Pada Suatu Hari Nanti/Malam Wabah
Sapardi Djoko Damono
Bentang, Juni 2013
94 Hal/88 Hal.
(Gramedia Plasa Semanggi)
Ketika bajay BBI sedang ‘heboh’ untuk membaca
puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, secara gak sengaja gue ‘menemukan’ buku ini
di Gramedia Plasa Semanggi. Masih gres, fresh from the oven. Segera saja, tanpa
ragu-ragu dan pikir panjang, gue membawa buku ini ke kasir.
Ada dua bagian atau tema
kumpulan cerita di dalam buku ini, Pada Suatu Hari Nanti dan Malam Wabah.
Mari.. mari.. gue coba untuk ‘mengupas’ satu per satu. Biar keliatan apa yang
bikin dua bagian ini berbeda.
Gue membaca bagian Pada Suatu Hari Nanti terlebih
dahulu, karena ternyata di bagian ini berisi kumpulan cerpen yang merupakan
interpretasi SDD atas dongeng-dongeng yang sudah kita kenal selama ini… well,
at least gue lumayan familiar dengan beberapa dongeng yang di’ceritakan
kembali’ di sini. Ada
humor yang diselipkan di dalam cerita-cerita ini.
Misalnya nih, Dongeng Rama-Sita, gue mungkin gak terlalu akrab dengan
cerita-cerita pewayangan, tapi sedikit banyak gue tau, kalo Rama ini
pasangannya Sita. Rama yang ganteng, gagah dan Sita yang cantik jelita dan
anggun. Mereka diibaratkan bagai titisan para dewa-dewi. Di sini digambarkan
Rama yang pasrah tapi cerdik, harus menghadapi Sita yang tiba-tiba jadi
‘ganjen’.
Lalu ada Ratapan
Anak Tiri, yang ternyata ratapannya gak setragis yang selama ini
digambarkan di sinetron; Hikayat Ken
Arok, seorang preman yang terpesona sama betis seorang perempuan dan rela
melakukan apa saja demi si betis itu; Pada
Suatu Hari Nanti, kisah Nawang Wulan yang menanti datangnya sepucuk surat
di kotak pos; Dongeng Kancil,
tentang si kancil yang terlunta-lunta nasibnya karena si Juru Dongeng yang
selama ini sudah memberi cap pada si kancil sebagai hewan yang tukang bohong,
pencuri dan nakal.
Adalagi, Nonton
Ketoprak Sampek-Kentaek, Solo, 1950 – kisah Romeo dan Juliet rasa Mandarin,
atau si Malin Kundang yang mencari ibunya biar gak dikutuk dalam cerpen dengan
judul yang super panjang, ‘Sebenar-benarnya
Dongeng tentang Malin Kundang yang Berjuang Melawan Takdir Agar Luput dari
Kutukan Sang Ibu.’
Dua cerpen yang gue gak kenal ‘asli’nya adalah Crenggi dan Ditunggu Godot.
Sementara di bagian kedua, Malam Wabah, berisi
cerita-cerita yang baru, di mana di sini benda mati diberi kesempatan untuk
bicara, atau cerita-cerita tentang pikiran orang-orang yang mengembara,
berkelana ke mana-mana.
Beberapa cerita yang ‘nyangkut’ dan mudah dicerna
adalah kisah Rumah-Rumah, ‘curahan
hati’ rumah-rumah yang terbengkalai, kenapa sampai gak ada yang ngontrak –
menarik nih, lalu kisah Sepasang Sepatu
Tua – tentang pemilik sepatu yang cinta banget sama sepatu butut dan
berdebunya, Ketika Gerimis Jatuh –
‘pergolakan batin’ seorang anak kecil yang resah karena ayahnya belum pulang,
bikin terharu, Bingkisan Lebaran,
tentang anak kecil yang pengen sekali-sekali pulang kampung dan ngerasa bebas, Membimbing Anak Buta – cerita seorang
ibu yang nyeritain apa yang dia lihat sama anaknya yang buta – dan satu cerita
lagi yang gue suka adalah Membaca
Konsultasi Psikologi.
Cerita yang gue baca pas banget sama Lebaran
adalah Jemputan Lebaran, tentang
seorang bapak tua yang merasa sendiri di tengah kehebohan lebaran,
sampai-sampai dia bertanya-tanya, apa dia juga sudah benar-benar kenal dengan
lebaran?
Masih ada cerita Membunuh Orang Gila – tentang seorang pria yang tak sengaja
menabrak orang gila dan justru ia merasa sangat kehilangan dan bersalah.
Sementara cerita-cerita lainnya – Membunuh Orang Gila, Daun di Atas Pagar, Rel, Suatu Hari di Bulan Desember 2002, Malam Wabah dan Gadis Jilbab di Dalam Angkot – ma’af… gak lupa dan gak ngerti .. hehehe..
Secara keseluruhan sih, gue lebih suka baca
bagian Pada Suatu Hari Nanti, lebih seru membaca dongeng yang tiba-tiba jadi
kisah yang ‘ajaib’, yang melenceng dan sedikit ‘kacau’. Sementara di bagian
Malam Wabah, kisah Rumah-Rumah yang berkesan. Gue juga jadi inget salah satu
cerita di Dongeng Sekolah Tebing – Clara Ng, tentang Rumah No. 13 yang gak
pernah ada mau dipakai orang.