Maggie Tiojakin
GPU, Juli 2013
241 Hal.
(Gramedia Mal Ciputra)
Agak ragu awalnya membeli buku ini, selain kadang
kurang sreg sama kumpulan cerpen, juga karena tulisan ‘absurd’ di covernya.
Yang udah-udah, memang gue sering menemukan cerita absurd dalam kumce dan pada
akhirnya gue bingung… entah penulisnya yang terlalu canggih merangkai
kata-kata, atau emang gue yang gak
nyampe otaknya… Tapi, cover-nya menarik hati… jadi, gue pun luluh.
Tapi, apa yang terjadi??? Baiklah… cerita
pertama, gue masih membutuhkan penyesuaian, gue sedikit kurang ‘mudeng’ dengan
cerita ini. Meskipun di dalam cerpen Tak
Ada Badai di Taman Eden ini, gue sekilas menangkap rasa kesepian, rindu dan
rasa akan sesuatu yang jauh dari sang suami, Barney. gue mempersiapkan diri
untuk lanjut ke cerita kedua dengan harapan, semoga di cerita-cerita
selanjutnya, gue mulai bisa akrab dengan yang namanya si ‘absurd’ ini.
Cerita kedua ini adalah satu cerita yang
ending-nya bikin gue kepo, berjudul Kristallnacht. Begitu selesai, gue bertanya, “Hah?
Udah nih… jadi gimana dong? Apa yang mau dia sampaikan?” Dan.. berakhirlah
cerita itu, dengan menyisakan rasa penasaran dalam diri gue.
Mungkin layaknya sebuah cerita yang absurd, tak
normal atau yang tak masuk akal, cerita bisa berakhir dengan cara yang tak
terduga, benar-benar melenceng dari apa yang kita ikuti ketika kita mulai
membaca cerita, seperti cerita Fatima – cerita yang diawali dengan sebuah adegan seru
dan menegangkan, mirip film-film action. Sebuah misi rahasia yang harus
dijalankan dengan hati-hati. Bersiaplah untuk tertawa sendiri, ketika sampai di
akhir cerita dan, mungkin sedikit berseru, “Sial…!” (eh.. apakah gue mulai gak
normal karena tertawa baca cerita ini?)
Coba deh, apa anehnya dua orang yang lagi main
online game, udah sering baca atau denger kan orang-orang yang kecanduan dengan
online game sampai males makan, malas bersosialisasi sampai-sampai seolah
kehidupan di dalam game itu sesuatu hal yang sangat serius. Suatu Saat Kita Ingat Hari Ini – judul
yang indah, yang bisa membuat orang berpikir akan membaca cerita yang romantis,
atau persahabatan yang indah.
Dan kalau gue membaca dies irae, dies illa –
gue terbayang The Hunger Games, kota yang ‘hancur’ yang pemberontakan, penduduk
yang bersembunyi, anak-anak yang mencuri roti demi bertahan hidup, pemerintah
otoriter, yang tak segan membantai warga demi kekuasaan.
Satu lagi yang bikin gemes setelah membaca cerita
ini, karena akhir cerita yang bikin pengen ‘ngamuk’ karena menggantung, Panduan Umum Bagi Pendaki Hutan Liar – apakah
ini cerita macam 5cm? Dengan remaja pendaki gunung yang tampak tangguh dan
penuh jiwa patiotisme? Bukan?? Ini kisah sederhana antara ayah dan anak
perempuan. Yang bikin senyum-senyum, adalah sang ayah yang gak sadar anaknya
mulai beranjak remaja, risih sendiri ngeliat perlengkapan pribadi anak gadisnya
itu…. Ee… tapi, bukan itu sih ceritanya….
Dalam Saksi
Mata, gue jadi bertanya-tanya, apa ini juga gambaran yang terjadi di dalam
masyarakat? Tidak peduli, repot, ketakutan, merasa ini bukan urusannya,
terserah deh, mau terjadi apa sama orang – loe-loe, gue-gue. Urusin aja masalah
loe sendiri…
Kisah tragis pertama di dalam buku ini adalah Labirin yang Melingkar-lingkar dalam
Sangkar – tokoh Danno yang terobsesi dengan bangunan-bangunan tua. Kenapa
tragis? Baca deh, ntar spoiler lagi… yang pasti bikin kisah ini berasa jadi
mistis.
Nah, dua cerita yang membuat gue pengen
‘menggetok’ kepala cowok adalah Ro-Kok
dan Jam Kerja. Ini tentang
halusinasi, imajinasi laki-laki, kalau lagi pikirannya kosong. Jangan pernah nyuruh
laki-laki milih, daripada be-te sendiri.
Gue terkesan dengan cerita Dia, Pemberani. Cerita seorang laki-laki yang selalu tergoda untuk
mencoba hal-hal yang menantang maut. Demi mencapai kesenangan, kepuasan, orang
gak peduli lagi. Semakin menantang,
semakin mengasyikan.
Sebuah
kutipan indah, membuat cerita dalam Kota
Abu-Abu jadi indah dan berwarna. Kalau membaca ini, jadi ingat Negeri Senja
– SGA (tapi, gue gak ngebandingin lhoo.. cuma inget aja). Kutipannya adalah
---
“Duniaku sudah indah,” … “Karena ini dunia yang kutahu.” --- (hal. 67)
--- “Aku
tak masalah dengan kota ini,”… “Aku nyaman di sini.” --- (hal 70)
Mungkin kepasrahan seseorang, kepuasan batin,
membuat orang akan selalu nyaman berada
di mana pun – seperti Remos. Tapi, dalam diri seseorang mungkin ada jiwa
petulang, rasa ingin tahu yang pada akhirnya bisa membuat kita lebih tergoda
dan menemukan kenyamanan di tempat lain – seperti Greta.
#bijaksana
mood:on
Puncak cerita, memang yang paling absurd buat gue, or… maksudnya yang paling gak gue
mengerti, Selama Kita Tersesat di Luar
Angkasa. Tapi, lagi-lagi, di tengah rasa gak mengerti gue ini, gue seolah
merasakan gimana batas hidup dan mati itu tipis banget. Para
astronot itu udah tau, mereka gak akan bisa selamat. Bayangkan tersesat di luar
angkasa, sekeliling langit hitam... mencekam. Kisah tragis para astronot.
Kalo gue boleh mengambil kesimpulan, gak semua
cerita di dalam buku ini sesuatu yang absurd, beberapa cerita buat gue jadi
satu hal yang sah-sah aja jika terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Temanya
beragam – game online, rumah tangga, perang, banjir, rokok, pegawai yang bosan
– sampai yang canggih tentang para astronot. Hanya saja Maggie Tiojakin mampu
meracik kisah-kisah ini dengan cara yang gak biasa dan berakhir dengan sesuatu
yang juga gak biasa.
Gak puas dengan 14 cerita di atas… tenang… ada
kejutan lain dari Maggie….
3 comments:
sepertinya menarik ya mbak :)
saya bulan kemarin ngelihat buku ini di gramedia dan tau sempat mau mengambilnya karena ada gimmick menarik di dalamnya. Tapi harganya itu lho :))) *soalnya udah ngambil beberapa buku lainnya sih xD
Yah, lain kali ketika berkunjung ke gramedia saya akan langsung mengambil buku ini tanpa ragu, heheh.
@Bang Helvry: bagus, bang.. cocoklah buat bang Helvry
@FJ: jangan ragu2 lagi ya :)
Post a Comment