Thursday, August 22, 2013

Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa





Maggie Tiojakin
GPU, Juli 2013
241 Hal.
(Gramedia Mal Ciputra)

Agak ragu awalnya membeli buku ini, selain kadang kurang sreg sama kumpulan cerpen, juga karena tulisan ‘absurd’ di covernya. Yang udah-udah, memang gue sering menemukan cerita absurd dalam kumce dan pada akhirnya gue bingung… entah penulisnya yang terlalu canggih merangkai kata-kata, atau emang gue yang gak  nyampe otaknya… Tapi, cover-nya menarik hati… jadi, gue pun luluh.

Tapi, apa yang terjadi??? Baiklah… cerita pertama, gue masih membutuhkan penyesuaian, gue sedikit kurang ‘mudeng’ dengan cerita ini. Meskipun di dalam cerpen Tak Ada Badai di Taman Eden ini, gue sekilas menangkap rasa kesepian, rindu dan rasa akan sesuatu yang jauh dari sang suami, Barney. gue mempersiapkan diri untuk lanjut ke cerita kedua dengan harapan, semoga di cerita-cerita selanjutnya, gue mulai bisa akrab dengan yang namanya si ‘absurd’ ini.

Cerita kedua ini adalah satu cerita yang ending-nya bikin gue kepo, berjudul Kristallnacht. Begitu selesai, gue bertanya, “Hah? Udah nih… jadi gimana dong? Apa yang mau dia sampaikan?” Dan.. berakhirlah cerita itu, dengan menyisakan rasa penasaran dalam diri gue.

Mungkin layaknya sebuah cerita yang absurd, tak normal atau yang tak masuk akal, cerita bisa berakhir dengan cara yang tak terduga, benar-benar melenceng dari apa yang kita ikuti ketika kita mulai membaca cerita, seperti cerita Fatima – cerita yang diawali dengan sebuah adegan seru dan menegangkan, mirip film-film action. Sebuah misi rahasia yang harus dijalankan dengan hati-hati. Bersiaplah untuk tertawa sendiri, ketika sampai di akhir cerita dan, mungkin sedikit berseru, “Sial…!” (eh.. apakah gue mulai gak normal karena tertawa baca cerita ini?)

Coba deh, apa anehnya dua orang yang lagi main online game, udah sering baca atau denger kan orang-orang yang kecanduan dengan online game sampai males makan, malas bersosialisasi sampai-sampai seolah kehidupan di dalam game itu sesuatu hal yang sangat serius. Suatu Saat Kita Ingat Hari Ini – judul yang indah, yang bisa membuat orang berpikir akan membaca cerita yang romantis, atau persahabatan yang indah.

Dan kalau gue membaca dies irae, dies illa – gue terbayang The Hunger Games, kota yang ‘hancur’ yang pemberontakan, penduduk yang bersembunyi, anak-anak yang mencuri roti demi bertahan hidup, pemerintah otoriter, yang tak segan membantai warga demi kekuasaan.

Satu lagi yang bikin gemes setelah membaca cerita ini, karena akhir cerita yang bikin pengen ‘ngamuk’ karena menggantung, Panduan Umum Bagi Pendaki Hutan Liar – apakah ini cerita macam 5cm? Dengan remaja pendaki gunung yang tampak tangguh dan penuh jiwa patiotisme? Bukan?? Ini kisah sederhana antara ayah dan anak perempuan. Yang bikin senyum-senyum, adalah sang ayah yang gak sadar anaknya mulai beranjak remaja, risih sendiri ngeliat perlengkapan pribadi anak gadisnya itu…. Ee… tapi, bukan itu sih ceritanya….

Dalam Saksi Mata, gue jadi bertanya-tanya, apa ini juga gambaran yang terjadi di dalam masyarakat? Tidak peduli, repot, ketakutan, merasa ini bukan urusannya, terserah deh, mau terjadi apa sama orang – loe-loe, gue-gue. Urusin aja masalah loe sendiri…

Kisah tragis pertama di dalam buku ini adalah Labirin yang Melingkar-lingkar dalam Sangkar – tokoh Danno yang terobsesi dengan bangunan-bangunan tua. Kenapa tragis? Baca deh, ntar spoiler lagi… yang pasti bikin kisah ini berasa jadi mistis.

Nah, dua cerita yang membuat gue pengen ‘menggetok’ kepala cowok adalah Ro-Kok dan Jam Kerja. Ini tentang halusinasi, imajinasi laki-laki, kalau lagi pikirannya kosong. Jangan pernah nyuruh laki-laki milih, daripada be-te sendiri.

Gue terkesan dengan cerita Dia, Pemberani. Cerita seorang laki-laki yang selalu tergoda untuk mencoba hal-hal yang menantang maut. Demi mencapai kesenangan, kepuasan, orang gak peduli lagi. Semakin  menantang, semakin mengasyikan.

Sebuah  kutipan indah, membuat cerita dalam Kota Abu-Abu jadi indah dan berwarna. Kalau membaca ini, jadi ingat Negeri Senja – SGA (tapi, gue gak ngebandingin lhoo.. cuma inget aja). Kutipannya adalah

--- “Duniaku sudah indah,” … “Karena ini dunia yang kutahu.” --- (hal. 67)

--- “Aku tak masalah dengan kota ini,”… “Aku nyaman di sini.” --- (hal 70)

Mungkin kepasrahan seseorang, kepuasan batin, membuat orang akan selalu  nyaman berada di mana pun – seperti Remos. Tapi, dalam diri seseorang mungkin ada jiwa petulang, rasa ingin tahu yang pada akhirnya bisa membuat kita lebih tergoda dan menemukan kenyamanan di tempat lain – seperti Greta.

#bijaksana mood:on

Puncak cerita, memang yang paling absurd  buat gue, or… maksudnya yang paling gak gue mengerti, Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa. Tapi, lagi-lagi, di tengah rasa gak mengerti gue ini, gue seolah merasakan gimana batas hidup dan mati itu tipis banget. Para astronot itu udah tau, mereka gak akan bisa selamat. Bayangkan tersesat di luar angkasa, sekeliling langit hitam...  mencekam. Kisah tragis para astronot.

Kalo gue boleh mengambil kesimpulan, gak semua cerita di dalam buku ini sesuatu yang absurd, beberapa cerita buat gue jadi satu hal yang sah-sah aja jika terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Temanya beragam – game online, rumah tangga, perang, banjir, rokok, pegawai yang bosan – sampai yang canggih tentang para astronot. Hanya saja Maggie Tiojakin mampu meracik kisah-kisah ini dengan cara yang gak biasa dan berakhir dengan sesuatu yang juga gak biasa.

Gak puas dengan 14 cerita di atas… tenang… ada kejutan lain dari Maggie….

3 comments:

Helvry Sinaga said...

sepertinya menarik ya mbak :)

F. Juni Ismarianto said...

saya bulan kemarin ngelihat buku ini di gramedia dan tau sempat mau mengambilnya karena ada gimmick menarik di dalamnya. Tapi harganya itu lho :))) *soalnya udah ngambil beberapa buku lainnya sih xD

Yah, lain kali ketika berkunjung ke gramedia saya akan langsung mengambil buku ini tanpa ragu, heheh.

ferina said...

@Bang Helvry: bagus, bang.. cocoklah buat bang Helvry

@FJ: jangan ragu2 lagi ya :)

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang