bumi Manusia adalah
novel bernuansa sejarah.
Setelah itu, gue mulai membaca buku-buku PAT yang
lain, tapi lebih ke yang tipis-tipis. Hehehe, seperti Gadis Pantai, Midah:
Simanis Bergigi Emas, dan Bukan Pasar Malam. Rahib Tanzil juga salah satu (yang
lagi-lagi) mempengaruhi gue untuk membaca karya-karya PAT.
Salah satu peninggalan Pramoedya Ananta Toer yang
paling berharga untuk gue adalah, di buku Nyanyian Sunyi Seorang Bisu, yang
dihadiahkan temen gue pas gue ulang tahun, ada tanda tangan beliau lengkap
dengan ucapan ulang tahun…. Hmmm… sampai sekarang gue gak tau bagiaman temen
gue ini bisa dapet tanda tangan beliau…