Monday, April 21, 2008

Catatan Hati Seorang Istri

Catatan Hati Seorang Istri
Asma Nadia @ 2007
Lingkar Pena, Cet, I - Mei 2007
224 Hal.

Jika kau kira
dengan sebelah sayap
aku akan terkoyak
maka camkanlah
dengan sebelah saya itu
akan kujelajah samudera
dan gemintang di angkasa

(Hal. 45)

Wah, menulis komentar tentang buku ini, rasanya susah banget. Ya.. emang sih, gue gak terlalu bisa menceritakan kembali buku non-fiksi. Apalagi buku ini isinya tentang pengalaman pribadi Penulis atau pun para nara sumber. Jadi, sepertinya, yang bakal gue tulis di bawah ini adalah komentar pribadi untuk buku yang lumayan memberi inspirasi dan nyaris membuat gue menitikkan air mata. (hmmmm… ternyata hati gue masih rada ‘batu’, makanya belum bisa nangis….)

Di buku ini, Asma Nadia menguraikan berbagai bentuk penderitaan perempuan. Bisa dilihat dari puisi di atas. Bukan saja dari segi fisik tapi dari segi perasaan, batinnya… Menggambarkan kuatnya, sabarnya dan tabahnya perempuan biar udah digempur segala macam bentuk cobaan dari yang ringan sampe yang bisa bikin seseorang yang mungkin gak kuat, bakal kehilangan arah dalam hidup.

Gue terus terang, takjub (tapi juga kadang gemas dan sempat berpikir negatif), ketika ada perempuan yang tetap membanggakan suaminya, meskipun suaminya itu ternyata tidaklah sesempurna yang ia impikan. Alasannya, karena si laki-laki adalah hal terbaik yang pernah datang dalam hidupnya (hal. 29). Atau, gimana seorang perempuan masih bisa senyum ketika tahu suaminya ‘bermain ke tempat terlarang’ atau menikah lagi.

Gue pun berpikir, bisakah gue sesabar itu dan bisakah gue tersenyum andaikan gue tau, suami gue berbuat yang tidak baik? Gue rasa nggak… Gue pasti bakal nangis dan meratapi nasib gue… Hehehe.. sekarang aja, dicuekin suami gue sedikit, gue udah sebal banget sama suami gue dan kadang menggunakan air mata untuk meluluhkan hati suami gue…

Sempat terpikir oleh gue, apakah si perempuan itu memang begitu tough… tipiskan bedanya dengan gambaran perempuan ‘bodoh’. Pastinya, kalo lagi gosip-gosip nih, dengan cerita, ada perempuan yang diem aja disakitin suami atau di-duain, atau apa pun lah yang menyebabkan dia menderita, rasanya komentar yang lebih sering gue denger (atau bahkan lebih sering gue ucapkan), adalah, “Bodoh banget sih tuh cewek…!” Padahal, perempuan itu mungkin perempuan yang akan dimuliakan di mata Allah…

Cerita di buku ini yang paling berkesan buat gue adalah yang judulnya, “Jika Saya dan Suami Bercerai?” (Hal 34). Membuat gue sadar betapa tipisnya antara cinta dan benci… Gimana pasangan yang awalnya saling puji, saling cinta dan sayang, tiba-tiba berbalik jadi saling menyerang dan mengumbar kejelekan masing-masing. Dengan cerita ini, gue bilang sama suami gue, harus bisa saling menjaga hati, emosi dan kata-kata. Satu kalimat yang gue suka adalah: “,,, tidak ada seorang pun yang berhak merusak kenangan indah yang dimiliki anak-anak tentang ayah dan bunda mereka.” (Hal. 38).

Semua perempuan berhak untuk bahagia, meskipun ada luka di hati mereka… (Aiihh…)… So, keep fighting, never give up… Mudah-mudahan, gue bisa jadi perempuan yang lebih sabar dan ikhlas… (inilah intinya… Ikhlas….)

The Penderwicks

The Penderwicks: A Summer Tale of Four Sisters, Two Rabbits, and a Very Interesting Boy (Keluarga Penderwick: Kisah Musim Panas Empat Kakak-beradik Perempuan, Dua Kelinci, dan Seoran Anak Laki-Laki yang Sangat Menarik)
Jeanne Birdsall @ 2005
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU, Maret 2008
292 Hal.

Sudah lama berlalu sejak musim panas yang istimewa di Arundel, tapi, Rosalind, Jane, Skye, dan Batty masih mengingat dengan baik liburan musim panas mereka kala itu. Untung saja, rumah liburan mereka di Cape Cod tiba-tiba dijual oleh pemiliknya, kalau tidak, mungkin mereka tidak akan mengalami bagaimana seru, romantis dan heboh liburan di Arundel. Dan, yang pasti, mereka tidak akan bertemu dengan anak laki-laki yang sangat menarik.

Hampir saja, liburan musim panas kali ini akan dihabiskan oleh Keluarga Penderwick hanya di rumah mereka di Cameron, Massachusetts, jika saja Mr. Pendewick tidak mendengar cerita dari temannya tentang sebuah vila di Berkshire Mountain. Tanpa berpikir panjang, Mr. Penderwick langsung menelepon pemiliknya dan menyewa vila itu tanpa melihat keadaan vila itu.

Yang mereka lihat setibanya di Arundel bukanlah jenis vila biasa, tapi sebuah vila besar – nyaris seperti mansion – berkamar banyak, hingga Penderwick Bersaudara bisa memilih kamar yang mereka sukai.

Petualangan menarik mereka lewati, pengalaman tak terlupakan yang dimulai ketika Skye yang tomboy tanpa sengaja menabrak anak pemilik rumah, Jeffery Tifton. Pertemuan pertama yang tak mengenakan membuat Rosalind, sebagai kakak tertua yang bijaksana, memutuskan untuk mengutus Jane sebagai perantara untuk minta ma’af dan menunjukkan bahwa Keluarga Penderwick bukanlah keluarga yang buruk.

Jeffrey ternyata senang sekali dengan kedatangan kakak-beradik itu, mereka pun langsung berteman akrab. Sebagai anak tunggal, tentunya ia kesepian. Bahkan kakak-beradik Penderwick pun mengangkat Jeffrey sebagai anggota kehormatan Keluarga Penderwick.

Vila Arundel yang luas, dikelilingi taman yang indah, menjadi tempat bermain yang tak habis-habisnya dijelajahi mereka berlima. Tapi, Mrs. Tifton tidak terlalu menyukai Keluarga Penderwick yang dianggap memberi pengaruh buruk pada Jeffrey dan bisa jadi membuat tamannya yang indah hancur.

Bukan hanya bermain-main di kebun dan menjelajah, tapi, Rosalind juga mengalami cinta monyetnya dengan si tukang kebun Cagney. Semakin dekat dengan akhir liburan, rasanya semakin berat untuk meninggalkan Arundel.

Asyiknya buku ini, karena karakter setiap anak-anak Penderwick berbeda-beda. Rosalind, yang bijak, berusaha mengurus semuanya setelah ibu mereka meninggal, Jane si penulis, Skye yang tomboy dan galak, lalu Batty yang selalu memakai sayap kupu-kupunya. Tapi, yang pasti, kakak-beradik Penderwick gak akan tinggal diam kalo ada yang menyinggung kehormatan dan martabat keluarga mereka.

Buku ini mengingatkan gue sama buku-bukunya Astrid Lindgren atau Enid Blyton. Petualangan yang seru, lucu… yang membuat pengen balik lagi ke masa kanak-kanak, dan gak ketinggalan tentunya masakan-masakan yang lezat… Hmmmm….

Petualangan Tintin: Cerutu Sang Firaun

Petualangan Tintin: Cerutu Sang Firaun (Les Cigares du Pharaoh)
Hergè @ 1955
Donna Widjajanto (Terj.)
GPU, April 2008
64 Hal.

Maksud hati pengen liburan, tapi apa daya malah terlibat satu petualangan seru lagi. Begitulah nasib Tintin, yang rencananya akan berlibur bersama Milo, anjingnya, ke Mesir. Di kapal laut, ia bertemu dengan Philemone Siclone, seorang professor linglung yang sedang mengejar-ngejar selembar kertas yang tertiup angin. Perkenalan mereka terjadi ketika Tintin hendak membantu si professor itu. Philemone Siclone pun menceritakan isi kertas yang dikejarnya itu dan mengajak Tintin untuk mencari kuburan Firaun Kih-Oskh.

Tapi, anehnya, belum lagi tiba di Cairo, Tintin dijebak. Ia ditangkap oleh pasangan detektif kembar, Dupond dan Dupont (a.k.a Thomson dan Thompson) dengan tuduhan terlibat dalam penyelundupan narkotika.

Sekali lagi Tintin dijebak, dan tentu saja, banyak akal Tintin untuk lolos dari masalah. Ia pun mencari cara agar bisa keluar dari kapal laut itu. Setibanya di darat, Tintin kembali bertemu dengan Philemone Siclone yang segera mengajaknya ke lokasi tempat kuburan Firaun Kih-Oskh berada. Tapi, di sana Tintin terjebak dalam ruang bawah tanah dan Philemone Siclone menghilang secara misterius. Di dalam ruang bawah tanah itu, Tintin menemukan Sarcofagus atau peti mati yang bertuliskan namanya dan Milo.

Lolos dari kuburan itu, Tintin masih harus berurusan dengan duo detektif kembar yang masih terus mengejarnya. Tuduhan bertambah, yaitu penyelundupan senjata api. Tintin juga harus menghadapi hukuman tembak karena dianggap mata-mata.

Masalah narkotika ini ternyata melibatkan sebuah kelompok rahasia yang punya tujuan melenyapkan Maharaja Gaipajama.

Dari empat buku yang udah gue baca, petualangan kali ini lebih seru dibanding yang lain (gak tau deh, dengan petualagan di buku-buku berikutnya… lupa soalnya…), dulu gue pernah baca buku ini, kalo gak salah judulnya ‘Cerutu Sang Pharaoh’. Meskipun, tetap aja, Tintin ini kaya’ kucing. Nyawanya ada sembilan kali ya… (atau lebih…), biar udah ketabrak kereta, mobil, jatoh dari pesawat… tetap… selamat, sehat wal’afiat… dan segar bugar…

Petualangan Tintin: Tintin di Amerika

Petualangan Tintin: Tintin di Amerika (Tintin en Amèrique)
Hergè @ 1945
Donna Widjajanto (Terj.)
GPU, April 2008
64 Hal.

Kedatangan Tintin di Amerika membuat para kelompok gangster ketar-ketir. Pasalnya, tujuan Tintin ke Amerika memang untuk memberantas kelompok yang selalu membuat resah itu. Bahkan, pemimpin gangster paling terkenal, Al Capone, ikut resah karena kedatangan Tintin. Lolosnya Tintin di Congo dari anak buahnya membuat Al Capone tidak memandang sebelah mata si wartawan berjambul ini.

Setibanya di Amerika, Tintin langsung ‘disambut’ dengan berbagai upaya untuk melenyapkanya. Tapi, Tintin tak gentar. Satu per satu kelompok gangster mulai bertekuk lutut. Namun, ada satu kelompok gangster pimpinan Bobby Smiles berusaha mengajak Tintin bekerja sama, tapi, Tintin menolaknya dan membuat Bobby Smiles mengatur berbagai cara untuk menjebak Tintin.

Terjadilah kejar-mengejar antara Tintin dan Bobby Smiles. Tintin ‘terjebak’ di kawasan pemukiman suku Indian. Bobby Smiles yang lebih dulu, menghasut suku Indian untuk menangkap Tintin.

Tapi, bukanlah Tintin namanya kalo gak berhasil lolos dari berbagai jebakan. Akal yang banyak meskipun terkadang sederhana, mampu membuat Tintin keluar dari kesulitan.

Tintin jadi pahlawan karena usahanya memberantas kelompok gangster.

Children of the Lamp: The Akhenaten Adventure

Children of the Lamp: The Akhenaten Adventure
P. B. Kerr @ 2004
Utti Setiawati (Terj.)
Penerbit Matahati, Cet. I – Maret 2008
416 Hal.

Tumbuh gigi susu seharus menjadi hal yang wajar. Tapi tidak di keluarga Gaunt… Begitu mengetahui kalau kedua anak kembar mereka, John dan Phillipa tumbuh gigi susu, Mrs. Gaunt langsung merencanakan untuk segera di operasi, meskipun si kembar tidak suka akan hal itu.

Tapi, kalau saja John dan Phillipa tidak mengalami operasi pencabutan gigi bungsu, mereka tidak akan pernah tahu kalo mereka bukanlah anak kembar yang biasa-biasa saja. Mereka ternyata punya keistimewaan yang tidak pernah mereka sadari dan memang dirahasiakan oleh orang tua mereka, terutama Mrs. Gaunt.

Ketika mereka sedang menjalani operasi gigi, dalam keadaan terbius, John dan Phillipa mendapatkan ‘mimpi’ yang sama, mereka berdua bertemu dengan Paman Nimrod, adik ibu mereka yang sudah lama sekali tidak mereka jumpai. Dalam mimpi itu, Paman Nimrod memberi petunjuk agar mereka berdua bisa membujuk orang tua mereka supaya diijinkan pergi ke London bukan menghabiskan liburan di perkemahan tempat anak-anak berbakat. Dan anehnya… tanpa banyak pertanyaan, Mr. dan Mrs. Gaunt menyetujui hal itu.

Bukan itu saja yang aneh. Setelah operasi gigi, muka John yang kata Phillipa seperti gunung berapi, tiba-tiba menjadi mulussssss…. Dan Phillipa secara tidak sadar ternyata bisa mengabulkan permintaan Mrs. Trump.

Di London, barulah semuanya jadi jelas dan sangat mengejutkan… bahwa mereka bukanlah anak kembar biasa, melainkan anak-anak lampu…alias keturunan Jin!!! Wahhh… cool…. Mereka pun belajar mengendalikan kekuatan mereka bersama Paman Nimrod.

Liburan mereka tidak hanya di London, melainkan lebih seru lagi. Bersama Paman Nimrod, John dan Phillipa berangkat ke Mesir untuk menyelidiki makam Akhenaten – Firaun dinasti ke-18 – yang konon memiliki 70 jin yang ikut dikubur bersamanya. Ternyata, bukan hanya mereka yang mengincar makam itu, tapi juga Iblis – Jin Jahat juga mencari makam itu agar bisa memperbesar kekuatan dan kekuasaannya.

Buku yang asyik… Ternyata… peristiwa meletusnya Gunung Krakatau juga dipicu oleh kekuatan Jin… juga tenggelamnya kapal Titanic… Hehehe…

Untungnya, John dan Phillipa bukan tipe anak sok tau, tapi memang mereka anak-anak pintar, jadinya petualangan mereka jadi seru banget dengan akal-akal mereka dan gimana awalnya mereka belajar hidup dalam botol.

Jadi pengen nunggu petualangan si Anak-Anak Lampu ini selanjutnya…

Beauty for Killing

Beauty for Killing
Fradhyt Fahrenheit
FoUmediapublisher, Januari 2008
364 Hal.

5 sahabat – Vennita, Chantika, Debby, Kiyara dan Brando – masih berduka karena kematian sahabat mereka, Mae. Ditambah lagi, hubungan mereka kini merenggang gara-gara masalah percintaan. Mereka mencintai laki-laki yang sama, yang ternyata lebih memilih Kiyara untuk dijadikan pasangan hidupnya (Cerita ini ada di buku sebelumnya dengan judul 'Beauty for Sale').

Jadilah mereka berlima untuk sementara waktu menjalani ‘gencatan senjata’ untuk menjernihkan suasana. Mereka menyebar ke seluruh pelosok dunia, mulai dari Barcelona, Singapura, Bali, New York. Mereka yang masih lajang ini berkutat dengan masalah masing-masing – masalah kesendirian kesepian dan juga masalah pribadi mereka.

Vennita misalnya, rela mengeluarkan uang milyaran rupiah demi ‘mempermak’ eks pembantu di kantornya untuk jadi wanita berkelas dengan tujuan menjebak ayahnya yang gemar main perempuan.

Lalu, Brando, yang seorang gay, dikejar-kejar seorang pria yang terobsesi pada dirinya. Hingga nyari membuat karirnya hancur.

Mereka disatukan kembali ketika Vennita menghilang. Vennita diduga diculik oleh orang-orang yang ingin menghancurkan keluarganya. Misteri hilangnya Vennita menjadi bumbu yang membuat novel ini punya sedikit sentuhan (atau hanya sebagai ‘bumbu’?). Bukan apa-apa… karena tanpa hal itu, novel ini hanya jadi novel metropop, chicklit atau roman biasa yang menunjukkan gaya hidup kelas atas para perempuan dan laki-laki single.

Sejak halaman pertama sampai akhir, pembaca ‘dibombardir’ dengan berbagai macam merk ternama, mulai dari produk fashion, handphone, club-club dan restoran. Waduh… kalo gak pernah baca majalah fashion atau gak gaul, dijamin bakal terbengong-bengong dengan sederetan nama-nama kaya’ Prada, LV, Vera Wang, lalu café dan club di segala penjuru dunia. Belum lagi, handphone Vertu (or whatever) yang bertahtahkan berlian dan berlapis kulit domba muda (Hah.. silahkan bayangin sendiri!)

Di novel ini, setiap tokohnya digambarkan hari itu dia pakai baju apa, sepatu apa, parfumnya, tas dan segala macam aksesoris lainnya, belum lagi hari itu dia ada di mana, makan di resto apa dan apa yang dia makan and minum juga ditulis sedetail-detailnya. Silahkan sebut gue norak or sinis… tapi, itulah yang digambarkan, bisa bikin mulut ternganga dengan segala macam kemewahan, keekslusifan dan ‘ke-jor-jor-an’ para tokoh.

Yang paling heboh lagi, ‘penggambaran’ adegan-adegan yang amat sangat 17 tahun ke atas dengan kata-kata yang cukup vulgar. Bikin novel ini hanya sekedar pamer pengetahuan fashion dan ‘sex’.

Dan, ending cerita bener-bener menggambarkan, betapa kekayaan bisa bikin orang depresi sampai akhirnya nyari cara yang ajaib untuk menghabiskan uang dan menghibur diri sendiri.

Minus lainnya, selain cerita yang buat gue rada berlebihan adalah tulisan-tulisan yang sering tumpang-tindih.

Petualangan Tintin: Tintin di Congo

Petualangan Tintin: Tintin di Congo (Tintin au Congo)
Hergè @ 1946
Donna Widjajanto (Terj.)
GPU, April 2008
64 Hal.

Tintin jalan-jalan ke Afrika, atau tepatnya ke Congo. Tintin mendapatkan tugas untuk memberi liputan ekslusif mengenai kehidupan di Congo. Meskipun banyak yang menawarkan harga yang tinggi untuk hasil liputan Tintin itu, tapi, Tintin tidak tergiur.

Dalam perjalanan dengan kapal laut, sudah ada musuh yang mengintai. Semua diawali ketika Milo, anjing Tintin, berkelahi dengan seekor burung beo bawel yang menyebabkan Milo jatuh ke gudang barang dan bertemu dengan seorang penumpang gelap.

Rupanya, penumpang gelap ini mengintai Tintin untuk alasan tertentu yang sempat bikin kita bertanya-tanya, “Apa sih maunya ini orang?” Karena dari awal gak ketauan tuh, siapa pesuruh orang ini.

Setibanya di Congo, perjalanan Tintin juga gak luput dari ‘kecelakaan’ konyol. Mobil yang ditumpangi Tintin bertabrakan dengan kereta api, tapi Tintin selamat, justru kereta apinya yang hancur-lebur! Tintin sempat dituntut karena hal ini, tapi, kemudian semua penduduk desa menyambut Tintin dengan suka cita.

Di Congo, kegiatan Tintin adalah berburu, selain meliput keadaan di sana. Dan tentu saja, musuh Tintin juga tetap mengikuti ke mana Tintin pergi. Bahkan, akhirnya, si musuh itu bekerja sama dengan dukun desa setempat yang merasa tersaingi oleh keberadaan Tintin. Bahaya bukan hanya itu, tapi juga dari binatang-binatang buas yang ditemui Tintin selama kegiatan berburunya.

Mmmm… sepertinya, cerita di petualangan Tintin kali ini udah rada gak cocok dengan kondisi sekarang yang ramai dengan kampanye menyelamatkan satwa-satwa liar. Soalnya, cara berburu Tintin rada ‘sembrono’, karena gak ahli-ahli amat. Contohnya: waktu berburu rusa, rusa incaran Tintin gak berhasil ditembak, jadinya Tintin bolak-balik nembak itu rusa, pas dilihat, ternyata, udah banyak rusa yang mati gara-gara tembakan Tintin yang asal-asalan. Atau, Tintin yang dengan seenaknya membunuh monyet dan memakai kulit monyet itu, untuk nyamar jadi monyet dan menyelamatkan Milo.

Gambar di buku ini udah bagus dan berwarna. Jadi lebih lucu dan menyegarkan.

Tintin di Sovyet

Petualangan Tintin – Wartawan “Le Petit Vingtième” – di Tanah Sovyet (Les Aventures de Tintin – reporter du “Petit Vingtième” – Au Pays des Soviets)
Hergè @ 1946
Donna Widjajanto (Terj.)
GPU, April 2008
142 Hal.

Tintin is Back! Kaya’nya selama ini susah banget nyari komik Tintin baru di toko buku. Kalo pun ada harganya rada mahal. Jadilah berburu beberapa judul komik Tintin di penjual buku second. Dan, seneng banget pas tau GPU bakal menerbitkan kembali serial komik Tintin (baca: Teng-Teng – ini yang gue denger di Radio FeMale waktu Tintin ultah). Bentuk komik Tintin jadi lebih mini dengan kertas yang bagus.

Di kisah petualangan di Tanah Sovyet kali ini, Tintin, si wartawan berjambul diberi tugas untuk meliput aksi propaganda kaum komunis di Sovyet. Ditemani anjing setianya, Milo (a.k.a Snowy), Tintin berangkat dari Brussels menuju Sovyet dengan kereta api. Tapi, sepertinya ada sekelompok orang tertentu yang berusaha menghalangi Tintin untuk sampai ke Sovyet. Belum apa-apa, kereta api itu sudah dibom.

Akibat pengeboman itu, Tintin dibawa ke kantor polisi di Jerman. Di sana, polisi gak peduli kalo ia adalah seorang wartawan. Tintin pun kabur.

Tintin bolak-balik harus masuk kantor polisi, dikejar-kejar mata-mata dan tentu saja nyaris terbunuh. Tapi, bukanlah Tintin kalo gak banyak akal. Dalam berbagai aksi yang nyaris mencelakakan Tintin, ia berhasil selamat berkat improvisasi, ide-ide hingga bisa lolos dari kejaran para musuh.

Peran Milo juga gak kecil. Berkali-kali Milo juga melakukan trik-trik yang menyelamatkan dirinya sendiri dan tuannya.

Buku ini disajikan dalam gambar hitam-putih. Gambar-gambarnya juga belum terlalu bagus. Malah nyaris membosankan. Apalagi Tintin terkesan gampang banget lolos dari musuh dengan cara yang sederhana. Entah Tintin-nya yang cerdik, atau, musuh-musuh Tintin yang kurang cerdas. Di sini, teman-teman Tintin yang lain, seperti Kapten Haddock, Profesor Calculus, dan lain-lainnya belum muncul.

Senangnya bisa bernostalgia lagi… Semoga aja, Gramedia punya niat buat menerbitkan Asterix, Smurf atau Johan dan Pirlouit dalam bentuk baru seperti komik Tintin ini.

Dragon Keeper (Book 1)

Dragon Keeper (Book 1)
Carole Wilkinson @ 2003
Claudia (Terj.)
Penerbit Matahati, Cet. I – Februari 2008
388 Hal.

Awalnya, Ping, hanyalah seorang budak. Bahkan ia tidak pernah tahu siapa namanya, siapa orang tua dan tidak punya teman. Ia bekerja sebagai pelayan untuk seorang Pengurus Naga bernama Master Lan di sebuah istana di Gunung Huangling. Konon, Kaisar membangun istana di daerah terpencil itu untuk menunjukkan kepada dunia betapa luas wilayah kekuasaannya. Tugas Ping selain melayani berbagai kebutuhan Master Lan yang kerap bersikap kasar padanya, adalah memberi makan binatang- piaraan yang ada di istana itu, yang bukan sembarang binatang, melainkan dua ekor naga milik kaisar. Harusnya, Master Lan-lah yang bertugas merawat naga-naga itu, tapi, karena sangat pemalas, akhirnya, menjadi tugas Ping untuk memberinya makan dan membersihkan kandang naga itu.

Karena tidak mendapatkan perlakukan yang pantas dari Master Lan, Ping kerap harus mencuri sedikit makanan. Entah itu, makanan Master Lan, atau bahkan makanan naga. Ping juga gemar berpetualang ke penjuru istana ketika hari sudah malam dengan mencuri sedikit minyak untuk menyalakan lampu. Satu-satunya teman Ping adalah Hua, seekor tikus kecil.

Suatu hari, Ping merasa bersalah mengambil jatah makanan naga, hingga menyebabkan salah satu naga mati. Ia merasa tibalah suatu saat akan mendapatkan hukuman dari Langit. Kekacauan terjadi ketika rombongan Kaisar datang. Ketika itu, Ping sedang berada di dalam istana. Ia lalu bersembunyi di dalam lemari dan mendengar percakapan Kaisar dan rombongannya. Tiba-tiba Hua menggigit Ping dan membuat Ping berteriak. Dan hebohlah keadaan ketika itu.

Ping melarikan diri ke kandang naga. Salah satu tamu Kaisar adalah Diao, Pemburu Naga, yang nyaris menangkap Danzi, satu-satunya naga yang masih hidup. Ping membantu Danzi melarikan diri dari kejaran pengawal kaisar.

Sejak itu, hidup Ping tidak lagi tenang dan damai. Bersama Danzi, ia memulai petualangan panjang menuju Samudera untuk menyelamatkan sebuah batu misterius yang dilindungi mati-matian oleh Danzi.

Banyak hal-hal yang baru diketahui Ping sejak ia bersahabat dengan Danzi. Ping pun bukan lagi gadis budak yang tidak ada harganya, ia memiliki sebuah kemampuan yang tidak terduga-duga yang membawanya menjadi sahabat Kaisar baru.

Ping tidak hanya menempuh perjalanan yang menegangkan tapi, juga menyenangkan. Dunia Ping, mata Ping jadi lebih terbuka karena Danzi mengajarkan banyak hal baru buat Ping.

Ceritanya bikin terharu dan juga lucu. Masih ada lanjutan kisah petualangan Ping bersama ‘si batu misterius’ itu. Satu lagi, cerita tentang persahabatan….

The Inheritance of Loss (Senja di Himalaya)

The Inheritance of Loss (Senja di Himalaya)
Kiran Desai @ 2006
Rika Iffati Farihah (Terj.)
Penerbit Hikmah, Cet. I – Desember 2007
543 Hal.

Di kaki Gunung Kanchenjunga, Himalaya, tinggal seorang hakim tua bernama Jemubhai Patel. Bertahun-tahun ia hanya hidup sendiri, ditemani anjing kesayangannya, Mutt, dan seorang juru masak. Kegelapan dan kesuraman seolah menyelimuti rumah sang hakim. Sampai akhirnya, cucunya, Sai terpaksa tinggal di rumah kakek yang tidak pernah dikenalnya.

Kehadiran Sai mengingatkan Jemubhai pada dirinya sendiri. Seorang pemuda India yang datang ke Inggris untuk menuntut ilmu, sampai akhirnya ia berusaha ‘menjelma’ menjadi orang Inggris. Sementara itu, Sai sendiri, jatuh cinta pada guru Matematikanya, Gyan, yang sering memandang sinis pada sikap Sai yang ‘ke-ingris-ingris-an’.

Tak kalah rumit kehidupan sang juru masak, yang terpaksa berpisah jauh dari putranya, Biju, yang mencari peruntungan di Amerika. Merupakan kebanggan sendiri ketika seseorang berhasil menembus Amerika. Padahal kehidupan Biju di Amerika tidaklah semewah dan seberhasil yang dibayangkan ayahnya.

Pemberontakan yang terjadi memporak-porandakan kehidupan mereka yang sudah suram, jadi semakin suram, tapi membuat mereka pelan-pelan menyadari sikap mereka yang salah. Buku ini menyindir perilaku orang-orang yang menganggap diri mereka modern.

Banyak yang bilang cerita di buku ini bagus dan penuh kalimat-kalimat indah, tapi, koq gue gak bisa ‘menangkap’ semua itu? Bagi gue buku ini membosankan. Rasanya semua suram, semua tokoh di buku ini ‘keningnya berkerut’, muram, berkutat dengan masalah sendiri dan gak pernah puas sama diri sendiri. Tapi, gue memang rada susah payah menyelesaikan buku ini. Hihihi... 'otak'nya rada gak nyampe, nih...

Tapi, satu bagian yang lucu, yaitu ketika lagi ada pemberontakan, polisi malah sembunyi di rumah Noni dan Lola karena kantor polisinya dikunci sama polisi lain yang takut sama pemberontak.
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang