Friday, August 31, 2012

The Lord of the Rings: The Fellowship of the Rings



The Lord of the Rings: The Fellowship of the Rings (Sembilan Pembawa Cincin)
J.R.R. Tolkien
Gita Yuliani K (Terj.)
GPU – Cet. II, Maret 2002
512 hal
(Gramedia Pondok Indah Mall – kalo gak salah)

Memilih buku untuk posting bareng BBI bulan ini rada-rada membingungkan. Plin-plan aja gue jadi bawaannya. Tema bulan ini adalah ‘1001 books to read before you die’ – dari sekian banyak pilihan buku, susah rasanya untuk menentukan buku mana yang akan gue baca. Ada beberapa yang udah dibaca, dan udah dibuat review-nya, ada beberapa buku yang masih berstatus penghuni timbunan, tapi baru beberapa lembar dibaca, udah berpikir bahwa sebaiknya buku itu dijadikan bantal saja karena bikin ngantuk (yah, sebut aja Wuthering Heights atau Pride and Prejudice). Pride and Prejudice sempat gue baca beberapa bab – lebih banyak daripada Wuthering Heights yang hanya beberapa lembar :D Nyari-nyari Virgin Suicides kaya’nya adek gue punya – tapi.. lho koq gak ketemu… akhirnya, terinspirasi saat nonton di TV, gue memutuskan untuk membaca ulang The Lord of the Rings – toh saat gue baca buku ini tahun 2002, gue belum punya blog buku, dan otomatis belum ada review-nya.

Membaca buku untuk yang kedua kalinya, biasanya gue justru lebih ‘menghayati’, lebih hati-hati, karena gak ada perasaan pengen cepet-cepet nyelesain buku baru. Jadi, yang dulu saat pertama baca buku ini, sejujurnya, gue gak terlalu ngerti.

Udah ah, panjang bener basa-basi gue ini.

‘Seharusnya’ sih, cerita Lord of The Rings ini gak asing buat para pencinta cerita fantasi. Dulu pun saat gue beli buku ini, lagi jaman-jamannya Harry Potter… hehehe.. rada-rada tertipu sih, gue pikir ceritanya akan ‘semenyenangkan’ Harry Potter, tapi ternyata gelap banget *terbayang wajah Frodo yang selalu murung*

Jadi, alkisah, Bilbo Baggins mengadakan perayaan ulang tahunnya yang ke 111 – atau yang dalam bangsa Hobbit artinya ulang tahun yang ke seratus sepuluh satu – sebuah pencapaian yang membanggakan. Bilbo ini sudah merencanakan sebuah kejutan – yaitu ia akan ‘menghilangkan’ diri di tengah-tengah pidatonya sendiri.

Yah.. sebelumnya sih, Bilbo memang dikenal aneh. Ia sudah pernah ‘menghilang’ sebelumnya dan tiba-tiba muncul kembali. Tapi kali ini, ia akan ‘menghilang’ untuk selamanya.

Tapi, dengan apa Bilbo menghilang? Ternyata ia hanya perlu mengelus sebuah cincin. Dan .. ‘Pop’ , ia pun menghilang. .. seluruh kekayaan yang ia miliki, ia wariskan kepada keponakannya – Frodo Baggins.

O ya.. Hobbit itu sebangsa kurcaci – eh, bahkan lebih kecil dari kurcaci, gak pernah pake sepatu karena kaki mereka yang besar dan tebal, tinggalnya di dalam semacam gua atau lubang yang udah ditata dengan apik.

Ternyata cincin yang dipakai Bilbo ini memang mempunyai kekuatan ‘magis’ dan sayangnya, untuk beberapa pemakainya memberi pengaruh buruk. Maka itu, cincin ini harus dimusnahkan. Tapi, cara memusnahkannya pun gak sembarangan, harus dibawa ke gunung api di Mordor. Tugas Frodo-lah sebagai pewaris untuk memusnahkan cincin itu. Karena ternyata kekuatan gelap mulai muncul lagi.

Perjalanan yang harus ditempuh sangat berbahaya, Sauron si penyhir jahat, mulai mengincar cincin itu juga. Belum lagi Gollum, makhluk kecil yang menjijikan. Ia menganggap cincin itu adalah miliknya dan Bilbo sudah mencuri darinya.



Frodo pun berangkat ditemani 8 orang lainnya: empat sahabat hobbit – Merry Bradybuck, Pippin Took dan Sam Gamgee, lalu ada Gandalf, si penyihir putih yang baik hati dan bijaksana, Gimli – mewakili bangsa kurcaci, ada Boromir. Dan gak ketinggalan, Aragorn dan Legolas, si peri manis dan ganteng ini (aww… *mana suara para wakil Team Aragorn dan Team Legolas? Hehehe…)

Yah, begitulah cerita singkatnya.. yang pasti gue selalu membayangkan betapa tertekannya Frodo.

Adanya film, seperti yang gue bilang di atas, sangat membantu untuk mengerti jalannya cerita buku ini. Apalagi, sampai buku ketiga, yang buat gue, makin lama semakin gelap. Yang menyenangkan adalah membayangkan desa para Hobbit.

Kalo ditanya apakah buku ini pas untuk masuk ke dalam 1001 buku yang ‘wajib’ dibaca, karena J.R.R Tolkien berhasil membawa kita ke dalam sebuah dunia baru. Tak terbayang ada makhluk yang lebih kecil dari kurcaci. Dan kalo selama ini gue ngebayangin kurcaci itu imut-imut seperti yang ada di Snow White, hehehe.. di sini kurcacinya gendut dan mengerikan. Tapi sebenernya si kurcaci ini baik hati sih…

Waktu terakhir gue nonton LOTR 3, pengen nangis rasanya, sedih ngeliat perpisahan antara Frodo dengan Sam, Merry dan Pippin. Hiks…

Thursday, August 30, 2012

The Night Circus



The Night Circus
Anchor Books
508 pages
(Times Bookstore – Cibubur Junction)

Cover memang salah satu daya tarik utama yang bikin gue tertarik untuk beli sebuah buku. Tak terkecuali yang satu ini, cover yang simple, background hitam, dengan garis-garis putih membentuk sebuah tenda dan sedikit warna merah.

Alasan lainnya adalah karena kalimat ini yang begitu ‘menggoda’ rasa ingin tahu gue:  

The circus arrives without warning. No announcements precede it. It is simply there, when yesterday it was not. Within the black-and-white striped canvas tents is an utterly unique experience full of breathtaking amazements. It is called Le Cirque des Rêves, and it is only open at night.

Tentunya ini bukan sirkus biasa. Gak ada yang tau di mana kota selanjutnya yang akan mereka datangi. Pokoknya tiba-tiba ada aja tenda sirkus hitam putih udah berdiri. Sampai-sampai ada para ‘fans’ yang rela menguntit keberadaan sirkus ini, yang disebut dengan Rêveur.

Adalah Chandresh – si pemrakarsa sirkus ini. Awalnya Chandresh ini juga punya ritual aneh, yaitu mengadakan jamuan makan tengah malam. Di antara para tamu yang ekslusif itulah, Chandresh melontarkan ide ini. Para pengisi acara di sirkus ini pun haruslah unik.

Apa yang ada di sirkus juga bukan hal biasa – yah, bukan kaya’ yang biasa kita liat di sirkus-sirkus gitu deh. Berpindah dari satu tenda ke tenda lain, pengunjung kesulitan memutuskan mana yang paling mereka sukai. Ada tenda yang isinya awan-awan, wishing tree, labirin dan lain-lain – yang gak pernah terbayangkan kalau ini beneran ada. Jangan bayangin sirkus seperti yang ada di Water for Elephants, deh…      

Tapi, di balik keunikan dan segala misteri yang ada di balik sirkus ini, sebenarnya ada sebuah kompetisi antara dua orang magician bernama Celia dan Marco. Mereka berdua ini sudah dididik sejak kecil untuk berkompetisi. Celia adalah seorang anak magician, dan Marco – seorang yatim piatu yang diambil oleh pria misterius berpakaian abu-abu. Dalam kompetisi ini, siapa yang kalah akan mati.

Marco adalah asisten Chandresh dan pertama kali ia tau siapa kompetitornya saat ia menyaksikan Celia dalam audisi.

Tokoh yang mencuri perhatian gue adalah si Frederick Stefan Thiessen – si pembuat jam yang ajaib juga. Keren banget.. gue berusaha ngebayangin.. tapi susah… Sama satu lagi, si kembar Widget dan Poppet – si kembar yang lahir pas malam pembukaan sirkus, yang satu bisa membaca masa depan, yang satu lagi justru bisa melihat masa lalu.

Setting cerita ini dimulai tahun 1873. Setiap bab, waktu yang diceritakan juga melompat-lompat, meskipun kalo gak diperhatiin bener, akan gak sadar kalo sebenarnya kita membaca rentang waktu yang berbeda (nah, sambil baca aja udah kena ilusi)
Sebenernya nih… gue pengen banget untuk ‘sangat’ suka sama buku ini. Tapi, entah ya, koq tiba-tiba pas baca ini rasanya ‘blank’ aja. Terlepas dari segala keunikan buku ini, ada yang gak pas menurut gue. Entah karena, bumbu-bumbu percintaan antara Marco dan Celia yang bikin buku ini jadi kaya’ novel romance ‘biasa’ – mereka ini saling menunjukkan ‘cinta’ dengan cara bikin tenda yang isinya ajaib-ajaib semua, atau karena saat membaca buku ini gue gak ‘mencurahkan’ perhatian yang bener-bener. Maklum deh, saat-saat gue baca buku dengan tekun adalah di mobil dalam perjalanan ke kantor, tapi karena gue baca buku ini pas bulan puasa, yang ada di mobil gue malah ngantuk dan tertidur. Adakalanya saat gue baca pun gue jadi gak fokus karena ngantuk (huhuhu… alasan… alasan…)

Wednesday, August 15, 2012

Dollhouse



Dollhouse
Kourtney – Kim – Khloe Kadarshian
Inosensu Rotorua (Terj.)
Penerbit Esensi - 2012
327 hal
(buntelan dari Penerbit Esensi)

Cover yang eye-catching dengan motif macannya, ditambah dengan nama penulisnya, membuat gue bertanya-tanya, beneran gak ya ini tulisan para The Kadarshians? Jangan-jangan ceritanya sama aja seperti lagi nonton reality show tentang kehidupan mereka, yang penuh dengan party, belanja-belanja dan kehidupan yang mewah itu.

Jujur aja, pertama kali gue tau yang namanya Kim, Khloe dan Kourtney Kadarhsian, adalah saat lagi makan siang di kantor. Waktu itu di kantor baru aja dikasih fasilitas televisi di pantry. Temen gue memindahkan chanel ke salah satu acara reality show-nya The Kadarshians ini. Gue pun bertanya sama temen gue, “Sebenernya siapa sih mereka ini?”  Karena gak pernah kedengaran nyanyi atau main film, tau-tau ngetop aja gitu. Hehehe.. atau gue aja yang kuper kali ya?

Jadi, Dollhouse berkisah tentang kehidupan 3 bersaudara – Kass, Kamille dan Kyle Romero(hmmm.. ya.. perhatikan awalan yang sama dengan nama-nama mereka). Awalnya mereka ini termasuk keluarga selebritis, tapi sejak kematian ayah mereka, yah, terpaksa mereka ‘menurunkan’ standard kehidupan mereka ‘sedikit’.       

Kass, yang paling tua, paling pintar dan paling ‘alim’. Prestasi akademiknya cemerlang. Tapi, sayangnya tidak diikuti dengan kehidupan percintaan yang sukses juga. Karena ‘kutu buku’, Kass jarang melirik para cowok-cowok, padahal Kass gak kalah cantik dari Kamille.

Kamille, yang paling cantik, paling glamour – gambaran yang rasanya paling mendekati cewek-cewek Kadarshians. Ia bermimpi jadi foto model terkenal. Perawatan dirinya sangat mahal. Dan akhirnya.. keberuntungan itu memang datang. Ketika sedang duduk-duduk di café, seorang agent menghampirinya dan memberi tawaran untuk menjadi foto model. Karir Kamille langsung melesat, ditambah lagi ia berpacaran dengan seorang pemain football yang terkenal playboy. Tapi, yah namanya udah cinta mati, gak peduli deh seperti apa gossip yang beredar. Paparazzi selalu menguntit Kamille, reality show pun ingin ikut ambil bagian.  

Lalu, si bungsu, Kyle, si pemberontak. Kyle lebih tertutup dibandingkan dengan dua saudaranya. Sikap ini muncul semenjak ayah mereka dinyatakan tewas saat sedang berlayar. Orang tuanya sering dipanggil ke sekolah karena sikap Kyle yang ‘ajaib’. Terkadang juga secara diam-diam, ia mengambil minuman keras dari lemari ayah tirinya.

Sejujurnya gue ‘lega’ saat membaca buku ini, karena isinya gak terlalu mirip dengan kehidupan asli mereka (eh.. emang gue tau aslinya mereka gimana?). Yahhh..  paling gak beda dengan yang bisa diliat di acara televisi mereka itu. 







Tokoh favorit gue adalah Kyle, yang meskipun gak terlalu banyak porsinya dan meskipun anak bandel, tapi dia sayang sama adik tirinya, Bree. Hehehe.. emang gue selalu lebih suka dengan tokoh yang rada-rada rebellious.

Isi buku ini …yah.. drama banget… Tokoh-tokohnya buat gue lumayan punya konflik yang beragam. Tapi emang sih, kadang gak jauh-jauh dari urusan percintaan.

Yang gue suka adalah isinya yang tentang persahabatan di antara kakak-beradik, gak ada satu sama lain yang merasa tersaingi, malah saling support. Yah, meskipun sempat ada masalah besar antara Kass dan Kamille. Tapi, love conquers it all…  Antara saudara tiri juga gak ada yang namanya permusuhan kaya’ cerita Bawang Merah Bawang Putih.. hehehe…

Tapi, gue sempat bertanya-tanya, "Apa enak ya kalo setiap hari selalu dikuntit kamera? Untuk 'menggerutu' aja gak boleh?"

Well… awal yang baiklah untuk The Kadharsian buat terus bikin tulisan.
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang