Wednesday, April 30, 2014

In the Bag



In the Bag

Kate Klise @ 2012
Nurkinanti Laraskusuma (Terj.)
GPU, Oktober 2013
376 hal.


Dua orang tua tunggal berlibur dengan anak mereka masing-masing. Pertama, Andrew dan Web dengan tujuan ke Madrid, dan kedua, Daisy dan Coco, tujuannya ke Paris.

Dua ‘tragedi’ – pertama insiden Andrew yang gak sengaja menumpahkan anggur ke baju Daisy Sprinkle. Lalu yang kedua, insiden tas Andrew dan Coco yang tertukar. Karuan liburan yang seharusnya menyenangkan, diawali dengan rasa bt dari keempat tokoh ini.

Andrew adalah seorang kurator yang kali ini diminta oleh sahabatnya, Solange,  untuk merancang sebuah pameran di Madrid. Sedangkan, Daisy, melarikan diri ke Paris, setelah kembali resign dari restoran tempatnya bekerja.

Sementara kedua orang tua mereka sibuk sendiri, yang satu dengan pekerjaan, yang satu bt dengan pesan rahasia, anak-anak mereka – Andrew dan Coco malah asyik chatting dan berencana untuk membuat pertemuan singkat dalam rangka saling mengembalikan tas.

Andrew dan Daisy juga pada akhirnya bertemu, saat Daisy diminta Solange untuk membantu menyediakan makanan di acara pameran yang dirancang Andrew. Dan tentu saja, mereka berdua tertarik satu sama lain, dan merencanakan pertemuan kecil antar dua keluarga, tanpa mengetahui bahwa anak-anak mereka ternyata sudah saling mengenal.

Gue ‘mema’afkan’ kebetulan kecil di dalam buku ini. Karena, tanpa kebetulan itu, cerita ini akan jadi ‘biasa’. Peran Solange yang muncul sesekali dalam buku ini ternyata besar pengaruhnya. Ditambah lagi, tempat-tempat asyik di Madrid dan Paris.

Karakter Andrew dan Coco, sebagai anak usia 17-18 tahun juga menurut gue ‘keren’. Mereka menyukai hal-hal yang gak umum, yang malah bikin percakapan mereka jadi nyambung. Andrew dan Daisy juga menghadapi  masalah dalam beradaptasi dengan perilaku anak-anak mereka yang masih remaja, tapi mulai menuju kedewasaan.

Gue juga menyukai ending cerita ini yang manis. Cara penyampaian cerita yang bergantian di antara empat tokoh ini, bikin cerita jadi lebih seru. Karena gue bisa tahu apa yang ada di pikiran masing-masing tokoh. Apalagi tokohnya dua orang dewasa dan dua orang anak-anak dengan jenis kelamin yang beda-beda. Jadi, gue juga bisa melihat bagaimana si anak-anak memandang orang tua mereka, atau justru sebaliknya, membaca orang tua yang resah-gelisah sama sikap anak-anak mereka yang kaya’nya hidup dalam dunia sendiri.

O ya, awalnya ketika gue baca sinopsis buku ini, terus terang gue gak terlalu tertarik. Karena gue pikir, ah paling-paling soal abg yang jatuh cinta gara-gara kopernya ketuker, jadi gue melewatkan tawaran mbak Maria untuk PO buku ini. Tapi, waktu ngeliat covernya yang imut-imut ini, yah…. Luluhlah pertahanan gue. Gak kuat melawan godaan cover yang menarik ini. 4 pasang kaki, dengan sepatu yang ‘menjelaskan’ siapa tokoh-tokoh buku ini, lalu dengan latar warna hijau yang kalau dipandang-pandang seperti sebuah koper, lengkap dengan tempelan sticker hotel dan ada gambar passport-ya. Ilustrasi di setiap pergantian bab – yang ditandai dengan pergantian hari itu, juga bagus – kertas-kertas seperti boarding pass, tiket, daftar belanjaan atau bahkan surat rahasia dari Andrew untuk Daisy.

Satu hal yang menarik dari buku ini, adalah tema pameran yang dirancang Andrew itu. Tentang teknologi – seperti smartphone, yang menggantikan sarana surat-menyurat tradisional. Gue jadi kepikiran, 3-4 tahun yang lalu, saat lebaran, masih banyak kartu ucapan yang di antara pak pos, kalo sekarang di malam takbiran ‘banjir’ broadcast message ucapan lebaran. Ada sesuatu yang kurang ‘akrab’ kaya’nya, karena pertama rata-rata pesan itu adalah copy paste dari pesan sebelumnya, kedua, dikirim secara ‘berjamaah’ ke semua contact. Makanya kalo sekarang, gue seneng ikutan postcrossing, seneng rasanya tiba-tiba dapet kartu pos, entah dari siapa dan dari mana aja.

Gue pun suka ide Daisy untuk menyajikan makanan yang kembali ke masa lalu, biar orang yang sekarang hidup dengan teknologi canggih, kangen dengan masa-masa di mana semua butuh proses yang lama dan bernostalgia. Mungkin ada hal-hal yang gak bisa tergantikan sepenuhnya oleh peranan teknologi.

Di buku ini disebutkan adanya demonstrasi oleh kalangan orang-orang yang menolak teknologi – seperti Suku Amish. Mereka ini konon benar-benar hidup jauh dari teknologi. Gak mau pakai lampu listrik, semua serba manual, dan hidup memisahkan diri dari masyarakat umum. Gue pertama kali mengetahui tentang masyarakat Amish ini dari bukunya Jodi Picoult, yang judulnya The Plain Truth.


Submitted for:

- Lucky No. 14 Reading Challenge – category: Cover Lust
- New Author Reading Challenge 2014
- Young Adult Reading Challenge 2014

Athena: Eureka


 

Athena: Eureka

Erlin Natawiria
Gagas Media – December 2013
284 Hal.

Widha memutuskan untuk berlibur ke Yunani – alasannya banyak, pertama karena memang sejak kecil ia tertarik dengan mitologi Yunani; kedua, pengen ketemu mantan pacarnya dan ketiga, memenuhi keinginan almarhum kakak kembarnya. Sejak putus sama mantannya secara sepihak, Widha memang masih selalu berusaha menjaga hubungannya tapi, si mantan ini, bernama Wafi hilang begitu saja, sampai akhirnya Widha justru mengentahui keberadaan Wafi justru dari pacar baru Wafi. Hmmm….

Okelah, setelah menabung dana bea siswa dan dari hasil menulis sebagai jurnalis, berangkatlah Widha ke Yunani. Di sana ia bertemu dengan Nathan, cowok berkebangsaan Australia yang mengerti bahasa Indonesia. Yah, si Nathan ini meskipun niatnya jalan-jalan, ternyata punya ‘misi’ sendiri. Dan sikap enggan Nathan untuk bercerita tentang latar belakangnya bikin Widha penasaran, tapi sikap penasaran Widha malah bikin Nathan jadi marah. Lagian sih… baru kenal udah sok-sok pengen tahu masa lalu orang … Kalo gue jadi Nathan, juga bt pastinya diulik-ulik terus.

Sebenernya pengen kasih bintang 2 aja untuk buku ini – karena tokoh-tokohnya berkarakter ‘nangung’ menurut gue. Udah gitu, terlalu banyak kebetulan dalan buku ini – si A kenal si B, si B ternyata kenal juga sama C yang kenal sama A. Gue lebih suka kalau ini permasalahan hanya di Wafi dan Widha, gak perlu dibuat jadi rumit dengan kehadiran orang lain yang ternyata saling kenal itu. Dan jujur gue kesel banget ketika dengan berbagai kebetulan itu.

Terus, segitu gak bisa move-on-nya Widha, sampai harus nyariin Wafi ke Athena segala – yah, meskipun ada alasan lain sih. Tapi, konfliknya jadi gak jelas. Mau ngurusin mantan atau ‘menuntaskan’ keinginan sang kakak? Lalu, kenapa tokoh-tokohnya pada bermasalah dengan ayahnya – Wafi, Nathan bahkan bocah jalanan pencuri roti itu?

Perpustakaan Hadrian via wikipedia
Mozaik di lantai Perpustakaan Hadrian via inspiringpretty.com

Yang bikin gue nambahin jadi ½ bintang – dibuletin deh jadi 3 bintang, karena pemilihan setting tempat di Yunani, yang menurut gue gak umum. Meskipun ketika berkeliling bersama Nathan, menurut gue Widha terkesan jadi kaya’ tour guide atau kamus berjalan. Seolah ingin ‘memamerkan’ pengetahuan tentang Yunani, tapi lupa menggambarkan keindahan tempat-tempat wisata yang ia kunjungi.

Bagian yang menarik dalam buku ini, ketika Widha dan Nathan ‘terjebak’ dalam pesta pernikahan di Rafina dan adegan kejar-kejaran dengan bocah pencuri roti bernama Regas.

Kalo cover, gue suka dengan warna birunya, tapi kenapa ilustrasinya koq terkesan kaku dan sepi gitu? Misalnya Monastiraki Flea Market, katanya tempat penjualan pernak-pernik yang ramai, tapi ilustrasinya gak ‘meneriakkan’ keramaian itu. Gue jadi gak bisa ngeliat apa yang menarik dari Yunani. Padahal illustrator-nya sama dengan illustrator Roma, yang lebih menarik dibandingkan yang ini.

Monastiraki Flea Market via Pinterest

Okelah, terlepas dari segala kekurangan yang di dalam buku ini, gue salut dengan pilihan setting cerita yang berani, yang unik, yang jarang dipakai oleh penulis (lokal) – eh, ini setau gue sih… Yah, emang sih ini kan bukan buku panduan pariwisata, tapi at least bisa membangun keinginan pembaca untuk berimajinasi tentang tempat tersebut.

Kalo ngeliat foto sih, (katanya) gue pernah dateng ke sana… hihihi.. pas umur 3 atau 4 tahun mungkin. Tapi, tentu saja, gak satu pun ingatan tentang kunjungan itu melekat…. Nah doakan saja deh, kalo gue bisa kembali berpose di depan Acropolis seperti di foto ini… hehehe… 

guess... yang manakah aku?



Submitted for:


- Baca Bareng BBI bulan April 2014 – tema: Travel
- Lucky No. 14 Reading Challenge – category: Visit the Country
- Young Adult Reading Challenge 2014
- New Author Reading Challenge 2014
- Indonesian Romance Reading Challenge 2014

Tuesday, April 29, 2014

Arranged Marriage



 

Arranged Marriage (Perjodohan)

Chitra Banerjee Divakaruni @ 1995
Gita Yuliani (Terj.)
GPU - 2014
376 hal.

Mungkin udah berkali-kali ya, gue bilang di blog ini, kalo gue suka baca buku-buku dari penulis India – yah, salah satunya Chitra Banerjee Divakaruni ini. Tapi ya, pertama kali gue baca bukunya – The Mistress of Spices – gara-gara nama salah satu tokohnya itu sama dengan ‘gebetan’ gue jaman dulu. Hehehe… tapi, karena buku itu juga, gue jadi nge-fans sama buku-buku beliau yang lain. Buku Divakaruni – mengangkat tema perempuan, yang terjebak antara adat istiadat yang kuat dan dunia modern, emansipasi.

Salah satu buku Divakaruni favorit gue adalah The Palace of Illusions – sebuah versi lain dari kisah pewayangan.

Ok, tentang buku Arranged Marriage – mengupas masalah perjodohan yang masih jadi hal penting dalam kehidupan kaum perempuan di India (sok tau deh gue…). Jika sudah cukup umur, keluarga akan mengatur sebuah acara, di mana para kaum laki-laki akan menilai apakah perempuan ini layak untuk jadi istrinya –biasanya mak comblang nih yang bakal mempromosikan habis-habisan si perempuan dan laki-laki. Kalau dari buku ini, kesimpulan gue, ada sebagain perempuan yang menantikan saat-saat perjodohan, berkhayal seperti apa wujud asli dari laki-laki yang dikenal hanya via foto. Ada juga yang menginginkan kebebasan dalam memilih laki-laki yang ia sukai.

Acara perjodohan di India sendiri termasuk acara yang besar-besaran. Sebuah kesuksesan bagi keluarga pihak perempuan apabila mampu memberi mas kawin yang besar kepada keluarga calon besan. Berbeda dengan Indonesia di mana justru pihak laki-laki yang memberi mas kawin, di India, justru keluarga perempuan yang melakukan hal tersebut. Bisa jadi keluarga perempuan sampai harus berhutang demi mempersembahkan mas kawin yang besar, jangan sampai dipandang sebelah mata oleh keluarga laki-laki.

via Cultural India
Tentu saja, pernikahannya sendiri pastinya tak kalah heboh dengan acara lamarannya dong. Bayangin aja kali ya, film Bollywood dengan penari memakai baju warna-warni. Seperti yang diungkapkan oleh Agustinus Wibowo dalam Titik Nol: ArrangedMarriage

“Saya terkesima melihat kemegahan pernikahan itu Pengantin pria yang gagah dengan surban merah. Pengantin perempuan yang cantik dengan perhiasan emas dari ujung kepala sampai, sari warna merah yang anggun, dan tangan yang penuh coret-coretan henna. Belum lagi para tamu yang pakaiannya penuh warna-warni dahsyat – merah, kuning, hijau, biru, ungu, jingga, merah muda – perbendaharaan kata kita sampai tak cukup untuk menyebut semua warna yang ada”

Dan jika sudah menikah, otomatis si perempuan adalah milik keluarga laki-laki. Ia akan mengurus semua tetek-bengek dalam keluarga suami – mulai dari mengurus mertua, bahkan ipar-iparnya, masak, nyuci, mungkin juga ngipasin mertuanya yang kepanasan. Gue jadi rada kesel dan gemas ketika membaca cerita Pemeriksaan Ultasonografi – yang berkisah tentang 2 sahabat – satu di India, satu di Amerika. Mereka sama-sama hamil dan menantikan anak pertama. Runu, yang tinggal di India, ketakutan jika nanti ia melahirkan anak perempuan. Sebagai, istri dari suami dengan kasta tinggi di India, anak pertama ‘wajib’ laki-laki, kalau tidak, pilihannya adalah aborsi.

Menjadi milik suami, berarti harus menerima perlakuan kasar dari suami. Ingin berontak dan melarikan diri – aib seumur hidup menanti. Cap miring akan melekat pada diri sang istri, kalau punya anak perempuan, kemungkinan besar, si anak bakal susah dapet jodoh. Gue salut dengan keberanian tokoh dalam cerita pertama yang berjudul Kelelawar, meskipun buntutnya, dengan kata-kata manis dan janji-janji surga dari sang suami, si istri rela kembali ke rumah. Menurut survey (eh, hasil pengamatan gue sih), sekali laki-laki ringan tangan dan kasar sama istri, gak akan dia bisa berubah, meskipun mulutnya berbusa mengucapkan janji-janji surga.

Apalagi dengan iming-iming pergi ke Amerika… wow, itu suatu hal yang luar biasa. Kebayang dong, A-me-ri-ka…. Negara yang hebat, pastinya si laki-laki kaya raya dan punya pekerjaan yang penting. Meksipun pada kenyataannya, ternyata si laki-laki gak sehebat itu.

Cerita Pakaian dan Jalan Perak, Atap Emas – menggambarkan kehidupan imigran India, yang mencoba mengadu nasib di Amerika. Gemerlap kehidupan di Amerika, tidak mampun membawa kehidupan yang lebih baik bagi para tokoh. Mereka juga harus siap menghadapi masalah diskriminasi karena kulit gelap mereka.

Masalah budaya, juga kerap jadi masalah. Perempuan India harus siap menyembunyikan hubungan mereka dengan pria asing. Kalau ketahuan, mereka bisa diusir dari keluarga. Cerita Kata Cinta, menggambarkan kisah seorang perempuan India yang tinggal serumah dengan kekasihnya yang bule itu. Tiap ibunya telepon, ia harus siap, jangan sampai pacarnya itu yang mengangkat.

Biasanya lagi nih, perempuan India yang udah lama di Amerika, berubah menjadi perempuan modern, yang gak percaya dengan lembaga pernikahan – apalagi memiliki anak. Tapi, kadang ya, kita suka ‘kena batunya’ kalo ngomong, kaya’ Meera dalam cerita Hidup yang Sempurna, mengambil keputusan yang mengejutkan tunangannya, Richard, ketika ia ingin mengadopsi seorang anak yang ia ditemukan di dekat apartemennya.

Yah, pada dasarnya, setiap wanita memiliki naluri keibuan kali ya. Jadi begitu lekat sama seorang anak, rasanya seperti ‘teriris-iris’ ketika harus terpisah.

Gue suka cerita Pintu, tentang sepasang suami istri – keduanya keturunan India. Tapi punya kebiasaan yang beda. Preeti, si istri, suka mengunci pintu, gak nyaman katanya, biar di rumah sendiri, tapi kalo tidur, kamar gak dikunci, atau lagi mandi, kamar mandi gak dikunci. Tapi, suaminya, Deepak, malah gak suka ngunci-ngunci pintu, katanya “siapa sih yang mau liat, kita kan di rumah sendiri”. Tapi bagi Preeti, itu adalah masalah privasi. Dan bener aja, waktu Raj, sahabat Deepak datang dari India, keseimbangan rumah tangga mereka terganggu. Raj suka seenaknya masuk ke kamar, padahal Preeti cuma pake baju tidur. Sebenernya sih, si Raj gak ada maksud apa-apa, cuma karena kebiasaan, tapi risih lah si Priti.

Komunikasi penting pastinya antara pasangan suami-istri, jangan gara-gara gak enak sama sahabat, perasaan istri juga jadi korban, dan bikin semua jadi berantakan.

Tentang pasangan suami istri juga ada di cerita Perselingkuhan, dua pasang suami istri, saling bersahabat. Tapi, dengan pasangan mereka masing-masing, sebenarnya mereka tidak merasa nyaman.

Masih tentang perselingkuhan dalam cerita Bertemu Mrinal, tentang Asha, yang baru saja bercerai, tapi, ketika bertemu sahabat lamanya, ia tak berani bercerita yang sebenarnya. Ia malah terus bercerita tentang kehidupannya yang sempurna dan keluarga yang harmonis.

Satu cerita yang tak bahagia, plus meninggalkan kebingungan buat si suami – Kehilangan. Tentang istri yang pergi tanpa jejak, bikin suami bertanya-tanya apa yang salah.

Cerita paling panjang di buku ini berjudul Kisah si Pembantu. Dari obrolan seorang gadis yang hendak menikah dengan bibinya, tersebutlah sebuah kisah tentang sari berwarna kuning kunyit – warna yang dianggap sebagai pembawa sial. Banyak yang kisah dalam cerita ini, tentang sebuah peran istri sempurna, nyonya rumah yang dengan tulus mempercayai seorang pembantu – yang tentu saja membuat para pembantu lainnya sirik, bahkan juga tentang pelecehan seksual.

Rasanya, ada beban yang ‘berat’ di dalam buku ini. Gak tau ya, mungkin karena tokoh-tokoh perempuan berada di persimpangan – antara mau bahagia, tapi koq belum nyampe ke sana. Ada beban antara kebebasan pribadi dengan pandangan keluarga dan orang banyak. Antara membahagiakan orang tua, tapi juga pengen berontak.

Meskipun gak se’ngiler’ kalo ngebayangin pasta Italiano, tapi karena pada dasarnya gue suka nyoba makanan, kuliner India yang bersliweran di buku ini juga mampu membuat gue lapar. Yah, pengalaman gue dalam hal makanan India, baru sebatas samosa atau roti cane.



Submitted for:

- Baca Bareng BBI bulan April 2014 – tema: Perempuan



- Lucky No. 14 Reading Challenge – category: Favorite Author

Wednesday, April 23, 2014

Peter Nimble and His Fantastic Eyes



 

Peter Nimble and His Fantastic Eyes (Peter Nimble dan Mata Ajaib)

Rosemary Kesauly (Terj.)
GPU, February 2014
432 hal.
(Birthday gift)

Peter Nimble, seorang anak laki-laki buta berusia 10 tahun. Konon kabarnya, ia ditemukan terapung-apun di dalam sebuah keranjang ketika masih bayi di tengah laut. Seekor burung gagak mematuk kedua matanya, hingga akhirnya ia buta. Karena itu, ketika beranjak besar, Peter Nimble trauma dengan air dan burung gagak. Oleh warga setempat, ia dibawa ke panti asuhan.

Tanpa ada yang mengawasi, mengasuh dan menjaganya, sejak kecil Peter Nimble terbiasa berusaha sendiri memenuhi segala kebutuhannya. Peter bukan anak nakal, tapi tak ada cara lain baginya untuk mendapatkan pakaian atau makanan selain dengan cara mencuri. Saking gesitnya, ia tak pernah tertangkap. ‘Bakat’ ini diketahui oleh Mr. Seamus, yang kemudian mengajaknya tinggal bersama dan  melatih Peter untuk membuka berbagai macam gembok atau kunci. Siang hari, Peter harus mencuri makanan di pasar dan malam hari, ia harus masuk ke rumah-rumah, mencuri berbagai barang berharga untuk dijual oleh Mr. Seamus yang licik itu.

Tak bisa melihat membuat indra penciuman dan pendengaran Peter Nimble sangat tajam. Keahlian yang sangat berguna, yang mempertemukan Peter Nimble dengan seorang pedagang keliling ketika ia sedang disuruh mencuri oleh Mr. Seamus. Dari hasil mencuri pedagang keliling bernama Mr. Pound itu, Peter mendapatkan sebuah Kotak Ajaib berisi 3 pasang mata, yang membawanya pada petualangan yang menakjubkan dan mengubah hidupnya.

Mata pertama, mata emas, membawa Peter Nimble bertemu dengan Profesor Cake, di mana sebuah petualangan seru dan menegangkan menanti Peter. Peter harus menyelamatkan sebuah Kerajaan yang Lenyap dari kekuasaan Raja Palsu, di mana ia ditemani Sir Tode, seorang ksatria yang dikutuk jadi kucing-kuda.

Buku ini keren.. keren.. dan keren… Suka.. suka dan suka… Karena banyak bagian yang bisa dijelajahi bersama Peter Nimble dan Sir Tode yang bikin gue gemes. Di awal keduanya suka bertengkar, tapi seperti kata Profesor Cake, pertemanan yang abadi justru diawali dengan pertengkaran dan sesekali diisi dengan perbedaan pendapat, bukan dengan kata-kata yang selalu manis.

Sebuah dunia lain yang penuh gurun pasir, istana yang bersih mengkilat dan sempurna, serta terowonga bawah tanah yang gelap gulita dan bau, menjadi tempat-tempat yang penuh imajinasi dengan burung gagak dan kera yang bisa bicara.

Menunggu apa yang terjadi dengan Peter dan 3 pasang bola mata ajaibnya itu menjadi sebuah hal yang menegangkan dan bikin penasaran.

Layaknya anak usia 10 tahun, meskipun cerdik, cerdas dan lincah, Peter Nimble tetaplah anak yang terkadang bertindak dulu tanpa memikirkan akibatnya, sesekali juga mudah tersinggung dan emosional. Cocok berdampingan dengan Sir Tode, yang karena memang usianya lebih tua, maka ia lebih bijaksana, selalu mendorong Peter untuk lebih berani.

Meskipun sih tokoh utamanya kaya’nya bukan hal yang baru ya, anak laki-laki, yatim piatu, dan ternyata punya latar belakang yang mengejutkan (atau dirinya yang sekarang ya, gak seharusnya kaya’ begini) – ada satu bagian, di mana pembaca bisa langsung menebak, siapa Peter Nimble sesungguhnya,  tapi tetap aja, buku yang satu ini tetap menarik untuk dituntaskan.


Kalau berbicara soal cover, lagi-lagi, karena latar belakangnya putih itu, memperkuat ilustrasi yang ada di cover tersebut. Tapi, entah kenapa gue merasa cover versi terjemahan ini terlalu ‘ceria’. Cover versi asli yang berlatar warna biru kehijau-hijauan yang gelap itu, lebih cocok dengan karakter Peter Nimble, yang sering ‘bergerak’ di saat malam hari itu. Plus burung gagak yang berterbangan, yang juga jadi tokoh penting di buku ini.

Submitted for:

- Lucky No. 14 Reading Challenge – category: Freebies Time
- New Author Reading Challenge 2014
- Young Adult Reading Challenge 2014
- Children Literature Project

The Handmaid’s Tale



 

The Handmaid’s Tale

Vintage, 1996
324 hal.

Republik Gilead dikuasai oleh sebuah rezim militer yang ‘mengaku’ religius. Dalam rezim ini, mereka mengambil hak para perempuan dalam segala hal. Misalnya saja, membekukan tabungan mereka. Televisi, buku-buku, majalah dan segala bentuk keriaan dilarang. Banyak pekerja dari berbagai profesi dihukum. Sekolah, toko-toko, bioskop ditutup.

Di Republik Gilead, kedudukan perempuan itu ada ‘tingkatannya’. Ada kelompok Istri, Martha (semacam pengurus rumah tangga), Aunt (pengawas para Handmaid) dan Handmaid sendiri. Tugas Handmaid sehari-hari adalah berbelanja, memenuhi kebutuhan dapur. Pakaian para Handmaid ini baju panjang dan tertutup warna merah, kepala mereka ditutupi topi, dengan tudung berwarna putih, mereka berjalan harus menunduk, tidak boleh ada yang melihat wajah mereka. Kalau mau keluar rumah, ada jadwalnya, dan tak boleh sendiri, gak boleh bicara sama siapa pun. Untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, mereka melewati sebuah tembok tinggi, yang membatasi dunia mereka dengan dunia luar. Tembok itu juga sebuah tembok yang 'mengerikan', di mana hukuman gantung dilakukan. Mayat para terhukum akan dibiarkan di sana berhari-hari, sebagai peringatan bagi yang lain biar gak macem-macem.

Tugas mereka yang lain adalah ‘berkembang biak’. Para Istri, ingin punya anak, tapi, karena sebagian dari mereka sudah ‘steril’ maka tugas Handmaid-lah untuk menyediakan ‘anak’. Secara rutin, mereka berhubungan dengan suami-suami dengan cara yang ‘konyol’ banget menurut gue. Waktu baca bagian ini, gue bengong dan pengen ketawa. Gue pengen banget menertawakan si Istri-istri yang akting tapi jadi tampak bodoh. Makanan para Handmaid sangat dijaga, karena ya itu, biar kondisi mereka tetap prima. Tiap bulan kontrol ke dokter, kalo masih belum  menunjukkan hasil, ada aja dokter yang nakal, ‘menawarkan’ jasa mereka untuk membuahi si Handmaid. Itu baru proses untuk hamil, pada saat mau melahirkan, juga tingkah laku Istri-Istri gak kalah konyol. Ceritain di sini gak ya?? Gak usah deh, ntar spoiler lagi.

Intinya, Handmaid ini berkewajiban ‘menyediakan’ keturunan. Kalau gak, mereka akan dibuang ke tempat lain – di mana perlahan-lahan mereka akan meninggal, atau malah langsung dihukum gantung.

Offred adalah menjadi Handmaid sebagai hukuman karena berusaha melarikan diri, dan buku ini semacam ‘biografi’ dirinya, yang bercerita tentang masa-masa aneh di Republik Gilead. Offred bukanlah nama aslinya. Dulu ia punya kehidupan yang nyaman, dengan suaminya, Luke dan anak perempuannya yang diketahui hilang. Offred ditempatkan di rumah Serena Joy, dan ‘ditugaskan’ untuk melayani suaminya, sang Commander. Offred sendiri merupakan generasi awal dari para Handmaid, sehingga ia tahu dunia sebelum dan sesudahnya. Meskipun berusaha tunduk dan patuh, ada jiwa ‘pemberontak’ dalam dirinya.

Dalam buku ini, para perempuan di’doktrin’ untuk tidak percaya dengan yang namanya cinta. Bahwa keadaan seperti inilah yang terbaik, dan menjadi yang pertama memang sulit, tapi lama-lama semua akan terbiasa dan berjalan dengan normal. Adakalanya di dalam rumah, para Handmaid ditunjukkan sebuah film yang menggambarkan betapa brutalnya perlakukan kaum pria terhadap perempuan. Sehingga, mereka ini mau tidak mau bersyukur bahwa mereka hanya harus ‘melayani’ satu laki-laki.

Seorang turis yang berkunjung ke Republik Gilead sempat bertanya apakah Offred bahagia dengan keadaan ini? Dan itu hanya bisa ia jawab dalam hati, karena kan mereka gak boleh bicara dengan orang asing atau siapa pun. Banyak mata-mata di sekitar mereka dan ketahuan melanggar, siap-siap menerima hukuman.

Mungkin bakal banyak pertanyaan ketika membaca buku ini, misalnya, apa yang terjadi sama Luke, siapa nama asli Offred. Dan, di dalam cerita seperti ini, ada orang-orang yang mulai bergerak secara rahasia untuk melakukan pemberontakan.

Kalau abis baca buku-buku dystopian begini, rasanya ngilu dan ngeri. Sebuah dunia yang dari luar tampak teratur, tapi penuh dengan peraturan yang membatasi. Sebuah pelanggaran akan berakibat sangat fatal. 

Salah satu penghargaan yang diraih novel ini adalah Arthur C. Clarke Award tahun 1987, sebagai novel science-fiction terbaik. Dan ternyata, The Handmaid's Tale ini juga sudah pernah difilmkan, pemerannya adalah Natasha Richardson sebagai Offred dan Faye Dunaway sebagai Serena Joy.


Submitted for:

- 2014 TBRR Pile – Reading Challenge (Book Award Winner)
- New Author Reading Challenge 2014
- Books in English Reading Challenge 2014

Monday, April 14, 2014

Guest Posting by Dewi : The Yummy Yummy from Books




Halo halo... 
Ada tamu istimewa nih di blog gue... siapa lagi Bu Dokter Dewi yang 'fenomenal' dengan review buku biru yang legendaris itu. Hehehe.. tapi, kalo udah pernah main-main ke blog-nya, pasti terhibur banget baca review yang lucu, panjang lebar meskipun adang ngalor-ngidul ke mana-mana.



Nah, bersiap-siap ngiler dan kelaperan setelah membaca postingan Dewi ini ya, karena yang dibahas adalah ma-ka-nan... mari disantap.....

dan salam Westlife!

= = = = =

Pernah ngiler sama suatu makanan yang disebut di buku? Baik makanan itu disebutkan sepintas lalu maupun dibahas mendetil (misalnya pada buku-buku yang bertema kuliner).
Saya sih sering buanget.

Dan yang bikin saya ngiler justru bukan buku bertema kuliner, tapi malah novel anak semacam Enid Blyton ato Jennings. Buat yang pernah baca novelnya Blyton pasti familiar dengan jenis-jenis makanan yang disebut di sana. Pernah ada yang membuat list makanan-makanan yang muncul di novel Lima Sekawan dan wow...bacanya aja bikin saya ngiler padahal makanannya biasa aja. :))

Iya lho...makanan di novelnya Blyton itu kalo dipikir biasa aja. Sering kita temui di keseharian kok. Tapi beliau pinter mendeskripsikannya ampe bikin pembaca jadi mupeng.
'Pork pie-- home-made, of course,' said Dick. 'And what's this--golly, it's a cheese! How enormous! Smell it, Julian -- it's enough to make you start eating straightaway! And more of that home-made brea! Can we start?'
'No-- there are new laid boiled eggs to begin with,' said Anne, with a laugh. 'And an apple pie and cream to end with.'
Biasa banget yaaaa. "Cuma" pork pie, keju, roti, telur rebus dan pai apel. Tapi baca antusiasme Dick kok ya rasanya enaak banget sih itu makanan.

Saking "terpengaruh"nya sama makanan di novel Blyton, saya ampe niat nyobain langsung makanan-makanan itu. Udah cukup deh masa kecil saya dilewati dengan baca novel Lima Sekawan sambil ngiler dan minum sirup Orson sambil bergumam menghibur diri : "Yaaahh....gak bisa minum limun jahe yang ada di  novel Blyton, gak papa deh minum Orson aja. Beda tipislah rasanya." #miris

Makanya begitu kuliner di Jakarta makin beragam dan cemilan-cemilan asing mulai merambah, saya pun memantapkan niat untuk memuaskan ngeces masa kecil saya. Saya ingat, percobaan pertama saya dimulai dari scones yang simpel, tapi bisa dibikin enak kalo udah Blyton yang nulis.
“Hot scones,” said George, lifting the lid off a dish. “I never thought I’d like hot scones on a summer’s day, but these look heavenly. Running with butter! Just how I like them!”
source
Aduh...langsung mupeng dong ya nyari scones hangat bermentega. Ampe saya bela-belain deh nyari cafe yang jual.
Apa saya doyan?  Ehm...gimana yaaa...Ternyata gak seenak yang saya bayangkan.
Bentuk dan rasanya malah ngingetin sama donat strawberi yang dulu dijual di SMP saya. X) Ampe ngebatin : "Kalo scones rasanya kek donat, ngapain sih gw ampe niat nyari?"
Apalagi membayangkan scones panas gitu diminum dengan teh panas dibarengi cuaca Jakarta yang juga panas. Euh >.<

Lalu...apa saya kapok mencoba lagi?
Hohoho....enggak doong. Saya gitu lhoooo! Ditolak masuk Indonesian Idol satu kali sama Anang aja saya gak kapok, apalagi cuma dikecewakan sama scones. (Analoginya gak nyambung sih, tapi biarin aja lah).

Jadi percobaan kedua saya adalah memvisualisasikan (bahasa sok keren tapi gak tepat) adegan ini :
 "The high tea that awaited them was truly magnificent. A huge ham gleaming as pink as Timmy’s tongue; a salad fit for a king...It had in it everything that anyone could possibly want. “Lettuce, tomatoes, onions, radishes, mustard and cress, carrot grated up - that is carrot, isn’t it, Mrs. Penruthlan?” said Dick. “And lashings of hard-boiled eggs.”  
There was an enormous tureen of new potatoes, all gleaming with melted butter, scattered with parsley. There was a big bottle of home-made salad cream. “Look at that cream cheese, too,” marveled Dick, quite overcome. “And that fruit cake. And are those drop-scones, or what? Are we supposed to have something of everything, Mrs Penruthlan?"
Woaaa.....yummy banget yaaa. Ham, selada, tomat, wortel, telur! Masih nambah keju leleh, salad cream dan fruit cake pulaaaa. *elus-elus perut*
Saya kesulitan nyari salad persis seperti di deskripsi itu. Akhirnya saya bikin sendiri aja. Agak susah sih nyari home-made salad cream secara krim salad versi di buku itu pasti beda dengan krim salad yang dibikin di rumah saya. Tapi sudahlah....yang penting kan isi saladnya toh.

Jadi setelah niat ngumpulin bahan, saya coba bikin salad seperti di buku. Sayang waktu itu belum jaman foto makanan terus upload di Instagram (yaaa IG juga belum ada sih yaa), jadi saya gak punya bukti percobaan saya. Tapi seenggaknya gambaran salad yang saya bikin waktu itu yaaa....seperti ini tapi dalam versi lebih ancurlah #eh


Hayooo....pasti ngiler kan liatnya?
Saya juga gitu. Jadi dengan penuh semangat saya geragas deh salad dan fruit cake-nya. Dan ternyata.....yaaa gitu deh. Rasanya gak beda dengan salad pada umumnya. Saya emang gak doyan sayur mentah sih ya, jadi gak peduli selengkap apapun salad itu yaa rasanya tetap aja makan sayur mentah.
Kalo soal fruit cake...lumayan enak kok. Cake-nya lembut dan lumer di mulut, sayang aja buahnya yang dipake buah kering. Jadi ada sensasi kecut - kecut kenyal gitu deh. Aduh saya tukang protes banget yaaaa.

Meski begitu, saya gak kapok dong. Rasanya percobaan untuk mengkreasikan ulang makanan Blyton gak lengkap kalo gak nyoba piknik outdoor.
Jadi Blyton itu sukaaaaa banget masukkin adegan piknik di buku-bukunya. Dan bekal piknik yang dibawa itu yo'i-yo'i. Trus diceritakan kalo para tokohnya tuh selalu makan dengan lahap karena "udara luar mempengaruhi selera makan".

Jadi saya pikir, kali aja kemarin-kemarin saya anggap makanan itu gak enak karena suasananya kurang mendukung #halah. Mestinya saya nyoba makan di udara luar, di daerah padang berumput gitu. Ahiiww...
Jadi dengan sepenuh niat, saya pun mencari lokasi yang tepat untuk piknik saya. Dan setelah berkontemplasi (halah!), saya pun memilih piknik di....Cibodas.
Yaa...emang bukan padang rumput di Inggris sih, tapi beda tipis mah gak papa kan. #sakarepmu

 

Dan makanan piknik yang jadi acuan saya tuh yang ini :
"Mereka membuka sekaleng makanan daging, mengiris-iris roti, lalu memakannya dengan nikmat. Sesudah itu mereka membuka sebuah kaleng berisi buah nanas yang segar lalu memakannya pula. Tetapi mereka masih tetap merasa lapar! Karena itu menyusul dua kaleng sarden, yang diambil isinya dengan biskuit sebagai sendok. Benar-benar santapan yang nikmat. Seperti makanan raja-raja!"
Wogh! Mari kita visualisasikan makanan di atas. Yang didapat hasil seperti ini :


Tampak seret ya makanannya. #lho Sebenernya sih saya suka hampir semua jenis makanan di gambar itu. Tapi kalo digabung...eng....ini pengalaman saya :
1. corned beef digabung roti jelas enak. Tapi makan corned beef dingin bukanlah ide tercerdas abad ini.
2. Saya alergi nanas. Jadi abis makan nanas kalengan, yang ada saya sibuk cari obat anti alergi karena satu mulut rasanya gataaalll semua :| (apes amat sih iniiii #nangisketawa).
3. Sarden mentah itu gak enaak!!!! (*0*) Ampe sekarang saya masih eneg kalo mencium bau sarden mentah.

Sejujurnya pengalaman piknik itu rada bikin kapok. Sekarang saya udah gak segitu penasaran lagi sama makanan enggres ato makanan apapun yang dibahas di buku. Intinya....saya kapok terpengaruh "jualan" media lagi.
Lebih enak makanan makassar yang udah ketahuan rasanya kayak kapurung, palu basah, coto, dan ikan asin sunu deh. Yeah!
Tapi yaahh....saya gak bisa nahan beli gingerbread cookie ini pas nemu. Cute banget sih.
(walo abis itu misuh-misuh sendiri karena gak doyan sama rasa  jahe dan kayu manis di cookie itu. Hehehe...)

 Etapi biar kapok sama makanan yang "dijual" media, sesungguhnya ada dua makanan dari novel masa kecil yang masih bikin saya penasaran sampe sekarang. Dan keduanya bukan dari novelnya Enid Blyton lho. Malah dari seri Narnia-nya C.S. Lewis.

Yang pertama adalah wafer yang diberikan ratu penyihir kepada Edmun di novel "Sang Singa, si Penyihir, dan Lemari Ajaib".
 "...muncullah sebuah tempat berbentuk bulat, diikat pita sutra warma hijau, yang ketika dibuka ternyata di dalamnya berisi beberapa kilogram makanan yang diinginkan oleh Edmun. Setiap potongnya terasa manis dan lembut, serta rasanya belum pernah Edmun menikmati makanan selezat itu. Sekarang tubuhnya terasa sungguh hangat dan nyaman."
Wuogh! Keren banget itu wafer ampe bikin Edmun ngerasa hangat dan nyaman. Pastilah wafer itu lebih manis daripada senyum dewanya Ben Barnes dan lebih lembut daripada suaranya Shane Westlife #SelaluAdaAlasanUntukNyebutWestlife #WestlifersGarisKeras ( ? ³?)?
(PS : Okay...saya tahu kalo sebenarnya yang dikasi Penyihir ke Edmun itu Turkish delight. Tapi yaaa berhubung novel Narnia pertama yang saya baca itu terbitan Dian Rakyat dan di sindang nyebutnya wafer sih jadi yaaa....wafer deh yang bikin saya mupeng).

Penasaran kedua masih dari kisah Narnia-nya Lewis tapi kali ini dari "Pangeran Kaspian". Adegannya waktu Pevensie bersaudara kesasar di hutan, kecapekan dan mereka makan daging beruang bakar.
"Buah-buahan apel (yang masih banyak mereka miliki) dibungkus dengan daging tersebut seperti bakso besar diisi apel.  Apel berlapis daging itu kemudian ditusuk dengan sebilah kayu runcing dan dipanggang di atas api. Maka, cairan buah apel itu pun membasahi seluruh daging, seperti hidangan daging bakar dengan saus apel."
My...my..my...!!! (º?º)
Daging saus apel sih tahu rasanya. Tapi daging beruang saus apel dengan apelnya meleleh basahin daging, wah saya belum pernah nyoba dan penasaraaaaannnn sama rasanya.
Sebenernya scene ini yang paling saya tunggu di film Prince Caspian, sayang malah gak ada. #yeskeleus

Nah kalo kamu gimana? Ada gak makanan yang dibaca dari buku dan bikin kamu mupeng banget ampe nekat nyobain? Boleh dibagi ceritanya kalo ada.

Salam Westlife!



(PS : Oiya...kalo suatu saat kamu tertarik bikin kue ala bukunya Enid Blyton, bisa coba resepnya di sini)

O ya, kalo mau tau tamu-tamu di blog-blog member BBI yang lain, silahkan klik link berikut:



Giveaway Hop BBI 2014 - The Winners!!





Setelah tertunda sehari dari waktu yang sudah saya janjikan (ma’af ya), maka tibalah saatnya untuk mengumunkan pemenang Giveaway Hop BBI 2014 dalam rangka meramaikan ulang tahun BBI yang ke 3.

Selamat ulang tahun dulu untuk BBI, semoga semakin menjadi sebuah komunitas yang besar dan tetap solid.

Ok, tanpa banyak berbasa-basi, inilah pemenang GA di Lemari Bukuku yang dipilih oleh random.org


Pemenang hadiah buku senilai IDR 100,000:

Mute (buku pilihan: The Heroes of Olympus #4: The House Of Hades)

Pemenang hadiah buku senilai IDR 50,000:

Rini Selly (buku pilihan: Life of Pi)


Selamat untuk pemenang, harap konfirmasi alamat via email di ferina.ardinal@gmail.com ya, ditunggu paling lambat hari Selasa jam 09.00. Kalau gak ada kabar, maka saya akan pilih pemenang lain

Terima kasih untuk semua yang sudah berpartisipasi dalam giveaway di blog ini. Jangan kecewa, jangan bersedih (ehemmm.. terutama untuk Dinoy yang berharap di-mention)

Sampai ketemu di giveaway berikutnya..

Kalau kamu belum beruntung di sini, coba cek blog-blog di bawah ini, siapa tau ternyata kamu beruntung di tempat yang lain :)

 

Tuesday, April 08, 2014

Flipped



 

Flipped

Wendelin van Draanen @ 2001
Scholastic – Januari 2004
212 hal.

Kalo inget-inget jaman cinta monyet, jaman suka-sukaan sambil malu-malu kucing, rasanya seru dan lucu banget (jadi sebenernya suka sama si monyet apa si kucing sih?)… dan baca novel ini, beneran bikin gue jadi mengenang kembali masa-masa itu. Jaman-jaman SD, yang katanya belum boleh tuh namanya suka-sukaan sama cowok, apalagi pacaran. Jaman kalo suka sama orang, terus curhat deh ke temen, dengan satu pesan “Jangan bilang siapa-siapa ya”, tapi curhatnya ke hampir ke semua temen cewek… terus kalo disorakin, “Ciee….” Itu malunya ampun… sampe gak berani gerak.  Atau kalo kebetulan ketemu di jalan, suka pura-pura gak liat (padahal pengen banget disapa). #eh.. kenapa gue jadi curhat lagi….?

Jadi di usia kesekian ini, gue membaca kisah cinta monyet antara Byrce Loski dan Juli Baker. Byrce yang baru aja pindah rumah, langsung disambut Juli, tetangga barunya, yang menurut Byrce rada ‘gengezzz’. Gak di rumah, gak di sekolah, Juli selalu ngikutin Byrce.

Juli, gadis yang riang, pintar dan penuh semangat. Dunianya langsung ‘jungkir balik’ ketika ia terpikat dengan mata biru Byrce. Dan ia langsung membayangkan akan mendapatkan ciuman pertama dari Byrce. Berbagai upaya dilakukan untuk mendekat Byrce, tapi Byrce malah ngedeketin cewek lain, supaya bisa menjauhi Juli. Satu-satunya yang diinginkan Byrce, adalah supaya Juli ‘lenyap’ dari kehidupannya.

Dibilang berteman, rasa gak, tapi kalo gak berteman, mereka toh satu sekolah, satu kelas. Beranjak remaja, berbagai peristiwa terjadi – mulai dari insiden pohon sycamore, insiden telur dan acara ‘lelang cowok’ untuk cari dana.

Sampai akhirnya mereka menyadari, kalo yah, gak ada salahnya saling memberi kesempatan kan…

Kisah novel ini sederhana aja sih, tapi jangan liat kalo hanya berkisah tentang abg yang lagi jatuh cinta, tapi juga tentang keluarga. Ada banyak karakter menarik di dalam buku ini, misalnya Juli, si gadis periang yang nyaris gak berpikir tentang keburukan orang lain, yang di awal sempat membuat gue teringat sama Hermione, Byrce yang ‘pengecut’, Mr. Baker dan kakek Chet yang bijaksana, Mr. Loski – seorang ayah yang berusaha tampil ‘sempurna’ dan suka merendahkan orang lain, belum lagi si kembar Matt dan Mike (yang bikin gue inget sama George dan Fred Weasley – ooopsss … gak pernah bisa move on dari Harry Potter kaya’nya)

Banyak bagian-bagian lucu dalam buku ini, tapi juga membuat haru. Pasangan Juli dan Byrce ini kadang pengen gue jewer. Kadang sok jual mahal, tapi eh, tau-tau deketin lagi, minta ma’af. Terus, sok gak mau deket-deket, tapi kepikiran kannnn… Dan yang menarik lagi, karena buku ini diceritakan dari sudut pandang Byrce dan Juli, jadi kita bisa tau perasaan mereka masing-masing terhadap satu kejadian yang sama.

Apa yang membuat gue tertarik membeli (dan membaca) novel ini adalah tentu karena cover yang simple. Yah, gue sih memang penggemar cover buku dengan latar putih dan hanya fokus di satu objek – seperti si anak ayam terbalik ini. Anak ayam yang akan ‘menelurkan’ sebuah kisah antara Juli dan Byrce.  Dan untunggg.. gue menemukan versi bahasa Inggrisnya, karena ternyata pernah liat bolak-balik versi terjemahan dan gak membuat gue tertarik karena.. mmm.. covernya.

Recommended untuk para ABG, untuk mommy-mommy yang mau bernostalgia, dan untuk para ayah yang bisa belajar dari bijaksana dari Mr. Baker dan Kakek Chet dan untuk gak berpandangan negatif kaya’ Mr. Loski.

Penulis buku ini - Wendelin van Draanen – juga berprofesi sebagai guru

Submitted for:

- Lucky No. 14 Reading Challenge – category: Cover Lust
- Young Adult Reading Challenge 2014
- Books in English Reading Challenge 2014
- Children Literature Project
- New Author Reading Challenge 2014
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang