Finding Srimulat
Hilman Hariwijaya
GPU -
Maret 2013
232 hal.
(Gramedia
Plaza Semanggi)
Adi tengah galau berat karena proyek besar yang
bisa membuat mimpinya jadi kenyataan tiba-tiba saja berantakan. Ide yang ia
miliki dicuri oleh rekannya sendiri, Jo Halim dan dijual ke event organizer
lain. Proyek yang akan menyerap dana besar ini pun membuat perusahaan EO tempat
Adi bekerja mengalami kebangkrutan. Kecewa pastinya, dan juga bingung. Adi
membutuhkan dana untuk biaya persalinan istrinya, Astrid. Dan juga jika proyek
ini berhasil, maka Adi bisa membuktikan pada mertuanya bahwa ia bisa
membahagiakan Astrid dan ia tidak main-main.
Lagi merenung bingung, mobil Adi mogok dan
didorong hingga berhenti depan sebuah restoran soto milik Kadir. Adi pun
kembali ke masa kecilnya, di saat ia gemar nonton lawakan Srimulat di televisi.
Dasar orang kreatif ya, begitu ketemu Kadir, ide-ide pun berloncatan di
kepalanya. Ia pun berniat mengumpulkan para anggota Srimulat untuk kembali naik
panggung. Ide ini disambut dengan antusias oleh Kadir. Mereka pun kemudian
menemui Mamiek, Gogon dan Tessy bahkan sampai ke Solo untuk bertemu dengan Ibu Djujuk,
sang primadona Srimulat, dan juga Eko dan Tarsan
Tapi, tak semua anggota Srimulat ini optimis
dengan ide Adi. Sebagian menganggap ini hanyalah khayalan anak muda yang
terlalu tinggi, belum lagi masalah biaya yang pastinya besar untuk mewujudkan
mimpi itu.
‘Srimulat
kalo udah main, nggak ada kata ‘kalo berhasil’, yang ada MESTI BERHASIL!’ (hal.
147 – 148)
Kalimat itu yang menjadi pemompa semangat Adi,
dan juga anggota Srimulat lainnya untuk tetap optimis dan mau mencoba apa yang
diusulkan oleh Adi.
Saat membeli buku ini, hanya untuk menemani
weekend dengan bacaan yang ringan, berharap ada humor yang segar yang kali-kali
bisa bikin gue ngikik-ngikik. Soalnya jarang-jarang gue suka sama yang namanya
buku humor, yang malah kadang-kadang malah jadi lebay dan garing.
Di bab-bab pertama, ‘kecurigaan’ gue terbukti.
Gue sempet sebal dengan gaya
humor yang lebay, yang buntutnya malah jadi sok lucu. Tapi, pas gue lanjut
baca, celetukan-celetukan, lelucon di antara para anggota Srimulat membuat buku
ini jadi lebih segar. Gaya mereka yang khas – seperti Kadir denga logat Madura-nya,
Kabul atau yang lebih dikenal sebagai Tessy yang aslinya macho, tapi kalau di
panggung selalu jadi wanita, Ibu Djujuk yang kenes tapi bijaksana, Tarsan si
Bapak yang galak. Gue rasa buku ini (plus film-nya) bisa mengobati kerinduan
akan lawakan Srimulat yang segar, bukan kaya’ lawakan sekarang ini yang lebih
banyak cela-celaan atau dorong-dorongan. Bahkan jadi terharu ketika mengingat
beberapa anggota Srimulat yang sudah wafat.
Mereka juga mencoba realistis, bahwa ada di antara mereka yang sekarang punya program kejar tayang seperti Nunung – atau Tessy yang dilarang tampil karena selalu menampilkan sosok sebagai wanita atau ‘bencong’ (padahal ada yang jelas-jelas bergaya seperti itu, tapi masih laku dan gak dilarang tampil tuh #nomention)
Pada akhirnya, buku ini bukan hanya untuk
lucu-lucuan meskipun tokohnya para anggota grup Srimulat, tapi lebih
‘penyelamatan’ sebuah icon di dalam dunia hiburan khususnya dunia lawak.
Mungkin juga mencoba ‘mengingatkan’ kalau lawakan itu gak hanya ngeluarin joke,
atau asal lucu, tapi juga mesti ‘cerdas’.
Mari ‘Selamatkan Indonesia denagn Tawa’!
3 comments:
waaah ada nama gue sebagai tokohnya :D btw covernya tapi kok kurang gimana gitu ya fer...
semoga tertawa bisa menyelamatkan Indonesia #eh
@Astrid: yah.. cover-nya emang kurang okeh..
@Tezar: yuk, mari ketawa.. biar gak stress :D
Post a Comment