Crying 100 Times (100Kai Naku Koto)
Nakamura Kou @ 2005
Khairun Nisak (Terj.)
Penerbit Haru – Cet. I, Juni 2013
256 Hal
(Gramedia Plasa Semanggi)
Hmmm.. gimana ya mau nulis review untuk buku ini.
Ok, gini aja. Buku ini tentulah tentang cinta. Seorang pemuda bernama Fujii
menjalin hubungan dengan gadis bernama Yoshimi. Yoshimi ini dalam imajinasi gue
adalah gadis yang manis, pendiam. Dia pintar menggambar. Yoshimi lah yang
meyakinkan Fujii untuk segera memperbaiki sepeda motor tuanya, agar Fujii bisa
pulang ke kampung halamannya, menjenguk anjingnya yang sedang sakit keras.
Anjing ini bernama Book – karena ia ditemukan di dekat perpustakaan. Book setia
menemani Fujii belajar untuk masuk ke perguruan tinggi.
Saat sedang memperbaiki sepeda motor itulah,
Fujii melamar Yoshimi. Wah, gue langsung terbayang adegan ini. Sementar Fujii
dengan cueknya melamar Yoshimi, si Yoshimi yang sedang menunduk membersihkan
sepeda motor, akan terdiam sejenak, seolah lagi ngelamu, sebelum menjawab
lamaran Fujii. Setelah itu, mereka pun mengadakan ‘latihan’ berumah tangga.
Yoshimi pindah ke apartemen Fujii.
Well… tampaknya kisah cinta ini akan berjalan
dengan manis kan?
Hmmm… gue jadi inget episode Masterchef US season 4 kemarin, waktu para
kontestan diminta menyajikan makan malam untuk tamu undangan di pesta
pernikahan, si Joe Bastianich bilang, “Gak semua pernikahan berakhir dengan
manis kan? Ada kalanya si mempelai
ditinggal oleh pasangannya di altar.” Hehehe.. emang rada kejam sih buat
menggambarkan kisah dalam buku ini. Tapi, ya, maksud gue, gak semua kisah cinta
berakhir dengan manis, berbunga-bunga, penuh senyum dan saling bergandengan
tangan. Fujii yang tadinya merasa sebagai laki-laki yang paling bahagia, justru
harus merasakan sebuah kehilangan.
Kalau katanya Fujii adalah laki-laki paling
bahagia di dunia, dalam buku ini gak akan keliatan seperti itu. Gue malah
membayangkan Fujii dan Yoshimi adalah dua orang yang baru saling kenal, sopan
banget (yah, kalo gak mau dibilang kaku sih). Apa orang Jepang emang kaku-kaku
ya? Harusnya Book bisa jadi tokoh yang menambah keceriaan dalam buku ini.
Sayangnya, Book lebih sebagai tokoh pelengkap, meskipun ada benang merahnya
juga sih kalau mau ditarik lebih jauh. Intinya tentang ikhlas kali ya…
Alur ceritanya lambat banget, malah cenderung
datar. Tapi bersabarlah sedikit, maka pelan-pelan kita akan mengenal Fujii dan Yoshimi, dan mencoba merasakan rasa sedih dan tertekan yang dirasakan sama Fujii. Kalau ini ditulis sama orang Indonesia, pasti drama-nya lebih
mengharu-biru, bikin hati teriris-iris, perih. Apa orang Indonesia yang
suka mendramatisir segala sesuatu?
Tentang 'latihan' sebelum menikah digambarkan dengan halus oleh Nakamura Kou. Bahkan untuk 'kissing' pun mereka malu-malu. Bener-bener pasangan yang imut-imut.
Gue suka dengan cover-ya yang pinky ini. Cocok
dengan cerita yang manis, meski berakhir tragis. Tapi ya, bahkan di cover-nya
pun terlihat sepi.
O ya, kalo diinget-inget, mungkin ini setipe
dengan Nicholas Sparks, yang demen banget cerita tentang kisah cinta dengan
pasangan yang salah satunya mengidap penyakit keras.
0 comments:
Post a Comment