Milkweed
Jerry Spinelli @2003
Laurel-Leaf Books – September 2005
208 hal.
Untuk anak 10 tahun ke atas
Ia adalah seorang bocah laki-laki, sebatang kara,
anak jalanan, yang tiba-tiba saja muncul di jalanan Warsaw. Anak yatim piatu, tak mengenal siapa
orang tuanya, bahkan tak tahu namanya sendiri siapa. Satu-satu penghubung ke
masa lalu yang tak ia ingat itu adalah kalung yang katanya pemberian ayahnya. Ia
mencuri untuk bertahan hidup. Anak yang polos dan penurut. Ia akan mengikuti
apa yang dikatakan orang lain.
Suatu hari, ia berlari setelah mencuri sepotong
roti. Ia bertemu dengan Uri, anak jalanan lainnya. Oleh Uri, ia
diperkenalkan dengan anak-anak yang lain, diberi nama Misha Pildsuski. Ia
menolak dibilang orang Yahudi, katanya ia adalah orang Gypsy. Kepolosannya
sering jadi bahan olok-olokan yang lain. Tapi, Misha baik hati. Selain untuk
dirinya sendiri, roti yang ia curi, ia berikan juga kepada anak-anak di panti
asuhan.
Ia terkagum-kagum dengan tentara Jerman yang
gagah. Bersepatu boots yang mengkilap. Bahkan ia ingin, suatu hari nanti ia
menjadi salah satu dari orang-orang bersepatu boots mengkilap itu.
Suatu hari ia berkenalan dengan Janina, gadis
kecil keturunan Yahudi. Mereka pun jadi berteman akrab. Ketika para keturunan
Yahudi pindah ke sebuah kamp, Misha pun secara ‘tak langsung ‘ ikut pindah,
menetap bersama keluarga Janina. Misha dan Janina sering keluar di malam hari,
mencuri makanan dari sebuah bar milik Jerman. Padahal malam hari sangatlah
berbahaya, terutama bagi orang-orang Yahudi tersebut.
Tapi, Misha tetaplah anak laki-laki polos. Bagi
dirinya, ketika tentara Jerman minta orang-orang Yahudi berbaris, itu adalah
saatnya menunjukkan diri bahwa ia anak yang sehat. Ia tak peduli bahaya, selama
ia hati-hati, ia yakin semua akan baik-baik saja.
Kalau suka dengan The Boy in Stripped Pajamas
atau The Book Thief, buku ini bisa jadi salah satu bacaan lagi kalau pengen
baca yang bernuasa sejenis, masa-masa Holocaust. Di Milkweed, Jerry Spinelli
mengambil sudut pandang dari anak-anak kecil yang terlantar karena Perang Dunia
I, semua nyari mencuri karena makanan tak ada. Untuk urusan sandang, mereka
mencuri dari mayat-mayat yang tergeletak di pinggir jalan. Gue malah
membayangkan jalanan di sana bagai kota mati. Orang-orang
dewasa cenderung pasrah – ini gue lihat dari sikap ibu Janina, Mrs. Milgrom,
yang berdiam diri, berbaring sepanjang hari sampai akhirnya meninggal dunia.
Atau, sebagian juga lebih memilih bersikap sinis, atau justru percaya, ketika
mereka dibawa ke kamp pengungsian, kehidupan mereka akan lebih baik.
Anak-anak, mereka tahu hidup mereka susah, tapi
tetap aja mereka seolah gak takut sama apa pun. Seperti Misha, yang justru
seneng banget tinggal di barbershop, mencuri roti atau permen. Tetap bangga
mengaku sebagai Gypsy, meskipun akhirnya ia sadar, terkadang lebih baik menjadi
orang biasa-biasa saja, tanpa label keturunan siapa atau apa.
Di awal cerita, gue sempat rada ‘terganggu’
dengan Misha yang tanpa identitas ini. Siapa teman-temannya sebelum Uri and the
gank? Dari mana sebenarnya dia berasal? Kenapa dia begitu ‘bodoh’ dan
‘polos’nya? Tapi, seiring berjalannya cerita, ya sudahlah, lupakan Misha yang
no identity ini, terimalah Misha justru sebagai anak yang pemberani dan baik
hati.
Posting ini dibuat untuk diikutsertakan dalam:
0 comments:
Post a Comment