Monday, June 30, 2008

Nur Jahan: The Queen of Mughal

Nur Jahan: The Queen of Mughal (The Feast of Roses)
Indu Sundaresan @ 2002
Hikmah, Cet, I - Mei 2008
684 Hal.

Setelah 17 tahun, mimpinya jadi kenyataan, Mehrunnisa menjadi istri Sultan Jahangir ke dua puluh dan yang terakhir. Pernikahan ini benar-benar berdasarkan cinta, tidak dicampuri oleh urusan politik. Karena tidak ada darah ningrat dalam diri Mehrunnisa yang akan membawa keuntungan bagi Kesultanan Mughal.

Tapi, ternyata hal ini tidaklah cukup bagi Mehrunnisa, yang kemudian diberi gelar Nur Jahan – Cahaya Dunia – oleh Sultan Jahangir. Ambisi masa kecilnya untuk menjadi seorang ratu, berkembang menjadi ambisi untuk menguasai kedudukan yang lebih tinggi sejauh yang diperkenankan sang Sultan. Nur Jahan ingin menjadi wanita nomer satu di dalam zenana, yang berarti menggeser kedudukan Ratu Jagat Gosini sebagai Padshah Begam.

Nur Jahan juga ingin mempunyai peranan dalam urusan pemerintahan. Ia ingin menguasai Sultan Jahangir. Dan, Sultan Jahangir pun menjadi seolah ‘boneka’ yang memainkan peran atas keinginan Nur Jahan. Demi mempertahankan kedudukannya, Nur Jahan merangkul Ghias Beg, ayahnya, lalu Abul, kakak laki-lakinya dan Pangeran Khurram yang bertunangan dengan Arjumand, keponakan Nur Jahan. Nur Jahan ikut serta dalam pengambilan keputusan tentang kedatangan Inggris dan Portugis di India.

Banyak pihak-pihak yang tidak rela Sultan mereka ‘diperintah’ oleh sang Ratu. Kala itu, amatlah tabu seorang perempuan berperan secara langsung dalam pemerintahan. Tapi, seolah buta dan tuli, Sultan Jahangir tak peduli dengan protes dan meluluskan semua permintaan Nur Jahan demi rasa cintanya.

Ketamakan Nur Jahan malah menghasilkan kekacauan yang akhirnya malah membuatnya jatuh. Tak puas sudah berhasil menikahkan Pangeran Khuram dengan Arjumand, Nur Jahan malah meminta Pangeran Khuram untuk menikah lagi dengan putri semata wayangnya, Ladli. Permintaan itu ditolak Pangeran Khurma. Nur Jahan berang, dan meminta kepada Sultan Jahangir untuk mencoret nama Pangeran Khuram sebagai penerus takhta berikutnya.

Di antara empat putra Sultan Jahangir, hanyalah Pangeran Khuram yang memiliki potensi sebagai Sultan berikutnya. Pangeran Khusrau, setelah pemberontakan merebut mahkota dari ayahnya sendiri, telah dibutakan oleh Sultan Jahangir, dan dikabarkan menjadi setengah gila. Lalu Pangeran Parviz, kerjanya hanya mabuk-mabukan dan sama sekali tidak bisa diandalkan. Terakhir, ada Pangeran Shahryar yang tidak peduli terhadap pemerintahan, selama ia bisa puas bermain-main dengan para dayang-dayangnya.

Pemberontakan demi pemberontakan datang mengancam Kesultanan Mughal. Kesehatan Sultan Jahangir mulai menurun akibat asma yang dideritanya. JuntaI yang dibentuk Nur Jahan pun pecah. Pangeran Khuram memilih untuk memberontak, menghalalkan segala cara, termasuk membunuh saudaranya sendiri, demi mengamankan posisinya sebagai pewaris mahkota berikutnya.

Andai saja, Nur Jahan sedikit lebih sabar, ‘kudeta’ tak disengaja tidak akan terjadi. Tapi, akhirnya, Nur Jahan hidup dalam pengasingan. Namanya pelan-pelan memudar. Dibanding keponakannya, Arjumand yang hanya berperan sebagai ratu selama empat tahun, nama Nur Jahan seolah lewat saja dalam sejarah India. Tapi, tidak ada, ratu yang memiliki koin yang tercetak atas namanya selain Nur Jahan. Paling tidak, Nur Jahan sudah berhasil menancapkan kukunya dalam pemerintahan selama 17 tahun sebagai Ratu Mughal.

Buku kedua ini, sekuel dari Mehrunnisa: The Twentieth Wife, lebih banyak bercerita tentang sepak terjang Mehrunnisa dalam kancah politik. Meskipun dimodifikasi sana-sini, cerita dalam buku ini menggambarkan sejarah India yang ternyata ‘penuh darah’. Bener-bener menunjukkan kalau Mehrunnisa adalah perempuan yang ambisius, keras, terkadang licik.

Tuesday, June 10, 2008

Apartemen Yacoubian: Kecamuk Cinta di Bumi Seribu Menara

Apartemen Yacoubian: Kecamuk Cinta di Bumi Seribu Menara
(‘Imarat Ya’qubyan)

Alaa Al Aswany @ 2002
Anis Masduki (Terj.)
Serambi – April 2008
358 Hal.

Pada tahun 1934, seorang hartawan asal Armenia bernama Hagop Yacoubian, mendirikan sebuah apartemen yang berlokasi di Jalan Sulaiman Pasha, Mesir. Apartemen ini kemudian diberi nama yang sama dengan nama pemiliknya. Apartemen Yacoubian mempunyai arsitektur bergaya Eropa klasik. Pada awalnya, penghuni apartemen ini adalah orang-orang penting, berasal dari kalangan bangsawan, pejabat pemerintahan dan para pengusaha asing. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, berbagai kejadian – revolusi di Mesir, meninggalnya si pemilik – turut merubah ‘penghuni’ dari apartemen itu.

Di masa sekarang, penghuni apartemen itu berasal dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang yang unik. Ada yang kaya, ada yang miskin, ada pemuda jujur, bahkan orang-orang yang licik. Bagian-bagian apartemen itu pun ada yang dialihfungsikan. Misalnya, di bagian atap bangunan itu ada kamar-kamar besi yang awalnya adalah ruang penyimpanan barang-barang dari penghuni apartemen itu. Namun, kepimilikan yang terus berganti, membuat fungsi kamar besi pun berubah menjadi ‘rumah tinggal’ bagi masyarakat kelas bawah.

Novel ini pun berkisah tentang liku-liku kehidupan para penghuni apartemen yang sebagian besar ‘bernuansa’ suram. Sebut saja, Zaki Bey. Ia bukan penghuni tetap apartemen ini, tapi, ia mempunyai kantor di gedung ini yang merupakan warisan ayahnya. Zaki Bey, seorang laki-laki tua yang masih melajang tapi gemar main perempuan. Setiap orang yang kenal dengannya, sering minta pendapat Zaki Bey untuk menaklukan perempuan.

Lain lagi, dengan Haji Muhammad Azzam, yang mempunyai kios toko pakaian di apartemen ini, menggunakan salah satu kamar untuk ‘menyembunyikan’ istri simpanannya, Suad, perempuan Mesir asal Aleksandria yang menikahinya karena alasan uang. Diceritakan juga bagaimana sepak terjang Haji Azzam untuk masuk ke dunia politik dengan cara yang licik.

Itu belum seberapa dengan Hatim, redaktur koran yang menjadikan kamar apartemennya untuk melakukan sebuah hubungan terlarang dengan tentara miskin bernama Abduh. Meski Abduh sudah punya istri dan anak, tapi toh tidak menghalangi mereka terus menjalani hubungan sesama jenis.

Sementara itu, kisah di bagian atap bangunan ini juga tak kalah rumit. Adalah Thaha, seorang pemuda yang idealis. Ia kerap dijadikan bahan olok-olok anak-anak di gedung itu hanya karena ia adalah anak seorang bawwah – seorang pembantu. Ia berusaha membangkitkan rasa percaya dirinya dengan bercita-cita menjadi seorang polisi, agar orang-orang tidak lagi memandangnya sebelah mata. Tapi, justru cita-cita itulah, yang membuatnya kecewa dan berganti haluan. Ketika ia melanjutkan kuliahnya, Thaha bergabung dengan sebuah kelompok Muslim yang radikal. Tapi, malang, hal ini malah membuatnya mengalami sebuah trauma yang membuat harga dirinya jatuh.

Sementara itu, kekasih Thaha, Busainah, pun mulia berubah sejak ayahnya meninggal. Ia diharapkan menjadi tulang punggung keluarganya. Kecantikannya membuat ia mudah memperoleh pekerjaan, tapi tertanya itu pun harus dibayar dengan mengorbankan harga dirinya.

Buku ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah pengenalan tokoh-tokoh. Masa lalu mereka dan bagaimana mereka sampai di titik kehidupan saat ini. Hampir tidak ada percakapan dalam bagian pertama ini. Nyaris membuat gue berhenti membaca buku ini. Ya… tau deh.. gue paling males baca buku yang minim percakapan… Tapi, pelan-pelan diikuti, ternyata buku ini mengasyikan juga. Konflik setiap tokoh bikin buku ini jadi menarik.

Lalu, masuk ke bagian kedua, mulailah tampak bagaimana beberapa tokoh akhirnya berhubungan, atau malah ‘lepas’ sama sekali dari lingkungan Apartemen Yacoubian.

Setiap tokoh diberi porsi yang pas untuk mulai dan mengakhiri kisah mereka. Ada yang tragis banget… ada yang romantis…
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang