Monday, October 31, 2011

Sweet Misfortune

Sweet Misfortune: Cinta dalam Kue Ke(tidak)beruntungan
Kevin Alan Milne @ 2010
Harisa Permatasari (Terj.)
Penerbit Qanita - Cet. I, Juli 2011
456 hal.
(dari kuis #akudan mizan – via @penerbitmizan)

Some people are lucky in love
You aren’t one of them

Itulah salah satu kalimat yang tertera di secarik kertas yang ada di dalam kue. Lazimnya sih, kalimat ini ada dalam kue keberuntungan yang biasanya ada di restoran Cina. Tapi, Sophie Jones malah menulis kalimat-kalimat pahit di dalam kue bikinannya – mengambil ide dari kue keberuntungan, tapi bukan rasa manis yang didapat, justru akan meninggalkan rasa pahit – sepahit bait-bait kalimat yang ada di dalam kue itu.

Sophie tidak percaya dengan yang namanya kebahagiaan sejati. Di saat ulang tahunnya yang kesembilan, ia harus kehilangan ayah dan ibunya dalam sebuah kecelakaan. Sophie terus menyalahkan dirinya, beranggapan karena dirinyalah kecelakaan itu terjadi. Selama dua puluh tahun, Sophie terus memendam rasa bersalah itu.

Jangan terhanyut oleh seorang yang romantis setengah mati. Romansanya akan berakhir dan yang tertinggal hanyalah setengah mati (hal. 131)


Ia berharap menemukan kebahagiaan itu dalam pernikahannya. Tapi, ternyata, tanpa penjelasan apa –apa tunangannya, Garrett Black, meninggalkannya begitu saja. Sophie terlanjur sakit hati. Peristiwa inilah yang memberi ide bagi Sophie untuk membuat kue ke(tidak)beruntungan. Tak disangka-sangka kue menarik para pelanggan di Chocolat’ de Soph – toko cokelat milik Sophie.

Setahun kemudian, Garrett ingin kembali pada Sophie. Tapi, Sophie yang terlajur pesimis, tidak mau menerima Garrett begitu saja. Sophie menantang Garrett untuk membuat iklan di koran yang isinya mencari kebahagiaan sejati – kebahagiaan yang bersifat jangka panjang. Jika ada 100 orang yang memenuhi criteria yang diminta Sophie, maka Sophie bersedia meluangkan waktu untuk berkencan dengan Garret.

Jika ditawari sebuah mimpi yang bertahan seumur hidup, KATAKAN TIDAK! Ingat, itu hanya sebuah mimpi (hal. 149)


Awalnya iklan itu tidak mendapat banyak tanggapan, tapi, tiba-tiba ada yang memberi informasi pada stasiun televisi setempat, hingga akhirnya respons yang diterima nyaris tidak mampu ditampung oleh Sophie. Selama proses membaca surat-surat itu, banyak hal-hal darimasa lalu yang terungkap.

Asyik juga kalimat sinis’ yang dibuat Sophie. Malah lucu, jadi lebih ‘realistis’ Inti novel ini adalah tentang memaafkan diri sendiri dan juga berbesar hati menerima pengakuan orang lain. Salah satu tokoh malah mengajarkan arti berbesar hati dengan segala kekurangannya dan mencoba untuk selalu bahagia.

Friday, October 28, 2011

Maya & Filippo Play Chef at Sea

Maya & Filippo Play Chef at Sea
Alinka Rutkowska
Konrad Checinski (Illustrator)
27 pages
(via Member Giveaway – Library Things.com)


Dapet buku ini dari hasil berburu ‘Member Giveway’ di Library Things. Sebenernya udah banyak banget dari Library Things, tapi karena bentuknya e-book, jadi rada males bacanya. Tapi karena ini buku anak-anak dan hanya 27 halaman (udah termasuk cover dan lain-lain), jadi iseng-iseng aja gue baca.

Ilustrasinya sederhana aja, tapi gak berwarna. Dan ternyata, memang ini edisi Color it Yourself. Jadi, kalo emang anak-anak gak terlalu tertarik dengan ilustrasinya, mereka bisa bikin buku ini jadi lebih menarik dengan warna pilihan mereka sendiri.

Tentang Maya dan Filippo yang lagi berlibur pake kapal pesiar. Di kapal ini, mereka ikutan kegiatan masak-memasak bareng anak-anak lain. Ternyata setelah gue baca, ‘terselip’ pelajaran yang digambarkan dengan cara simple tapi ‘mengena’. Tentang arti berbagi dan berani mencoba. Lalu, juga tentang belajar mengambil keputusan. Misalnya, Maya yang pengen bikin cheese cake, atau salah satu anak laki-laki pengen bikin kue cokelat. Saat mereka gagal, mereka jadi tahu di mana kekurangan atau kesalahan mereka.

Tweets for Life

Tweets for Life: 200 Wisdoms for a Happy, Healthy, and Balanced Life
Desi Anwar @ 2011
GPU - 2011
428 Hal
(dari kuis #tweetsforlife – via @Gramedia)

Hmmm… untuk menulis ‘review’ buku ini, gue berpikir keras. Buku yang susah buat gue untuk di-review. Ya sudah… cerita dulu aja deh. Buku ini, gue dapet dari hasil menang kuis #tweetsforlife di twitter-nya Gramedia Pustaka Utama. Dapetnya pas di hari terakhir, malah, gue gak ngeh kalo gue menang. Sebenernya, gue juga punya kesempatan untuk dateng ke acara lauching buku ini di Kinokuniya Plaza Senayan, tapi sayang, pas hari itu, Mika sakit, jadi terpaksa gue pulang cepet. Padahal, berharap bisa sekalian minta tanda tangan di buku ini.


Always make time to read a good books.
It adds depth to our thinking and feed our our imagination
(Sediakan selalu waktu untuk membaca buku yang bermutu, karena dapat memperkaya pemikiran and daya khayal kita)

Hal. 50

Fisik bukunya kecil, covernya berwarna kuning, gambar bunga (salah satu hasil jepretan Desi Anwar saat beliau jalan-jalan ke luar negeri – lupa ini diambil di mana). Setiap halaman, ada satu kalimat tweet-nya, plus foto-foto yang cantik.

Buku ini adalah kumpulan-kumpulan tweet-nya Desi Anwar. Awalnya, beliau hanya nge-tweet hal-hal yang remeh-temen, kaya’ hari ini makan apa, tweet pas lagi macet di jalan. Tapi, lama-lama, semakin banyak follower, mau gak mau beliau merasa ‘bertanggung jawab’ untuk men-tweet hal-hal yang lebih bermakna. Makanya lahirlah #tweetsforlife ini.

Always have a book handy.
A good books is a good friend
(Bawalah selalu buku ke mana pun kita pergi, karena buku dapat menjadi teman setia)

Hal. 76


Ditulis dalam dua bahasa – bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Terdiri dari tiga bagian: (1) Taking Care of Your Body (Memelihara Tubuh), (2) My Self and Others (Saya dan Orang Lain) dan (3) Peace Within (Kedamaian di Hati)

Nah, saat nulis ini nih, gue membayangkan momen yang ‘pas’ untuk baca buku ini. Lagi hujan-hujan – jangan lebat sih hujannya, ada angin sepoi-sepoi, duduk deh di teras (kalo ada pake kursi goyang lebih pas), jangan lupa sediain teh atau kopi. Terus, baca deh buku ini… pelan-pelan aja… Setiap kalimat harus dicerna pelan-pelan, diresapi biar bisa nangkep maknanya. Jangan lupa, nikmati juga berbagai foto yang melengkapi tweet itu (atau tweet yang melengkapi foto itu… terserah aja sih, kata Desi Anwar, mana yang enak menurut pembaca). Buku ini pas untuk koleksi atau kado.

Thursday, October 27, 2011

The Mysterious Benedict Society and the Perilous Journey

The Mysterious Benedict Society and the Perilous Journey
(Persekutuan Misterius Benedict dan Perjalanan Maut)
Trenton Lee Stewart
Maria M. Lubis (Terj.)
Penerbit Matahati – Januari 2010
546 Hal
(dari kuis Babutis – via Penerbit Matahati)

Untuk memperingati satu tahun berdirinya Persekutuan Misterius Benedict, Mr. Benedict mengundang teman-teman lamanya untuk berkumpul di rumah Mr. Benedict. Banyak yang berubah sejak setahun yang lalu - Reynie Muldoon – yang paling bijaksana, sekarang sudah resmi diadopsi oleh Miss Perumal, Kate yang gesit, tetap dengan ember merahnya, sudah bertemu ayahnya, Milligan dan tinggal di peternakan, Sticky Washington – yang paling pintar, dulu ‘sengaja’ ikut kuis sebagai mata pencaharian dan Constance Contraire – si paling kecil, paling judes dan paling menggemaskan yang sekarang tinggal bersama Mr. Benedict.

Reynie dan Sticky sepakat untuk bertemu di peternakan Kate sebelum bersama-sama menuju kediaman Mr. Benedict. Mereka semua sudah tidak sabar untuk berkumpul kembali. Apalagi Mr. Benedict sudah menyiapkan kejutan yang pasti seru.

Memang ada kejutan yang menanti mereka, tapi bukan sesuatu yang menyenangkan. Mr. Benedict dan Nomor Dua hilang… diculik. Tentu saja oleh saudara kembar Mr. Benedict dan juga musuhnya, Mr. Curtain. Tujuan Mr. Curtain menculik Mr. Benedict adalah untuk mendapatkan duskwood, jenis tanaman yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit ‘tidur’ atau narcolepsy yang diderita Mr. Benedict. Tapi, pastinya, Mr. Curtain menginginkan tanaman itu bukan untuk tujuan yang baik.

Dengan tujuan untuk menyelamatkan Mr. Benedict dan Nomor Dua, Reynie, Kate, Sticky dan Constance pergi dari rumah dengan diam-diam. Mereka berusaha memecahkan teka-teki atau petunjuk yang ditinggalkan oleh Mr. Benedict.

Dalam perjalanannya, mereka berempat menemui banyak halangan yang berasal dari orang-orang suruhan Mr. Curtain. Kalo dulu orang-orang ini bernama Sang Pembisik, kali ini mereka disebut Manusia Sepuluh.

Perjalanan penuh rahasia dan berbahaya ini membawa mereka ke menyeberangi lautan menuju Portugal, ke Belanda sampai akhirnya sampai di sebuah pulau.

Wah, asyik lho baca petunjuk-petunjuknya Mr. Benedict. Dan ternyata menuju ke tempat-tempat yang asyik dan tak terduga. Untuk anak-anak sekecil mereka (apalagi Constance), perjalanan ini panjang, melelahkan dan juga menguras emosi. Apalagi, Constance – karena ia tinggal bersama Mr. Benedict - ia jadi lebih terpukul dengan menghilangnya Mr. Benedict. Tapi, bener deh, pengen rasanya towel-towel pipinya Constance.. ngeselin tapi menggemaskan.

Di Balik Lemari Buku…


Buku… satu hal yang masih terus melekat dari gue kecil sampai sekarang. Gue juga bingung kenapa di dalam keluarga gue, di antara kakak dan adik-adik gue, hanya gue yang kadar hobi bacanya lebih. Samar-samar, gue masih inget bacaan gue waktu kecil – mulai dari Bobo yang ditunggu-tunggu setiap hari Kamis pulang sekolah, seri Lima Sekawan (yang sekarang nyesel udah gue kasih ke orang…), komik Smurf dan Asteris (sampai sekarang, gue masih suka berharap mereka betulan ada…). Pas udah gede begini, gue bacaan gue mulai bervariasi – perkenalan gue yang pertama dengan novel tebel adalah baca bukunya Danielle Steel yang judulnya The Wings (kalo gak salah) dan gue sempat jadi kolektor buku-buku Danielle Steele.

Berkenalan dengan milis pasarbuku, membaca cerita orang-orang di milis itu, bacaan gue jadi semakin beragam – mulai dari novel Pramoedya Ananta Toer, kenalan sama genre fantasi, historical-fiction dan lain-lain. Wawasan gue jadi tambah luas. Bacaan gue gak hanya berkisar dari satu penulis tertentu.

Tentang akhirnya gue ‘tercebur’ dalam dunia nge-blog, awalnya, gak berniat bikin blog buku sendiri. Nge-blog sendiri bermula sekitar tahun 2003, waktu itu hanya pengen nulis aja – ikut-kutan orang gitu. Pengen tau blog itu kaya’ apa, buat apa. Sempet mikir, siapa ya yang mau baca blog gue? Maklum, sifat introvert dalam diri gue, bikin gue gak percaya diri.

Lalu, mulailah cerita ngalor-ngidul, gak penting, tentang cerita sehari-hari di blog lama gue. Ada tentang jalan-jalan, tentang film… tapi lama-lama, kenapa banyakan posting tentang buku?

Maka diputuskan untuk memisahkan antara blog tentang curhat sehari-hari dengan blog buku. (bahkan gue sempet bikin blog khusus untuk ‘review’ film lho… )

Akhirnya, tahun 2007, resmilah gue punya blog buku. . Ya, tujuannya sih cuma pengen nulis aja apa yang udah gue baca. Terinspirasi juga dengan hasil blog walking ke para blogger buku, yang ternyata keren-keren

Dengan adanya blog buku ini, gue mendapat tambahan banyak temen baru yang punya kesukaan sama dengan gue. Yang gak peduli apa komentar orang ketika baca buku romance – yang katanya isinya hanya mimpi. Bertemu teman-teman baru ini banyak menularkan tipe buku yang suka mereka baca ke gue. Bikin ‘mupeng’ dengan buku-buku mereka yang keren-keren atau buku-buku yang sama sekali tadinya gak terpikir untuk gue baca.

Salah seorang teman yang ‘setia’ dari awal menyemangati gue adalah Om Tan. Perkenalan sejak di milis pasarbuku, membahas buku ‘In the Name of the Rose’. Hehehe.. canggih kan bahasannya?

Gue sendiri masih suka malu kalo bilang isi blog ini adalah ‘resensi’ atau ‘review’ buku. Kenapa? Soalnya, gue jarang meng-kritik isi buku itu. Kalo pun ada, biasanya gak mendalam seperti yang suka gue baca di blog temen-temen yang lain. Paling gue sekadar sharing, apa yang gue rasain waktu baca buku itu, tokoh mana yang gue suka, mana yang nyebelin. (lagi-lagi), gue gak pede meng-kritik. Hehehe.. gue terlalu mikirin orang lain kali ya, jadi setiap gue mau nulis yang rada ‘jelek-jelek’, gue suka mikir, “Duh, siapa gue sih, berani-beraninya nulis yang jelek-jelek.”

Soal lay-out blog ini, entah sudah berapa kali ‘ganti baju’. Dan yang terakhir yang sekarang lagi di pake, yang gue rasa paling pas – simple dan bersih. Tapi masih bisa ditambah aksesoris yang lain.

Sekarang, gue jadi makin semangat untuk nulis di blog buku gue ini. Program ‘Baca Bareng’ sama temen-temen di Blogger Buku Indonesia bikin ‘ketagihan’. Minat yang sama membuat ada semangat baru dalam membaca dan membuat 'review'. Becandaan, kegalauan, kecentilan dan si Bebi yang sok imut membuat gue jadi sering tertawa-tawa, senyum-senyum sendiri di depan monitor komputer ini.

Bonus tambahan - gara-gara perkenalan gue dengan teman-teman BBI, gue sering kebagian ‘buntelan’ – tiba-tiba sering ketiban rejeki hasil menang kuis hehehe.. atau, ikut ketagihan ber-swap ria. O iya... pinjem-pinjeman buku juga...

Terima kasih ya, buat teman-teman yang udah mencemplungkan gue ke dalam BBI. Nice to ‘meet’ you all… *hugs*

*ma’af tulisannya berantakan begini… gak fokus gara-gara boss bolak-balik ke meja :D*

posting ini dibuat dalam rangka memperingati hari blogger nasional 2011, sekaligus sebagai postingan bersama BBI.

Tuesday, October 18, 2011

Therese Raquin

Therese Raquin
Émile Zola @ 1867
Juanda Tantani (Terj.)
GPU – Agustus 2011
336 Hal
(Gramedia PIM)

Di sebuah jalan suram di daerah Passage du Pont-Neuf, Paris, ada sebuah toko perlengkapan jahit-menjahit yang dimiliki oleh keluarga Raquin. Toko itu juga merangkap tempat tinggal mereka. Di lantai atas, Mme Raquin tinggal bersama anaknya, Camille dan menantunya, Therese. Rumah itu terasa suram, dingin dan sunyi.

Keluarga kecil ini datang dari kota Vernon. Mme Raquin sangat protektif pada anak laki-laki semata wayangnya itu, dikarenakan sedari kecil Camille selalu sakit-sakitan. Hidupnya nyaris dihabiskan di tempat tidur, minum berbagai macam obat-obatan. Sementara, Therese, sebenarnya masih sepupu Camille. Ia diserahkan oleh seorang laki-laki kepada Mme Raquin ketika masih kecil. Sejak tiba di sana, Therese selalu tidur di ranjang yang sama dengan Camille dan terpaksa ikut minum berbagai macam obat yang diberikan kepada Camille.

Therese sebenarnya menginginkan sebuah kebebasan, berlarian di udara terbuka. Tapi, terbiasa pasif, membuat Therese juga terbiasa diam, menuruti semua kemauan Mme Raquin, bahkan ketika diminta untuk menikah dengan Camille.

Sikap protektif ini pula yang membawa keluarga kecil ini ke daerah suram di Passage du Pont-Neuf. Keceriaan yang berusaha diciptakan oleh Mme Raquin tidak berhasil menular ke menantunya. Bahkan, Therese semakin lama semakin muak dengan kehidupannya. Ia jijik dengan suaminya sendiri.

Suatu hari, saat Camille datang bersama teman lamanya, Laurent, tiba-tiba ada gairah baru dalam diri Therese. Dan ternyata, Laurent pun ‘mengambil’ kesempatan itu. Saat Camille pergi bekerja, pasangan ini bertemu diam-diam di dalam kamar tidur Therese. Karena mereka menganggap Camille adalah halangan, maka mereka berdua berencana untuk melenyapak Camille.

Namun, saat rencana mereka berhasil, justru Camille tetap jadi halangan. Camille seolah menghantui mereka sampai mereka berdua lupa apa tujuan mereka pada awalnya. Akhirnya mereka jadi bak kucing dan anjing yang selalu bertengkar dan saling menyalahkan.

Jangan terjebak dengan cover yang cantik ini. Ini bukan novel romance yang penuh kata-kata cinta. Isinya justru penuh dengan kelicikan dan nafsu. Laurent bukanlah pria tampan yang tatapannya sanggup membuat perempuan meleleh, Therese juga bukan gadis cantik yang bikin pria jadi kalang kabut. Mereka bertemu dan berhubungan karena saling memanfaatkan kesempatan, untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukan karena cinta. Laurent mendapatkan tiga keuntungan, perhatian seorang ibu dari Mme Raquin, mendapat teman bicara bersama Camille dan pemuas nafsu yang diberikan Therese. Sementara Therese mendapatkan kebebasan yang selama ini ia impikan ketika bersama Laurent. Dan buat gue, Laurent adalah cowok yang menyebalkan, selalu berusaha mengambil keuntungan dan licik.

Buku ini pernah menuai protes, karena dianggap terlalu ‘vulgar’. Makanya di edisi kedua, penulis merasa perlu memberikan pendahuluan (1868). Ternyata, kata Émile Zola, jangan diliat dari segi vulgarnya, tapi liat dari sisi ilmiah dan psikologisnya. Setiap tokoh memiliki karakter yang berbeda, Therese bersifat Koleris – yang sebenarnya adalah orang yang kuat dan optimis, tapi gak punya banyak teman. Kalau di sini, Therese gak punya teman dan gak terbiasa mengutarakan keinginannya karena selalu ‘diatur’ oleh Mme Raquin. Dan ketika bersama Laurent, dia bebas mengutarakan apa yang ada di pikirannya., Laurent si Sanguine – yang senang sama kepopuleran, ekstrovert dan selain ingin bersenang-senang dan Camille yang Plegmatis – menyukai ketenangan, pesimis dan biasanya bersifat sebagai pengamat.. Pada akhirnya saat mereka bertemu, menciptakan sebuah konflik yang memunculkan sifat kebinatangan (dalam hal ini Laurent dan Therese).

Wuihh.. kenapa tiba-tiba gue jadi sok ber-psikolog begini? Hehehe.. ini gue dapat dari berbagai sumber hasil bertanya sama Uncle Goole :)

Kembali ke bukunya, seperti yang sudah ‘tertanam’ di otak gue, buku yang minim percakapan akan jadi buku yang membosankan. Tak terkecuali buku satu ini. Tadinya, mau buat baca bareng BBI bulan Oktober ini… eh.. ternyata gak se'romantis' yang gue harapkan...

Monday, October 17, 2011

Selimut Debu

Selimut Debu
Agustinus Wibowo
GPU – Januari 2010
461 Hal.
(swap sama melmarian)

Selama membaca buku ini, sejujurnya, gue hanya bisa ‘bengong’, mencoba membayangkan perjalanan seorang Agustinus Wibowo. Dari beberapa buku bergenre ‘travel’ yang pernah gue baca atau artikel di majalah, nyaris semua pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan, bikin iri dengan segala foto-foto yang indah, makanan yang enak-enak dan akomomodasi yang memadai. Ya, sebut aja, tempat-tempat di Eropa, atau Bali, Pulau Komodo, bahkan negara-negara di Afrika pun, tampaknya masih lebih menyenangkan kalau membaca tentang wisata safari-nya meskipun deg-degan, takut kalo-kalo ketemu singa laper.

Tapi, ke Afghanistan, sebuah nama yang kalau gue baca koran atau liat berita di tv isinya perang, bom, penculikan dan segala teror lainnya. Rasanya rada gak ‘waras’ kalo ada orang yang nekat ke sana dengan tujuan melihat ‘keindahan’.

Ke negeri penuh debu itu, seorang diri, dengan modal yang ‘terbatas’, Agustinus Wibowo menelusuri hampir seluruh pelosok Afghanistan. Duh, membaca petualangannya, rasanya miris banget. Mengenakan pakaian tradisional penduduk yaitu shalwar qamiz yang kumal, tidak mandi berhari-hari, tidur menumpang di kedai teh, bepergian dengan truk atau jip yang bolak-balik mogok, bahkan pernah naik traktor. Jalannya tentu tidak mulus – lubang besar-besar, kiri-kanan jurang atau harus menyeberang sungai. Belum lagi, kecopetan dan diperlakukan tidak ‘senonoh’. Apalagi, bepergian di tanah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, bagi seorang Agustinus Wibowo yang non-muslim, masalah agama jadi hal yang sensitif. Meskipun mayoritas orang-orang yang ia temui tergolong baik hati, karena mereka selalu memperlakukan orang asing sebagai tamu, tapi ada saja yang berusaha memerasnya dengan mengenakan tarif kendaraan dengan harga yang tak masuk akal, sengaja ditinggal ketika sedang tidur.

Tapi, ternyata, di balik ‘penderitaan’ dan kesusahan itu, ia bisa melihat keindahan dan keanekaragaman budaya Afghanistan. Mengenal berbagai etnis di Afghanistan, Mendengar penduduk yang saling menjelekkan etnis satu dengan yang lainnya.

Bertualang dengan cara seperti ini, membuat Agustinus Wibowo jadi lebih mudah berinteraksi dengan penduduk setempat. Menginap di rumah penduduk, ia menangkap mimpi-mimpi mereka, mendegar kegetiran dan penderitaan mereka. Sejarah masa lalu yang kelam, penuh dengan perang,

Ada perempuan tak bernama karena selalu terbungkus burqa, tapi di desa lain, perempuan justru berpakaian warna-warni dan bebas bekerja di luar rumah. Peninggalan bersejarah yang dihancurkan, atau kalau pun ada tampak terlupakan.

Akhirnya… kesampaian juga baca Selimut Debu. Buku ini sudah lama ada di wishlist gue. Gue mendapatkan sebuah ‘pandangan’ baru tentang Afghanistan. Pengetahuan gue yang minim, jadi bertambah. Foto-foto yang keren hasil jepretan Agustinus Wibowo membantu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Gue *speechless* ...

Wednesday, October 12, 2011

If I Stay

If I Stay (Jika Aku Tetap di Sini)
Gayle Forman @ 2009
Poppy D. Chusfani (Terj.)
GPU – February 2011
200 hal.,
(pinjem dari Mia)

Kehidupan Mia tampaknya menyenangkan. Tinggal dengan orang tua yang selalu mendukungnya, adik yang manis. Meskipun bisa dibilang orang tuanya rada ‘nyentrik’, tapi semua berjalan dengan baik-baik saja. Mia menyukai musik klasik, sementara orang tuanya cenderung ke arah rock. Di masa mudanya, ayah Mia pernah ikut bermain band. Dan sekarang, Mia juga bermain alat musik, cello. Saat ini ia tengah bersiap-siap untuk audisi masuk sekolah musik ternama, Julliard. Pacar Mia sendiri juga pemain band.

Pagi itu semua baik-baik saja. Salju turun, menyebabkan sekolah-sekolah diliburkan, dan ibu Mia memutuskan untuk tidak masuk kantor. Akhirnya, orang tua Mia memutuskan untuk berkunjung ke rumah sahabat mereka.

Perjalanan juga diawali dengan santai, berebut ingin memutar lagu pilihan mereka masing-masing di mobil. Semua begitu sempurna…. Dan tiba-tiba saja, semua berubah jadi bencana.

Dalam kecelakaan itu, hanya Mia yang ‘selamat’, Mia dalam keadaan koma. Jiwanya ‘melayang-layang’, tapi ia bukan hantu. Mia bisa melihat tubuh ayah dan ibunya yang sudah meninggal, tapi ia tak bisa menemukan adiknya, Teddy. Mia bisa melihat tubuhnya sendiri yang diterbangkan ke rumah sakit dengan helicopter, dimasukin segala macam selang yang membantunya untuk tetap hidup. Mia juga melihat bagaimana Adam, pacarnya, berbuat nekat agar bisa menjenguknya yang ada di ICU.

Dalam keadaan ‘melayang’ itu, semua kisah hidupnya seolah terputar kembali, Mia bercerita tentang ayahnya yang mantan pemain drum, ibunya yang bergaya bak rocker, saat Mia menemani ibunya ketika melahirkna Teddy, saat bersama sahabatnya, Kim dan kencan pertamanya dengan Adam.

Dan dalam keadaan itu juga, Mia harus memilih, apakah ia harus kembali hidup, tapi tanpa keluarga yang menantinya, atau pergi meninggalkan orang-orang yang terus berharap agar ia bertahan?

Mungkin ada baiknya siap-siap sedia tissue, yah buat jaga-jaga kalo-kalo nangis pas lagi baca buku ini. Meskipun sedih, tapi buku ini gak terkesan cengeng dan terlalu ‘menye-menye’, Liat aja gimana Adam, yang meskipun hancur lebur tapi tetap berusaha tegar, atau kakeknya yang sedih, tapi tetap menyerahkan semua pilihan ke Mia. Ini gak hanya tentang kisah cinta Mia dan Adam, tapi juga cinta dalam keluarga dan juga untuk sahabat.

“Aku punya tujuan mengatakan semua ini,” dia melanjutkan. “Ada sekitar dua puluh orang di ruang tunggu sekarang. Beberapa di antara mereka berhubungan darah denganmu. Beberapa lagi tidak. Tapi kami semua keluargamu.”

…. “Kau masih punya keluarga,” bisiknya.

Hal. 183 - 184


Untung buku keduanya udah mau beredar, jadi gue gak perlu terlalu lama penasaran gimana ‘nasib’ Mia selanjutnya.

Monday, October 10, 2011

Putri Ong Tien

Putri Ong Tien: Kisah Perjalanan Putri China Menjadi Istri Ulama Besar Tanah Jawa
Winny Gunarti @ 2010
GPU - 2010
200 hal.,
(hasil swap sama gadisgerimis)

Putri Ong Tien – putrid Kaisar Hong Gue di masa Dinasti Ming. Ada apa dengan beliau? Yang menjadi Putri Ong Tien disebut dalam sejarah Indonesia, karena ia adalah salah satu istri ulama besar Indonesia, yaitu Sunan Gunung Jati atau dikenal juga dengan nama Syarif Hidayatullah.

Sebagai putri kaisar, Putri Ong Tien mengikuti semua aturan yang telah ditetapkan oleh kaisar sebagai Anak Langit. Meskipun Kaisar menyayangi Putri Ong Tien, tapi tidak setiap saat mereka bisa bertemu dan berbicara dengan santai. Hari-hari Putri Ong Tien dihabiskan dengan mempelajari kaligrafi Cina dan filsafat Cina. Putri Ong Tien adalah putri yang kritis, kala salah satu selir raja tertimpa musibah, ia merasa iba, tapi tak berdaya untuk membebaskan selir itu dari hukuman raja.

Pada masa itu pula, penyebaran agama Islam sudah sampai ke Cina. Bahkan salah satu daerah di Cina, yaitu kota Xian jadi daerah yang populasi penduduk Islam paling banyak. Terbetik kabar bahwa seorang ulama dari Jawa bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit tanpa obat-obatan seperti yang selama ini dilakukan oleh para tabib Cina. Beliau hanya meminta orang yang sakit itu melakukan gerakan-gerakan sholat dan Insya Allah, sembuhlah orang itu. “Kesaktian’ ulama itu terdengar sampai ke telinga Kaisar. Tapi, sebagai Kaisar itu tidak percaya begitu saja dengan berita itu. Maka diundanglah ulama itu ke Kerajaan dan diminta untuk membuktikan kebenaran atas kesaktiannya itu.

Kaisar sudah mempersiapkan sebuah tebakan. Tapi sayang, Kaisar yang merasa dipermalukan mengusir ulama itu dari istana. Ulama itu – sang Sunan Gunung Jati – akhirnya pergi, tapi meninggalkan ‘penderitaan’ pada Putri Ong Tien. Putri Ong Tien jatuh cinta pada pria yang baru ia lihat. Kecakapan dan tutur kata Sunan Gunung Jati mampu merebut hatinya. Demi bertemu kembali pria pujaannya itu, Putri Ong Tien rela meninggalkan Cina, mengarungi lautan yang ganas menuju tanah Jawa.

Kompleks Pemakaman Keramat Sunan Gunung Jati
via budayacirebon

Putri Ong Tien pun menikah dengan Sunan Gunung Jati dan memeluk agama Islam. Hari-harinya di Cirebon dihabiskan dengan membatik. Ia pun memperkenalkan motif-motif baru. Putri Ong Tien meninggal dunia karena sakit. Ia dimakamkan di Kompleks Pemakaman Keramat Sunan Gunung Jati. Dinding di depan makam Putri Ong Tien dihiasi dengan keramik asal Cina yang ia bawa ketika berlayar ke Tanah Jawa.

Wah, banyak pengentahuan baru yang gue dapat dari membaca buku ini. Salah satunya nih, asal kata kota Palembang. Hihihi.. gue memang orang Palembang yang ‘kafir’. Meskipun gue berpikir, “Pe-de banget putri ini, berlayar jauh-jauh demi cinta.” Halahh…. :D

Tapi gue rada bingung, apakah buku ini dikategorikan sebagai ‘historical fiction’ atau bukan? Dan apa maksudnya dengan fakta-fiksi? Di belakang buku ini kategorinya adalah non-fiksi/sejarah.

Wednesday, October 05, 2011

Cinderella

Cinderella (as if you didn't already know the story)
Barbara Ensor @ 2006
Schwartz & Wade Books, New York
115 hal.,
(pinjem dari mia)

Cinderella… bukan cerita yang asing kan? Apalagi untuk penggemar dongeng. Terutama cewek-cewek. Cerita si gadis sepatu kaca, bukan hanya gue tonton versi kartun, tapi versi film bahasa Inggris (eh.. ada versi Indonesia-nya juga bukan? Yang main Ira Maya Sopha?)

Cerita di dalam buku ini pun, gak jauh berbeda. Cinderella harus tinggal dengan ibu tiri yang kejam, dua orang saudara tiri yang gak kalah nyebelin dan bossy, ayahnya yang jadi berubah setelah menikah. Lalu, acara pesta dansa dan pulang tepat tengah malah dengan sebelah sepatu yang ketinggalan.

Terus… apa yang menarik dari buku ini kalau semuanya sama aja? Salah satunya adalah karena ilustrasi hitam-putihnya. Ilustrasinya sih simple aja. Tapi, jangan bayangkan Cinderella dengan gaun yang gelembung dan ribet. Atau jangan bayangkan wajah tampan si Pangeran, atau cantiknya Cinderella. Hmm.., kalo buat sosok ibu tiri dan kedua saudara tirinya, sih, pas aja. Yang keren nih, ada gambar sepatu kaca Cinderella dalam ukuran yang sebenarnya.

Yang menarik lagi, ada surat-surat yang ditulis Cinderella untuk almarhumah ibunya, menggambarkan betapa ia merindukan ibu kandungnya.

Apakah selesai sampai kalimat ‘Happily ever after’… ow, ada sedikit cerita tambahan, sedikit kejutan, menampilkan sosok yang berbeda dari seorang Cinderella dan juga pangerannya.

Buku ini memang benar-benar ‘a quick read’ seperti yang tertulis di covernya.

Anne of Rainbow Valley

Anne of Rainbow Valley
Lucy M. Montgomery
Maria M. Lubis (Terj.)
Qanita - Cet. I, Juni 2011
428 hal.
(hadiah menang kuis @penerbitmizan)

Anne tidak pernah mengira bahwa ia akan senang tinggal di Ingleside. Di sana, bersama Gilbert yang sibuk dengan praktek dokternya, Anne membesarkan anak-anaknya. Meskipun di sekeliling Anne, orang-orang ‘mencemooh’ atau bergunjing tentang perilaku anak-anaknya, tapi Anne tetap tersenyum, tak pernah terganggu dengan gosip-gosip itu. Anne masih tetap perempuan yang berjiwa ‘romantis’ dan pemimpi, meskipun sudah ‘ibu-ibu’.

Anak-anak Anne berkenalan dengan anak-anak pendeta yang baru saja pindah ke daerah mereka –keluarga Meredith. Keluarga Meredith ini juga jadi bahan pergunjingan orang, karena sang Pendeta, John Meredith, terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, anak-anaknya tak terurus, Ibu mereka sudah meninggal, dan bibi mereka yang tinggal bersama juga tidak terlalu mempedulikan keadaan mereka. Baju kumal dan terkadang sudah sobek, makanan yang kurang bergizi. Karena kurangnya perhatian dan tak ada yang menegur mereka, perilaku mereka juga menurut orang-orang, kurang pantas bagi anak-anak seorang pendeta. Jerry, Carl, Faith dan Una, bermain sekehendak hati mereka, meskipun ini masih dalam tahap kewajaran nakalnya anak-anak.

Sementara itu, gosip percintaan juga masih hangat beredar. John Meredith yang bisa dibilang ‘duda keren’ ini menarik perhatian beberapa perempuan muda. Tapi, konon menurut (lagi-lagi) gosip, para perempuan itu berpikir dua kali untuk mendekati John Meredith karena anak-anaknya yang badung.

Tapi ada satu perempuan muda yang pendiam, bernama Rosemary West, yang tinggal bersama kakaknya, Ellen West. Sebenarnya, Rosemary West adalah ‘calon’ yang kuat untuk jadi ibu bagi anak-anak Meredith, tapi, ada suatu perjanjian ‘konyol’ yang mengikatnya.

Kalau mau mencari kisah kehidupan Anne di buku ini, kaya’nya minim banget. Lebih banyak diceritakan tentang anak-anak, bahkan tentang anak-anaknya Anne pun sedikit, Porsinya lebih banyak diceritain tentang anak-anak keluarga Meredith itu. Tingkah mereka tidak jauh berbeda dengan Anne di masa kecil, hanya sedikit lebih heboh.

Padahal gue pengen tau tuh, gimana kabarnya Marilla di Green Gables, sahabatnya Diana dan gimana dengan Gilbert. Tapi, tetap asyik koq membaca buku ini. Kalo sekarang nih, bisa dibilang, Anne adalah orang tua yang ‘cool’, yang gak hanya memposisikan diri sebagai orang tua, tapi juga sebagai sahabat untuk anak-anaknya.

Monday, October 03, 2011

Smile

Smile (Senyum)
Raina Telgemeier

Indah S. Pratidina (Terj.)
GPU, Cet. I - Juni 2011
224 hal.
(pinjam dari mia)

Sebagai anak ABG, Raina sedang ‘sibuk-sibuk’nya dengan dunia ‘pencarian jati diri’. Di satu sisi, masih ada jiwa anak-anak, tapi di sisi lain, udah pengen ‘lepas’ dari keluarga yang sering ikut campur, adik yang sering banget ganggu, temen-temen yang suka norak kalo ngeledek, atau udah mulai deg-degan liat cowok cakep. Hmmm… sounds familiar… Kalo diliat-liat sih, kata temen-temennya, Raina emang masih kaya’ anak kecil – rambut dikepang dua kalo ke sekolah, suka main video game dan belum dikasih izin untuk tindik telinga.

Dan malangnya, di saat yang lain sedang ‘sibuk’ untuk tampil ‘sekeren’, ‘secakep’, Raina justru bermasalah dengan giginya. Awalnya, gara-gara pas lagi kejar-kejaran sama temannya, Raina tersandung dan dua gigi depannya copot dan rahangnya ‘rusak’. Sejak itu, kunjungan ke berbagai macam jenis dokter gigi jadi rutinitas Raina. Mulai dari orthodontist dilanjutkan dengan segala yang berakhiran ‘dontis’ lainnya. Pemeriksaan yang mengerikan, plus perlengkapan yang bisa bikin minder kalo dipakai.

‘Penderitaan’ Raina ternyata terus berlanjut sampai ia di duduk di sekolah lanjutan atas. Saat temannya sudah mulai punya gebetan, tapi Raina masih tetap dengan gaya Raina yang lama. Masih suka pakai t-shirt cowok. Tapi meskipun dengan segala keribetan urusan gigi itu, Raina tetap ceria. Meskipun sesekali gak pe-de untuk senyum gara-gara behel-nya itu.

Tapi, saat keribetan itu berakhir… wah… Raina pun bisa tersenyum lepas…

Membaca buku ini, gue koq jadi berasa kembali ke ‘masa lalu’. Gue juga ‘mantan’ pemakai behel, tapi gak ‘lulus’. Hehehe.. gara-gara gue males banget dengan segala tetek-bengeknya. Ditambah masalah gak pe-de karena harus pakai kawat gigi, jaman gue dulu rasanya belum banyak yang pake kawat gigi, jadinya sering jadi ledekan temen-temen gue pas sd.

Melihat buku ini direview di beberapa blog, gue jatuh hati dengan cover-nya yang simple. Gue jadi bertanya-tanya, koq kalo gue ke toko buku, buku ini gak keliatannya ya? Saat pertama gue buka buku ini, wah… gue disajikan ilustrasi yang menyegarkan, full color, simple dan rapi. Menyenangkan rasanya baca buku ini.

Gue langsung browsing ke website Raina Telgemeier, pengen liat novel apa lagi yang udah ditulis. Wah.. ternyata, ada The Baby-Sitters Club versi novel grafis, dan… satu buku lagi yang dari covernya ada tampak lucu, Nursery Rhyme Comics: 50 timeless rhymes from 50 celebrated cartoonists. Nah, salah satunya ada ilustrasi Raina Telgemeier.


Kedai 1001 Mimpi

Kedai 1001 Mimpi
Valiant Budi
Gagas Media, Cet. I - 2011
444 hal.
(pinjem dari Mbak Riana)

Kecintaan pada dongeng 1001 Malam, membuat seorang Valiant Budi nekad untuk menjadi TKI di negeri Arab Saudi. Kenapa memilih ke sana? Ya itu, salah satu alasannya. Akhirnya, ia pun nekat mengirim lamaran sebagai barista di kedai kopi international di Arab Saudi. Tak peduli banyak kisah miris tentang TKI yang selama ini sering terdengar di berita-berita di tanah air. Proses keberangkatan juga tidak mudah, bolak-balik medical check-up dan penantian yang cukup panjang sampai akhirnya Valiant Budi benar-benar berangkat ke tanah Arab.

Valiant Budi – atau di sana akrab dipanggil Vibi – akhirnya bekerja di sebuah kedai kopi bernama Sky Rabbit. Mungkin kalau dibaca, rasanya Vibi ini kesellll terus sepanjang ada di sana. Maunya marah-marah aja. Mulai dari disebut ‘Indunisi’, sering dikira orang Filipina, dikejar-kejar lelaki Arab yang punya kelainan, pelanggan yang gak sabar, sok tau, boss dan rekan sekerja yang gak kalah ngeselin. Kenalan dengan sesama TKI yang juga punya kisah gak kalah ajaib.

Semua jadi satu… culture shock. Gak nyangka di tanah Arab, tempat agama Islam diturunkan, justru segala bentuk kejahatan ada di sana. Hukum dan peraturan gak berlaku untuk warga asli. Sementara warga pendatang, salah sedikit langsung dihukum. Hati-hati banyak muttawa atau polisi gadungan berkeliaran. Susah ngebedain antara yang asli dan yang palsu. Termasuk pasangan muhrim palsu. Karena perempuan pada pakai cadar, jadi gak ketauan deh yang digandeng itu istri beneran atau selingkuhannya. Hehehe…

Di waktu luangnya, Vibi menulis blog dengan tema ‘Arabian Undercover’ yang ternyata menuai caci-maki dan ancaman.

Terlepas dari buku ini, meskipun banyak kisah-kisah menyedihkan dan tragis yang sering kita dengar, entah itu pembantu yang disiksa majikan, pembantu yang dihukum karena kesalahan kecil aja. Dari yang terbaca di sini, orang-orang Arab ini jago ngeles, jadinya, biarpun mereka salah, pada akhirnya, tetap aja si pembantu (baca: TKI) yang jadi salah dan akhirnya dihukum. Tapi, kenapa tetap banyak yang tergoda untuk pergi ke sana, faktornya adalah karena uang, hasil yang ‘berlimpah’ yang bisa dikirim ke kampung. Asal mau ‘menuruti’ keinginan majikan, uang dan kemewahan lainnya akan terjamin. Misalnya mau dijadikan istri yang kesekian, mau ‘diapa-apain’ aja sama majikan, atau bahkan ketemu Om-om Arab di tengah jalan pun bisa langsung dapat uang banyak – asal ya itu, mau diajak ‘ngapain’ aja sama Om-om Arab itu.

Belum lagi, orang-orang Arab yang merasa dirinya kaya banget itu sering bersikap arogan dan merendahkan orang-orang pendatang. Udah ngerasa paling oke, tapi ada aja akalnya, dari norak sampai yang ajaib.

Gak heran sih, kalo Valiant Budi ini, bawaannya kesel dan marah-marah aja. Tapi, gue bolak-balik ketawa, senyum-senyum saat membaca buku ini. Kadang kasian, tapi karena ditulis dengan gaya yang kocak jadinya antara terenyuh, kasian tapi pengen ketawa. Siap-siap tersenyum kecut, senyum geli atau malah 'jijay'. Foto-foto yang sedikit gak terlalu penting buat gue, karena di sini yang ditulis bukan kisah jalan-jalan ke Arab.
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang