Stephen King @ 1974
Gita Yuliani K. (Terj.)
GPU – Oktober 2013
256 Hal.
(via @HobbyBuku)
In Every Neighborhood
There is one family
With a secret
No one talks about
Carrie, gadis berusia 16 tahun yang selalu jadi
bahan olok-olokan di sekolah. Semua orang memperlakukan Carrie dengan sangat
kejam, lewat perbuatan atau kata-kata. Di usia 16 tahun, ia mendapatkan haid
yang pertama, Carrie kaget. Ibunya sama sekali tidak pernah mempersiapkan
Carrie untuk masalah yang satu ini.
Perlakukan ibu Carrie di rumah juga tidak
membantu sama sekali. Margaret White, adalah seorang penganut Kristen yang
fanatik. Baginya kelahiran Carrie adalah sebuah dosa besar, dan jika Carrie
mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan masalah duniawi, Margaret langsung
memintanya berdoa, mengaku dosa dengan kata-kata yang ekstrim. Padahal,
terkadang Carrie ingin menjadi gadis normal, seperti teman-temannya yang
lain, bergaul dengan wajar tanpa jadi
bahan ejekan dan dicap gadis aneh.
Salah satu kemampuan Carrie, adalah kemampuan
telekinetis, yaitu kemampuan memindahkan benda-benda hanya dengan pikirannya.
Yang pada akhirnya menciptakan sebuah malapetaka di kota kecil tempat ia tinggal, Chamberlein.
Di malam prom yang harusnya jadi kenangan indah
untuk Carrie dan juga teman-temannya, berubah menjadi malam yang akan
memberikan mimpi buruk bagi warga kota
yang masih hidup.
Kalo ngeliat buku-buku Stephen King, yang
terbayang pasti kisah-kisah horor berhantu, padahal ya, ternyata gak juga koq.
Tepatnya adalah sebuah ‘teror’, atau beliau berhasil menciptakan sebuah
suasana, keadaan di mana kita – atau paling gak gue sebagai pembaca merasa
‘tertekan’, merasakan situasi yang menegangkan dan bikin terasa gak nyaman.
Untuk Carrie sendiri, ‘teror’ yang dibuat oleh
Carrie diceritakan secara perlahan-lahan, sehingga dari awal sudah ada gambaran
akan sebuah keadaan yang mencekam. Lewat tulisan-tulisan yang menceritakan
perilaku gadis bernama Carrie, lalu dari buku yang ditulis oleh Susan Snell,
salah satu teman satu sekolah Carrie dan juga saksi hidup dari kejadian yang
mencekam itu. Dan, ketika akhirnya tiba di bagian yang menggambarkan kejadian
yang sebenarnya, gue merasa ada di tengah-tengah chaos, membayangkan
murid-murid yang lagi happy di pesta prom, tiba-tiba berlarian dalam keadaan
panik, kota yang tenang tiba-tiba tinggal puing-puing, berantakan dan sepi.
Perlakuan ibunya dan teman-temannya membentuk
sebuah perasaan tertekan, yang ketika akhirnya gak bisa tertampung lagi,
membuat Carrie meledak, yang ia pikirkan hanyalah membalas semua perlakukan
teman-temannya. Bagi dia, adalah sebuah kesalahan datang ke prom night itu dan
pada akhirnya membuat teman-teman dan nyaris seluruh penduduk Chamberlein
membayar atas olok-olok yang ia terima.
Tapi, lewat tulisan-tulisan itu pula, gue mencoba
memahami situasi yang dialami Carrie, menjadi anak dari ibu yang tertutup dan
aneh, dilihat sebagai anak yang aneh, tidak populer. Mengalami bullying sejak
kecil, dihina, diejek dan dipermalukan. Seperti buku 19 Minutes-nya Jodi
Picoult, tentang anak yang juga mengalami bullying di sekolah, pada akhirnya
mengambil tindakan yang ekstrim untuk mengakhiri segala perilaku gak adil itu. Bedanya,
kalau 19 Minutes dikemas dalam cerita drama sehari-hari, Carrie dikemas dalam
tema yang lebih mencekam, lebih menyoroti sosok Carrie dengan kemampuannya yang
menciptakan tragedi itu.
0 comments:
Post a Comment