Friday, May 25, 2007

The Bartimaeus Trilogy # 1: The Amulet of Samarkand

The Bartimaeus Trilogy # 1: The Amulet of Samarkand (Amulet Samarkand)
Jonathan Stroud
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU, Mei 2007
512 Hal.

Seorang anak yang berpotensi jadi penyihir, jika ia sudah cukup umur, maka keluarganya akan menyerahkan anak itu untuk diasuh oleh seorang penyihir senior atau yang akan disebut ‘Master’. Tapi, sejak anak itu diserahkan oleh keluarganya, maka hubungan dengan keluarga lamanya akan sama sekali terputus, bahkan ia harus melupakan nama lahirnya dan akan diberikan nama baru. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik-konflik yang dapat melemahkan si penyihir yang mungkin akan dimanfaatkan oleh para musuhnya.

Di usia yang baru 6 tahun, Nathaniel harus berpisah dengan orang tuanya yang tidak peduli dan langsung pergi setelah mengantarkan Nathaniel. Nathaniel pun diasuh oleh seorang penyihir yang bekerja di pemerintahan sebagai menteri, bernama Mr. Underwood. Nathaniel yang membisu seribu bahasa dalam perjalanan ke rumah Mr. Underwood, tersentuh oleh perhatian Mrs. Underwood pada dirinya dan membuatnya sangat menyayangi Mrs. Underwood.

Pendidikan sebagai penyihir berlangsung secara bertahap. Tapi, Mr. Underwood selalu bersikap meremehkan Nathaniel dan tidak menyadari bakat terpendam Nathaniel. Sebagai anak-anak, terkadang Nathaniel bersikap tidak sabar dengan pelajaran yang berjalan lamban.

Suatu hari, ketika Nathaniel berusia 10 tahun, ketika ada sebuah acara di rumah Mr. Underwood, Nathaniel diajak untuk bergabung. Sebagai penyihir pemula, ia tidak seharusnya ikut campur atas apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Semua penyihir dalam ruangan itu hanya menganggap dirinya sebelah mata. Dalam keadaan terdesak, Nathaniel mengeluarkan kemampuan yang bisa dibilang cukup istimewa untuk seorang penyihir pemula. Namun, tentu saja kemampuannya belum sebanding dengan kemampuan yang dimiliki penyhiri senior, yang salah satunya bernama Simon Lovelace. Simon Lovelace mempermalukannya di depan umum, dan masternya, Mr. Underwood, tidak melakukan apa pun untuk membelanya.

Sejak saat itu, Nathaniel menaruh dendam pada Simon Lovelace dan berniat akan membalas perbuatannya. Diam-diam, Nathaniel mempelajari semua buku yang ada di perpustakaan Mr. Underwood. Hingga saat yang tepat tiba, Nathaniel pun memanggil jin yang sudah berusia lebih dari 5000 tahun, sebuah pemanggilan yang jauh melebihi kemampuan penyihir seusianya.

Jin itu bernama Bartimaeus, yang diberi tugas oleh Nathaniel untuk mencuri Amulet Samarkand dari tangan Simon Lovelace. Amulet Samarkand adalah sebuah bandul yang dapat menyerap semua kekuatan yang bisa menghindarkan si pemakainya dari berbagai bahaya dan serangan.

An amulet (from Latin amuletum; earliest extant use in Natural History [Pliny], meaning "an object that protects a person from trouble") or a talisman (from Arabic tilasm, ultimately from Greek telesma or from the Greek word "talein" which means "to initiate into the mysteries.") consists of any object intended to bring good luck and/or protection to its owner. Potential amulets include: gems or simple stones, statues, coins, drawings, pendants, rings, plants, animals, etc.; even words said in certain occasions—for example: vade retro satana—(Latin, "go back, Satan"), to repel evil or bad luck.

http://en.wikipedia.org/wiki/Amulet

Simon Lovelace sendiri mencuri Amulet Samarkand dari pemilik sebelumnya dengan tujuan untuk dipergunakannya dalam menggulingkan pemerintahan saat ini. Ia berambisi untuk menjadi Perdana Menteri dan sedang menyiapkan rencana besar untuk mewujudkan impiannya.

Tugas ini sangat berbahaya dan menyeret Nathaniel dan Bartimaeus ke dalam sebuah masalah yang besar. Meskipun pada awalnya tidak ada yang mencurigai bahwa Nathaniel-lah yang menjadi otak pencurian itu. Kecurigaan mengarah pada sebuah kelompok pemberontak yang disebut Resistance.

Bartimaeus harus menempuh perjalanan yang berbahaya untuk mengantarkan Amulet Samarkand kepada Nathaniel. Dan, ia pun sempat tertangkap dan bertemu dengan musuh-musuh lamanya.

Lain halnya dengan Nathaniel, perbuatan nekadnya ini membuatnya kehilangan masternya. Ia pun harus menghadapi berbagai ancaman yang bisa saja melenyapkan nyawanya.

Paling asyik adalah kalo baca ‘perjalanan’nya si Bartimaeus. Kaya’nya jin ini cerewet banget, kadang sombong, kadang gengsi, kadang sok pinter, suka ngelawan, tapi terpaksa nurut sama Nathaniel, kalo nggak dia bakalan terperangkap di dalam sebuah kotak di dasar sungai Thames.

Sementara itu, Nathaniel, jenis anak yang serius, kaya’nya hampir gak pernah dia ceria atau senyum. Jenis anak yang dikira biasa-biasa aja, tapi ternyata menyimpan potensi yang besar.

Friday, May 18, 2007

Tiga Sekawan Wright (The Wright 3)

Tiga Sekawan Wright (The Wright 3)
Blue Balliet
Brett Helquist (Ilustrasi)
Edrijani (Terj.)
Qanita, Cet. I – Maret 2007
356 Hal.

Sebuah rumah bersejarah terancam akan dihancurkan. Robie House nama rumah itu. Dibangun oleh Frank Llyod Wright. Dewan Kota berecana akan merubuhkan rumah itu, karena sudah tidak ada dana lagi untuk merawat, apalagi merenovasi rumah itu. Padahal Robie House merupakan sebuah karya seni yang hebat, yang menyimpan banyak simbol misterius.

Miss Hussey, guru Petra, Calder dan Tommy, adalah salah satu yang tidak mendukung perubuhan rumah itu. Ia mengorganisir sebuah demonstrasi yang pesertanya adalah murid-murid kelasnya untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka atas rencana itu.

Petra dan Calder, beserta Tommy Segovia – kawan lama Calder, berusaha menyelidiki misteri di balik Robie House. Tommy, yang sempat cemburu dengan kedekatan Calder dengan Petra, menemukan sebuah ikan batu giok ketika sedang menggali di halaman Robie House. Ikan batu giok itu diduga memiliki nilai tinggi yang jika dijual bisa membantu renovasi dan perawatan Robie House.

Tapi, rupanya ada yang tidak setuju dengan rencana mereka. Robie House yang dikabarkan kosong itu, ternyata sering terlihat ada orang yang mondar-mandir di dalamnya, dan mengintip dari balik jendela. Apakah rumah itu berhantu? Atau itu hanya perbuatan orang-orang yang ingin menghambat usaha mereka?

Yang pasti akibat terlibat dalam kasus ini, Tommy pun akhirnya mau menerima Petra sebagai temannya dan menamakan kelompok mereka sebagai The Wright 3 atau Tiga Sekawan Wright.

Satu yang menarik dari buku ini, adalah sebuah simbol yang digunakan Petra untuk menulis di dalam buku catatannya agar temuan mereka tidak bisa dimengerti orang lain. Simbol ini menggunakan deret Fibonacci yang memang ternyata membingungkan. Selain itu, Calder masih tetap setiap bermain-main dengan Pentomino-nya. Tiga Sekawan Wright sendiri punya kode rahasia yang hanya dimengerti oleh mereka bertiga.

(Fiuhhhh… akhirnya selesai juga baca buku ini. Sempat membosankan… karena mungkin gue belum ‘akrab’ dengan tokoh-tokohnya. Atau emang ceritanya yang lambat ya?)

Thursday, May 17, 2007

The Magdalen

The Magdalen
Prisoner of God: Neraka di Rumah Tuhan
Marita Conlon-McKenna
Retno Wulandari (Terj.)
Dastan Books, Cet. I – Maret 2007
536 Hal.

1944, Perang Dunia II tengah berkecamuk. Warga Irlandia berharap, pemerintah mereka tidak memutuskan untuk bergabung dengan sekutu dalam perang itu. Dan doa mereka terkabul. Di sebuah daerah bernama Connamara, tepatnya di desa Carraig Beag, seorang gadis bernama Esther Doyle tengah berjuang membantu persalinan ibunya, melahirkan anak yang ketujuh. Perjuangan yang luar biasa bagi Majella di usianya yang sudah kepala empat. Bayi perempuan itu lahir dengan kondisi yang tidak sesehat kakak-kakaknya. Bayi itu dipanggil Nonnie.

Esther tumbuh jadi gadis yang cantik. Ia terpaksa berhenti dari sekolah karena ayahnya meminta ia membantu ibunya merawat Nonnie yang memang membutuhkan perhatian ekstra, dan juga membantu segala urusan rumah tangga lain sementara saudara-saudara laki-laki dan ayahnya pergi melaut mencari ikan.

Badai dalam keluarga Doyle datang ketika ayah mereka ditemukan meninggal setelah menghilang beberapa hari saat sedang melaut di tengah cuaca yang tidak bersahabat. Tanggung jawab pun beralih ke kakak tertua, Gerard.

Di masa remajanya, seperti yang lainnya, Esther kerap datang ke acara pesta dansa yang diadakan di bar setempat. Di sebuah pesta dansa, Esther berkenalan dengan seorang pemuda pendatang yang bekerja di peternakan tetanggganya. Esther tidak bisa menolak pesona Conor dan ia pun menyerahkan dirinya pada pemuda itu.

Bencana datang lagi. Kali ini, Nonnie kecil mereka yang jadi korban. Majella menyalahkan Esther atas peristiwa ini karena menganggap Esther lalai menjaga Nonnie yang menjadi tanggung jawabnya. Belum habis rasa bersalah Esther akibat kejadian itu, ia mendapati dirinya hamil tapi harus menyimpannya sendiri karena Conor tidak mau bertanggung jawab.

Tapi, kehamilan itu tidak dapat disembunyikan terlalu lama. Akhirnya Majella pun mengetahuinya dan mengutuk puterinya karena sudah membawa aib bagi keluarga Doyle.

Tanpa punya pilihan lain, Esther terpaksa menyetujui usul bibinya untuk bersembunyi sementara di sebuah biara, yang disebut pusat rehabilitasi bagi para pendosa. Tempat itu dikenal dengan nama Magdalen Laundry. Nama tempat itu diambil dari nama Maria Magdalena.

Magdalen Laundry dikelola oleh beberapa biarawati. Tempat itu bagaikan penjara atau bahkan lebih buruk. Tidak ada yang namanya kasih sayang di tempat ini. Semua perempuan yang senasib dengan Esther diharuskan bekerja di binatu seharian, diberi makan seadanya, bahkan terkadang mereka harus mengais-ngais tong sampah untuk mencari makanan. Mereka bekerja tanpa diberi upah. Tidak ada tempat bagi mereka untuk melupakan dosa yang telah mereka perbuat. Sikap para biarawati sama sekali tidak bersahabat. Belum cukup dengan perlakuan buruk yang mereka terima, bayi-bayi ‘haram’ yang lahir dari rahim mereka ‘direnggut’ dari ibunya dan diserahkan ke panti asuhan untuk diadopsi.

Di tengah kerinduan pada keluarga yang sudah ‘membuang’nya dan dalam keadaan hamil, Esther berusaha menerima keadaannya yang baru dan menjadikan penghuni Magdalen Laundry sebagai keluarganya yang baru.

Kisah ini diangkat dari sebuah kejadian nyata. Di mana, sejak abad pertengahan abad ke-19 sampai tahun 1996, di Irlandia memang banyak terdapat pusat rehabilitasi untuk para perempuan yang terbuang dari keluarganya. Magdalen Laundry terakhir ditutup pada tanggal 25 September 1996.

Sunday, May 13, 2007

Lola Rose

Lola Rose
Jacqueline Wilson
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU, April 2007
304 Hal.

Karena tidak tahan dengan perlakuan Dad yang suka berkata kasar dan ringan tangan, Mum memutuskan untuk melarikan diri dari rumah. Dengan berbekal uang lotere yang baru saja dimenangkannya, Mum mengajak Jayni dan Kenny untuk pergi bersamanya. Mereka pergi menuju kota London dan menginap di sebuah hotel mewah. Tentu saja, mereka tidak khawatir, uang Mum kan banyak. Bukan hanya itu, agar tidak bisa dilacak oleh Dad, mereka berganti nama. Mum yang bernama Nikki menjadi Victoria Luck; Jayni jadi Lola Rose dan Kenny menjadi Kendall.

Tapi, makin lama, karena gaya hidup mereka yang mewah dan tidak terkontrol, uang lotere Mum dengan cepat berkurang. Jayni, meskipun masih kecil, sikapnya sangat dewasa. Ia memaksa Mum untuk segera keluar dan hotel itu dan mencari perumahan yang sederhana.

Setelah menemukan tempat tinggal baru, Mum mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di bar, Lola Rose dan Kendall masuk ke sekolah baru. Kehidupan baru mereka terkadang berjalan lancar, tapi kadang kacau-balau. Ditambah lagi sikap Mum yang terkadang terlalu cuek. Bahkan seolah Lola Rose-lah yang sebenarnya bertanggung jawab atas keluarga itu. Ia yang harus memperingatkan Mum untuk tidak lagi main mata dengan laki-laki lain, ia yang harus mengurus Kendall jika ia sedih.

Kehidupan mereka, selain masalah-masalah di atas, terbilang cukup baik. Mereka berhasil bersembunyi dari Dad. Tapi, ada masalah baru lagi. Bukan hanya karena Mum yang berhasil menggaet cowok baru yang masih sangat muda, tapi ternyata Mum menderita penyakit yang mengerikan. Mum harus masuk rumah sakit, sementara itu Lola Rose dan Kendall terpaksa tinggal di rumah berdua.

Suatu hari, karena tidak punya uang lagi, Lola Rose menghubungi Bibi Barbara, satu-satunya keluarga Mum yang ia kenal. Untung Bibi Barbara sangat baik, ia menjaga mereka Lola Rose dan Kendall sementara Mum di rumah sakit.

Tapi, sampai kapan mereka bisa bersembunyi dari Dad?

Gak nyangka novel anak-anak bisa sedemikan ‘dewasa’. Isi buku ini, bukan bercerita tentang anak yang selalu happy, tapi cerita gimana Lola Rose berjuang mengurus Mum dan Kendall yang kadang kacau. Apalagi waktu Lola Rose dipukul Dad… aduh… dia bisa nahan perasaan dan dewasa banget.

Satu lagi yang gue suka dari Lola Rose… anaknya kreatif. Asyik deh, ngebayangin kalo Lola Rose lagi bikin kolase di buku hariannya. Mungkin ‘hasil karya’ Lola Rose bisa dilihat ilustrasi setiap awal bab.

Thursday, May 10, 2007

OUT (Bebas)

OUT (Bebas)
Natsuo Kirino
Lulu Wijaya (Terj.)
GPU, April 2007
576 Hal.

Empat orang perempuan bekerja pada shift malam di sebuah pabrik makanan kotakan. Mereka cukup dekat, meskipun tidak bisa dikatakan bersahabat. Mereka berempat biasa bekerja dalam satu baris atau satu kelompok dan saling mem-back up satu sama lain. Keempat wanita itu adalah Yayoi, Masako, Yoshie, dan Kuniko.

Mereka semua punya masalah tersendiri dengan rumah tangga mereka yang bisa dibilang tidak bahagia. Misalnya Masako, yang meskipun masih satu rumah dengan suami dan anaknya, tapi hampir tidak pernah ada komunikasi, lalu Yoshie, suaminya sudah meninggal dan ia harus mengurus ibu mertuanya yang sakit-sakitan. Yoshie biasa dipanggil ‘Kapten’ karena ia yang paling cekatan; Kuniko, wanita satu ini ingin selalu tampil ‘berkelas’ meskipun untuk itu ia harus mencari pinjaman ke rentenir agar bisa memenuhi semua kebutuhannya. Setiap bulan ia selalu bermasalah dengan cicilan bulanan dari pinjamannya itu.

Sedangkan Yayoi, ibu dua anak yang masih kecil-kecil, baru saja mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya, Kenji, akhir-akhir ini sering pulang dalam keadaan mabuk dan mulai menghabiskan uang untuk perempuan. Ketika Yayoi protes, Kenji malah memukulnya dan meninggalkan bekas biru di perutnya. Inilah asal mula semua permasalahan.

Karena sakit hati atas sikap suaminya, Yayoi – yang terlihat paling lemah di antara mereka berempat, melakukan tindakan mengerikan dengan membunuh suaminya. Bingung harus berbuat apa, Yayoi pun menelepon Masako agar mau membantunya.

Meskipun juga tidak harus berbuat apa dan atas dasar apa, Masako mau membantu Yayoi. Dan entah apa juga yang merasuki Masako sampai ia akhirnya mengambil tindakan yang sangat mengerikan untuk melenyapkan mayah Kenji. Masako meminta bantuan Yoshie yang dengan terpaksa menuruti permintaan Masako karena hutang budi. Dan Kuniko, pun tanpa sengaja terlibat aksi pemotongan mayat Kenji. Sementara Yayoi sendiri tidak terlibat dalam kejadian ini. Atas perintah Masako, Yayoi harus berperan sebagai istri yang khawatir karena suaminya tidak pulang ke rumah.

Masako, yang bertindak sebagai ‘pimpinan’ dalam hal ini, membagi-bagikan kantong berisi potongan tubuh Kenji pada Yoshie dan Kuniko untuk dibuang di tempat-tempat yang berbeda. Tapi, karena kesalahan satu orang saja yang tidak sabaran dan hanya memikirkan kepentingan sendiri, beberapa kantong berhasil ditemukan, dan polisi pun mulai melakukan penyelidikan.

Tidak ada yang menduga bahwa semua ini dilakukan oleh Yayoi dan teman-temannya – para ibu rumah tangga biasa. Malah, seorang tersangka berhasil ditemukan dan dijebloksan ke penjara. Satake, tersangka itu, harus kehilangan usaha yang bertahun-tahun ia bangun. Satake juga punya masa lalu yang gelap yang membuat ia menjadi tersangka paling kuat.

Rahasia mereka tidak selamanya bisa disembunyikan dengan baik. Di antara mereka lagi-lagi ada yang hanya memikirkan kepentingan sendiri yang malah menjebloksan mereka ke dalam masalah yang lebih besar. Ancaman mulai muncul dari orang-orang yang mengetahui rahasia mereka dan dari orang yang merasa dirugikan oleh mereka. Mereka merasa diawasi dan nyawa mereka pun terancam. Hidup mereka pun tidak aman dan nyaman lagi.

Natsuo Kirino berhasil membangun ketegangan dari awal cerita. Meninggalkan rasa penasaran untuk terus dan terus melanjutkan buku ini sampai selesai. Bagian-bagian yang mengerikan diceritakan dengan halus, tapi, bisa membuat bertanya-tanya, apa yang ada di benak Masako, Yoshie dan Kuniko kala melakukan hal itu. Kalau gue, bener-bener bisa ngerasain betapa dinginnya Masako.

Pembaca bukan hanya diajak untuk mengikuti jalannya sebuah pelacakan pelaku pembunuhan, tapi juga diajak untuk menyelami kehidupan masing-masing tokoh, dan apa yang mereka rasakan sampai semua ini terjadi.

Sempat ketar-ketir juga begitu tau ada ‘adegan’ potong-memotong mayat. Tapi, ternyata gak seburuk itu… I still love sushi… I still love steak… atau… gue udah ikutan Masako yang dingin itu??? Hehehe… Kalo dipikir-pikir, gak ada satupun dalam novel ini, yang tokohnya punya kehidupan yang bahagia. Iya sih… kalo bahagia, gak akan ada kejadian seperti itu. Tapi, semuanya benar-benar gelap. Mungkin kesamaan nasib yang akhirnya menyatukan mereka, meskipun gak kompak.

Terima kasih untuk para ‘kompor’ – Kobo dan Om Tan, karena ternyata… gue suka sama buku ini… (meskipun gak yakin bisa berani kalo nonton filmnya…)

Thursday, May 03, 2007

Nagabonar (Jadi) 2

Nagabonar (Jadi) 2
Akmal Nasery Basral
Akoer, Cet. 1 – April 2007
241 Hal.

Siapa yang tak kenal Jendral Nagabonar? Seorang mantan pencopet yang jadi pejuang di masa penjajah Belanda. Kini, beliau tidak lagi mencopet, Nagabonar sudah tua. Mak, Kirana – istrinya dan Bujang, sahabatnya, sudah meninggal. Tinggal Nagabonar sendiri mengurus perkebunan kelapa sawitnya. Anak satu-satunya, Bonaga, merantau – jadi pengusaha di Jakarta. Hebat kan? Mantan pencopet, jadi jendral, punya kebun kelapa sawit, bisa menyekolahkan Bonaga ke Inggris sampai akhirnya Bonaga jadi pengusaha sukses.

Alkisah, Nagabonar sedang berpamitan di kuburan Mak, Kirana dan Bujang. Bonaga akan segera menjemputnya untuk ikut ke Jakarta, meninjau proyek baru Bonaga. Kocak banget dialog di kuburan ini. Meskipun berat meninggal kuburan orang-orang yang ia sayangi, tapi, sesekali terselip kata-kata kocak… apalagi ketika Nagabonar meninggalkan pesan-pesan pada Bujang.

Di Jakarta, Nagabonar terkejut-kejut dengan segala kondisi yang berbeda dengan kampung halamannya. Belum lagi melihat rumah Bonaga yang mewah itu. Gaya Nagabonar yang cuek bisa mencairkan kekakuan di rumah itu.

Tapi, Nagabonar lebih terkejut lagi dengan rencana Bonaga. Sebuah investor dari Jepang berminat membangun resort yang kebetulan letaknya adalah di kebun kelapa sawit milik Nagabonar. Bukan itu saja, ada kemungkinan proyek itu akan menggusur kuburan Mak, Kirana dan Bujang. Tentu saja, Nagabonar marah besar dan langsung meninggalkan kantor Bonaga.

Seharian Nagabonar pergi keliling Jakarta tak tentu mau kemana dengan bajaj. Semua supir bajaj bingung dibuatnya. Sampai akhirnya, ada satu supir bajaj bernama Umar yang kebetulan tinggal di kampung di belakang rumah Bonaga. Itulah awal persahabatan Nagabonar dengan Umar yang kemudian dengan setia melayani keinginan Nagabonar untuk melihat patung-patung para pejuang kemerdekaan.

Selain masalah proyek ini, ada satu hal lagi yang menjadi pertanyaan Nagabonar, yaitu, kenapa Bonaga belum juga punya calon istri. Ada satu perempuan yang selalu dekat dengan Bonaga, namanya Monita. Tapi, entah kenapa, Bonaga masih malu-malu untuk menyatakan cintanya pada Monita. Sampai akhirnya, Nagabonar pun harus turung tangan. Ternyata, biar sudah melanglang jauh sampai ke Inggris, untuk urusan cinta, Bonaga masih maju-mundur. Wahhh.. Apa kata dunia?!”

Jika kita nonton filmnya, kita disuguhkan, “Ini lho… kehidupan Nagabonar dan Bonaga.” Kita jadi pihak ketiga yang menonton kehidupan mereka. Tapi, dalam novel ini, Nagabonar-lah yang bertutur. Nagabonar yang bercerita. Sehingga, kita lihat, ada adegan-adegan di film di mana Nagabonar tidak terlibat, tidak aka nada dalam buku ini. Sebaliknya, banyak adegan yang di film terlalu singkat, di dalam buku ini, akan diceritakan lebih mendalam, seperti ketika Nagabonar bercerita tentang kisah perjuangan kepadaTulus, anak Umar si tukang bajaj. Lewat novel ini, pembaca mungkin lebih bisa memahami perasaan Nagabonar, karena semua yang dia rasakan benar-benar ‘tercurah’ dalam novel ini.

Mungkin ini adalah novel yang diadaptasi dari scenario film terbaik yang pernah gue baca. Antara film dan novel saling melengkap, tidak tumpang tindih, atau hanya sekedar memindahkan layar bioskop dalam bentuk tulisan.




(covernya ada dua macam, yang gambarnya Deddy Mizwar, atau yang Tora Sudiro. Sebenernya gue punya yang covernya Tora Sudiro. Cuma udah browsing, ketemunya yang gambarnya Deddy Mizwar. Jadi itulah yang gue pajang di sini.)

Tuesday, May 01, 2007

The Liebermann Papers: A Death in Vienna

The Liebermann Papers: A Death in Vienna
Frank Tallis
Esti A. Budihabsari (Terj.)
Qanita, Cet. I 2007
580 Hal.

Seorang wanita ditemukan tewas di apartemennya dengan meninggalkan pesan misterius. Wanita itu bernama Charlotte Löwenstein, dan dikenal sebagai seorang mediator. Setiap minggu, sekelompok orang datang ke apartemennya untuk upacara pemanggilan arwah.

Lötte, begitu ia dipanggil, meninggal dengan luka tembak di dadanya. Tapi, fakta yang ada menunjukkan berbagai keanehan, pintu terkunci dari dalam, tidak ada tanda-tanda orang bisa melarikan diri, lalu ketika dilakukan otopsi, tidak ditemukan peluru dalam tubuh Lotte.

Tepat di malam kematian Lötte, badai hebat sedang melanda Wina. Kematian Lötte kemudian dikaitkan dengan persekutuan dengan setan. Ada kekuatan supranatural yang ‘terlibat’ dalam kematian itu. Fakta itu didukung dengan pesan teakhir yang ditinggalkan Lotte.

Kepolisian setempat yang dipimpin Inspektur Oskar Rheinhardt berusaha memecahkan kasus ini. Meskipun berusaha menggunakan akal sehat dan dengan berdasarkan fakta yang ada, penyelidikan menemui jalan buntu. Akhirnya, Inspektur Rheinhardt meminta bantuan Max Liebermann, seorang psikiater, untuk ikut dalam penyelidikan. Lieberman berusaha menganalisa fakta yang ada dilihat dari sisi yang berbeda. Para tersangka kemungkinan adalah tamu-tamu yang terlibat dalam upacara pemanggilan arwah.

Sementara itu, selain membantu Inspektur Rheinhardt, Liebermann sendiri menghadapi masalah di rumah sakit tempat ia bekerja. Sebuah eksperimen sedang diuji coba. Liebermann tidak setuju dengan sesi elektropi yang dilakukan rekan sejawatnya dalam pengobatan pasien. Ia lebih memilih pendekatan psikologis dalam mengobati trauma seseorang. Salah satu pasiennya, Amelia Lydgate, mengalami kelumpuhan dan ada kecenderungan memiliki kepribadian ganda. Liebermann melakukan pendekatan lewat metode hipnotis untuk menelusuri penyebab trauma yang dialami pasiennya. Miss Lydgate inilah yang nantinya akan membantu Inspektur Rheinhardt dan Liebermann dalam memecahkan kasus kematian Charlotte Löwenstein.

Melalui berbagai analisa dan penyelidikan, akhirnya terungkaplah siapa Charlotte Löwenstein sebenarnya, bagaimana masa lalunya, dan apa benar ia terlibat persekutuan dengan setan.

Masalah pribadi Liebermann juga sempat ‘diulik’, tentang keraguannya untuk meneruskan pertunangannya dengan Clara ke jenjang selanjutnya.

Novel ini dibuka dan ditutup dengan kalimat yang sama, kalimat yang diucapkan Max Liebermann, yaitu:

Itu adalah hari saat terjadinya badai besar. Aku ingat dengan baik karena ayahku
– Mendel Liebermann – mengundangku untuk minum kopi di The Imperial. Aku curiga
bahwa dia punya maksud tertentu…

Buku ini mengajak kita menelusuri kota Wina, diiringi alunan piano musik klasik yang dimainkan oleh Liebermann dan diiringi nyanyian Oskar Rheinhardt. Alur cerita sedikit lambat, tapi bab-babnya yang pendek bisa membuat pembaca penasaran, karena di akhir setiap bab ada misteri baru yang menyisakan tanda tanya.
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang