Monday, April 29, 2013

Jalan Bandungan




Jalan Bandungan
NH Dini @ 1989
GPU – November 2009
438 hal.

Muryati, adalah anak seorang prajurit, yang ketika jaman perjuangan melawan penjajah Belanda, ia pun ikut ‘bergerilya’ di dalam hutan. Mengikuti ke mana pun ayahnya berjuang. Bersama keluarganya, ia harus hidup di hutan, bersembunyi dari penjajah. Di antara anak-anak, mereka tetap bermain, belajar, tapi adakalanya, mereka juga merasakan ketegangan di antara para orang dewasa. Tak jarang, suasana gelap, terdengar bunyi ledakan senjata. Mereka juga harus hidup berpindah-pindah, mencari tempat aman.

Di sinilah, pertama kali ia bertemu dengan Widodo, seorang prajurit anak buah ayahnya. Tapi, kala itu ia tak tahu siapa nama pemuda itu, meskipun ada rasa penasaran. Setelah, perang selesai, keluarga Muryati bisa kembali ke kota, menempati rumah yang nyaman dan aman. Barulah, Widodo kerap datang ke rumah mereka. Tutur kata dan sikap yang sopan menarik hati orang tua Muryati.

Singkat kata, Widodo pun melamar Muryati. Meski hati berkata lain, Muryati pun menerima anjuran orang tuanya untuk menerima lamaran Widodo itu. Tapi, berbagai kejanggalan sebenarnya sudah terlihat sebelum pernikahan resmi dilaksanakan – Widodo yang tak pernah memperkenalkan keluarga mereka dengan orang tuanya, Widodo selalu datang dengan pamannya, Widodo yang awalnya supel dan ramah, tiba-tiba jadi kaku dan sering mengatur. Muryati dibesarkan dalam keluarga yang demokratis, bebas mengeluarkan pendapat. Sosok Widodo yang seperti ini membuat hatinya berontak. Tapi, ketika ayahnya meninggal, Muryati tak punya pilihan lain kecuali menikah dengan Widodo.

Dan benar saja, Widodo ini, tipe laki-laki yang tidak mau diatur perempuan, maunya dilayani, dan gak mau ditanya apa pun yang berkaitan dengan pekerjaannya. Buat dia, yang penting uang gaji sudah dikasih ke istri, jadi istri gak perlu tanya macam-macam. Meski kadang protes, tapi ya Muryati tidak  bisa berbuat apa-apa.

Lalu, tiba-tiba saja, Widodo tidak pulang dan akhirnya Muryati mendapat kabar bahwa Widodo ditangkap karena terlibat dalam aktivitas partai terlarang.

Mulailah kehidupan Muryati sebagai istri seorang tahanan tapol, bagaimana kesulitannya untuk kembali mengajar karena status barunya itu. Beruntung Muryati memiliki teman-teman yang terus mendukungnya, ditambah dengan bantuan beberapa orang yang berpengaruh hingga akhirnya Muryati bisa pergi ke Belanda. Kemudian bertemu dengan Handoko, adik iparnya, yang akhirnya menjadi suami keduanya.

Sejujurnya, gue merasa salah pilih buku. Dari dulu, gue pengen baca karyanya NH Dini, dan kebetulan gue melihat buku ini ada di rak buku di rumah adek gue. Karena tema baca bareng BBI bulan ini adalah buku yang ditulis oleh perempuan atau tentang perempuan, gue rasa buku ini cocok untuk baca bareng. Tapi, ternyata gue kecewa. Buku ini gak mampu membangkitkan ‘emosi’ ketika gue membacanya. Mungkin ya, emosi sama si Widodo itu, tapi, selebihnya, gak ada rasa penasaran atau rasa empati dengan Muryati. Datar aja gitu…  Mungkin karena dari penuturan ceritanya. Di sini gue merasa membaca sebuah biografi yang tanpa ‘gejolak’. Cerita bertutur sejak Muryati kecil, sampai ia akhirnya dewasa melewati berbagai macam peristiwa. Mungkin minimnya dialog yang menyebabkan buku ini jadi kurang ‘greget’ (sekali lagi, buat gue ya…) Ceritanya menurut gue hanya difokuskan pada Muryati seorang. Padahal di awal gue berharap, ada konflik yang ‘seru’ seputar hubungannya dengan Widodo dan Handoko. Atau jatuh-bangunnya Muryati sebagai istri tahanan politik. Tapi, entah kenapa, konflik itu semua terasa lancar jaya aja. Seolah semua diterima begitu lapang dada oleh Muryati, sampai akhirnya cara berceritanya pun jadi biasa. Belum lagi, cara bicara yang sangat sopan, yang jadi terasa kaku. Bahkan di antara sesama sahabat, dialognya kaku banget. Padahal, salah satu yang bikin cerita itu menarik untuk gue dan enak dibaca, adalah dialog yang mengalir dengan ‘santai’.

Menurut gue, ya.. mungkin karena tokoh utama, tokoh sentral ada di Muryati, tokoh yang lain jadi ‘ketutup’. Di sini gue malah gemes dengan tokoh Handoko, yang harusnya menurut gue bisa membuat cerita lebih hidup, malah koq akhirnya jadi ‘diem’ dan ‘nurut’ aja gitu.

Karean hal ini, ketika membaca buku ini, maunya cepet-cepet aja. Ada rasa gak sabar. Ya, pengen tau ending-nya aja… setelah berpanjang-panjang dengan sedetail-detailnya, jadi apa sih akhirnya.

Tapi, terlepas dari ‘kekurangsreg-an’ gue dengan buku ini, kalau bicara tentang perjuangan seorang perempuan, menurut gue, sosok Muryati mewakili sosok perempuan yang kuat, tabah dan mau untuk maju. Sejak remaja, Muryati punya cita-cita, dan tidak ada keinginannya untuk cepat-cepat menikah. Keluarga juga mendukung cita-cita Muryati. Meskipun tetap harus pasrah apa pun yang dibilang suami, tapi Muryati tetap mau berubah dan berusaha untuk keluarga. Selain itu juga, terlepas dari penggambaran yang terlalu datar itu, di dalam dunia nyata, sebagai istri seorang tahanan politik, pastinya susah dalam pergaulan – omongan orang yang pedas, gunjingan, birokrasi yang bertele-tele, juga anak-anak yang mungkin minder (ini juga nih kurang ‘dikupas’)

Selain itu, teman-teman Muryati – sahabat-sahabatnya – Mur, Sri dan Ganik – juga bukan perempua yang lemah. Mur adalah seorang dokter, Sri yang suaminya selingkuh juga berani mengambil keputusan, lalu Ganik, dengan penyakit kanker yang dideritanya juga tidak menjadikan ia perempuan yang lemah. Mereka berempat saling memberi semangat untuk maju. Juga ibu Muryati, sepeninggalan suaminya, ia tak gengsi membuka warung yang menjual keperluan dapur, meskipun mereka tinggal di kawasan elite dan jadi bahan cemoohan orang.

Ok.. akhir kata.. adakah rekomendasi buku-buku NH Dini yang lain – yang mungkin bisa ‘mengobati’ kekecewaan gue?

#Posting bareng BBI bulan April 2013, kategori: Penulis Perempuan; buku tentang Perempuan

6 comments:

Fadhilatul said...

intinya sih kak ferina...
baca buku2nya NH Dini harus sabar. hehe...

kilasbuku.blogspot.com

#kilasbukublogwalking

ferina said...

@Fadhilatul: wah.. emang tipe-nya gitu semua ya?

HobbyBuku said...

aq juga belum pernah baca bukunya NH Dini, kebanyakan semacam jurnal perjalanan hidupnya ya.
kapan hari sdh mau ambil waktu gramedia sale, cmn baca ulang sinopsisnya ternyata sebagian besar berkelanjutan, berhubung tidak ada komplit, batal deh >,<

Tezar said...

idem ama mbak Maria. Dulu guru bahasa Indonesiaku di SMA promoin karya-karya NH Dini, cuma memang sampai sekarang belum pernah baca

astrid said...

Gue suka Jepun Negerinya Hiroko, menurut gue lebih kerasa drama nya tinggal jauh di negeri orang, jauh dari keluarga dan familiaritas..mungkin karena based on pengalamannya NH Dini sendiri, jadi bisa lebih kerasa penjiwaannya ya.. tapi gue juga belom banyak baca buku2nya kok...jadi pengen nyari lagi nih..

Anonymous said...

aku nggak pernah di promoin sama guru SMAku huhuhu. Jadi belom pernah baca ataupun liat bukunya sama skali... :/

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang