The Fault in Our Stars (Salahkan Bintang-Bintang)
John Green @ 2012
Inggrid Dwijani Nimpoeno (Terj.)
Qanita – Cet. I, Desember 2012
424 hal.
(Gramedia Grand Indonesia)
Saat buku ini diterjemahkan, terus terang gue
termasuk yang semangat untuk membeli dan membacanya. Begitu banyak pujian untuk
buku ini sampai-sampai buku ini menjadi pemenang di goodreads choice awards
2012 kategori young adult fiction.
Kalau dilihat sih, ceritanya simple aja. Tentang
dua remaja yang saling jatuh cinta. Jadi apa istimewanya dong?
Yang membuat cerita cinta remaja ini lebih ‘berisi’
adalah karena dua tokoh yang dalam kondisi ‘tidak biasa’. Hazel Grace, remaja
berusia 16 tahun, divonis mengindap kanker thyroid . Diramalkan usianya tak
akan lama lagi. Paru-paru Hazel harus bekerja sangat keras, sampai ke mana-mana
Hazel harus membawa alat yang memberikan suplai oksigen untuk paru-parunya.
Hazel juga terpaksa berhenti sekolah. Biar Hazel
tidak kehilangan pergaulan, ibunya memaksa Hazel untuk dalam sebuah perkumpulan
bernama Kelompok Penyemangat Penderita Kanker. Hazel sih rajin datang, meskipun
ia tak terlalu bersemangat. Ia hafal rutinitas setiap minggu di dalam kelompok
tersebut.
Sampai suatu hari, datang seorang laki-laki… yah,
cukup kerenlah. Bergaya cuek, terselip rokok yang tak pernah dinyalakan di
bibirnya, cowok ini bernama Augustus Waters. Augustus menderita osteosarkoma
atau kanker tulang. Salah satu kakinya sudah diamputasi dan ia memakai kaki
palsu. Ironisnya, dulu Augustus adalah pemain basket.
Pertemuan pertama langsung membuat mereka dekat. Gaya mereka berteman
terkesan cuek. Mereka saling berbagi buku yang mereka suka. Hazel ini terobsesi
pada sebuah buku berjudul ‘Kemalangan yang Luar Biasa’, karya Peter van Houten.
Akhir ceritanya menggantung, bikin Hazel penasaran apa yang selanjutnya terjadi
dengan tokoh-tokoh dalam buku itu.
Kesempatan untuk bertemu Peter van Houten pun
datang. Tapi sayangnya, ketika Augustus dan Hazel bertemu sang penulis di Amsterdam, justru
kekecewaan yang mereka dapatkan. Padahal butuh perjuangan bagi Hazel (dan juga
Augustus) untuk bisa berangkat ke Amsterdam.
Gaya bicara mereka berdua
yang terkesan tanpa beban ini, sedikit banyak bisa menjadi ‘renungan’. Mereka
berdua sama-sama tahu, hidup mereka tak akan lama lagi. Tapi mereka tetap
semangat dan ceria. Saling menguatkan, dan gak menyerah meski dalam keadaan
yang terburuk. Keluarga mereka berdua juga memperlakukan mereka dengan ‘normal’,
meskipun mereka sedih setiap kali Hazel atau Augustus mendapatkan ‘serangan’,
tapi mereka gak menunjukkan kesedihan itu di depan Hazel atau Augustus.
Mereka juga gak malu dengan keadaan mereka yang
tidak ‘normal’. Obat-obatan menjadikan kondisi tubuh mereka berubah secara
fisik. Tapi mereka tetap cuek. Bagi Augustus, Hazel adalah gadis tercantik.
Ending buku ini… *sigh* #ambil tissue…
Errr… Mr. Augustus Waters, I think you are one of
the candidates of the book boyfriends for 2013….
The Fault in Our Stars saat ini sudah mendapatkan
peran untuk Hazel Grace, yaitu Shailene Woodley, yang juga akan bermain di film
Divergent.
Terus, siapa dong yang cocok jadi Augustus
Waters? (kenapa gue malah kebayang Vino G. Bastian ya? Hihihi.. ketuaan juga
sih kaya’nya.)
Anyway, buat gue, buku ini bagus banget – karena,
berisi kisah cinta yang gak ‘menye-menye’, yang gak menjual mimpi-mimpi indah
dan kata-kata gombal; karena isinya penuh ‘semangat’ dan sakit parah justru
tidak menjadikan seseorang terpuruk.
Karena.. hmm.. apalagi ya… susah untuk menuliskan
kata-kata untuk buku yang banyak banget dapet bintang lima ini…
3 comments:
hahahaha.... kok, Vino Bastian sih, yang jadi Augustus Waters? =))
Calon buku yang bakal aku batja beberapa bulan lagi, heheh.
@peni: hehehe.. gak tau, teh.. kebayangnya itu :D
@Jun: lho.. koq masih beberapa bulan lagi?
Post a Comment