Catatan Musim
Tyas Effendi
Gagas Media, 2012
270 hal.
Awal cerita begitu menjanjikan – hujan, suasana
yang teduh, bikin romantis gimana gitu. Tya dan Gema, kerap bertemu karena
sering berteduh di tempat yang sama karena hujan yang senantiasa mengguyur kota Bogor.
Bagi Tya, sosok Gema yang selalu buru-buru pulang ketika lonceng gereja
berdentang enam kali begitu misterius. Selalu membawa kanvas.
Ketika mereka mulai pelan-pelan menjalin
komunikasi, Gema malah ‘menyingkir’ dari kehidupan Tya. Kaki Gema harus
diamputasi karena kanker yang menjalar kakinya. Gema pergi ke Perancis dan
belajar seni di sana.
Dan Tya, bertekad untuk mengejar Gema, maka ia pun mendaftarkan diri untuk bea
siswa ke Perancis dan beruntunglah ia diterima.
Sesungguhnya karakter Gema cukup menarik dan
menjanjikan. Gema yang awalnya putus asa karena kondisinya, malah jadi sosok
yang mandiri dan mencoba bangkit dengan kesendiriannya di Perancis sana.
Tapi ya, apa yang ada di buku ini ‘serba nanggung’.
Pertama: Gema dan Tya, dari awal gue gak merasa ada sebuah ‘chemistry’ yang
kuat di antara mereka, yang bikin pertemanan mereka jadi lebih spesial,
percakapan mereka juga biasa-biasa aja, gak ada yang mengarah kepada sebuah
sesuatu yang bikin ‘termehek-mehek’ atau sesuatu yang mendalam. Mungkin ‘kespesialan’nya
terletak di lukisan sosok Tya yang dibuat Gema – tapi, tetap aja gak ‘nendang’
buat gue.
Kedua: hubungan Tya dan Agam – sosok dari masa
kecil yang bersahabat hingga dewasa. Selain tuker-tukeran cangkir, juga gak ada
sesuatu yang mendalam. Bahkan, gue tiba-tiba merasa aneh melihat Agam – yang menurut
gue digambarkan sebagai pemuda santun – tahu-tahu jadi beringas dan tanpa
ba-bi-bu langsung menghajar Gema yang jelas-jelas dalam kondisi yang gak
seimbang #teamGema.
Lalu, ada lagi sosok kakak Gema, Kak Gadis –
segitu traumanya dengan lukisan, sampai-sampai semua lukisan dibakar. Yah, gue
mungkin gak tau kalo kondisi orang trauma sampai segitunya ya. Tapi menurut
gue, rada berlebihan aja. Karena penyebab trauma itu bukan karena lukisan. Terus
juga, gak ada tuh sekilas info kenapa Kak Gadis ini duduk di kursi roda. Gue
pikir karena sebuah lukisan yang bikin dia duduk di kursi roda. Belum lagi
karakter Kak Gadis ini yang judes dan kaya’ gak punya perasaan.
Lagi nih… karakter Tya yang juga gak jelas –
waktu masih di Bogor
kesannya dia begitu peka sama Gem, tapi begitu udah ketemu di Perancis, koq
malah dia jadi rada-rada labil dan gak jelas. Katanya gue, tapi malah
ngeladenin tantangan teman se-apartemennya,
yang pengen ngebuktiin kalau Tya bukan perempuan penyuka sesama jenis.
Haduh.. padahal ya, setting kota
hujan, plus kota
Lille di Perancis bisa jadi salah satu pendukung kisah cinta yang romantis,
tapi kenapa banyak hal yang gak masuk akal.
Ma’af deh, cuma dua cangkir teh aja dari gue.
Submitted for:
0 comments:
Post a Comment