Pulang
Leila S. Chudori
KPG, Cet. II – Januari 2013
464 hal.
(Gramedia
Plaza Semanggi)
Peristiwa berdarah tahun 1965, atau yang dikenal
dengan G-30S/PKI, kerap menjadi latar belakang penulisan sebuah novel. Tak
habis-habisnya peristiwa ini dikupas dengan sudut pandang yang berbeda. Tapi,
satu buat gue, setiap kali gue membaca yang muncul selalu rasa ‘nyeri’…
Setelah menghadiri sebuah kongres di Santiago, Dimas Suryo, Nugraha, Tjai dan Risjaf dilarang
untuk kembali ke Indonesia.
Dikhawatirkan jika mereka kembali, nyawa mereka akan terancam.
Jakarta, 30 September 1965,
berada dalam kondisi politik yang sangat genting. Seperti yang sudah diketahui
melalui pelajaran sejarah, 7 orang Jenderal tewas, dibunuh secara keji. Tuduhan
langsung mengarah kepada orang-orang di balik partai politik, PKI. Oleh karena
itu, semua orang terlibat dalam partai terlarang itu diburu. Tak hanya itu,
keluarga pun ikut kena getahnya. Semua dibawa ke kantor polisi, diperiksa,
diinterogasi dan diintimidasi.
Sebetulnya, bukan Dimas Suryo yang seharusnya
berangkat ke Santiago,
tapi Hananto Prawiro. Tapi dengan alasan menyelesaikan masalah rumah tangganya
dengan Surti, Hananto meminta Dimas yang menggantikannya. Keberangkatannya ke Santiago, menjadikan terakhir kalinya Dimas melihat Jakarta, bertemu Hananto.
Karena Hananto menjadi salah satu orang yang dicari oleh pihak kepolisian.
Dimas, Nugraha, Tjai dan Risjaf, akhirnya memilih
Paris sebagai
tempat ‘persinggahan’ mereka. Mereka mendirikan sebuah restoran Indonesia
bernama Tanah Air di Paris. Dimas menikah dengan Viviene Deveraux di tahun
1968. Meski berpuluh tahun menetap di Paris, ia selalu menyimpan keinginan untuk kembali ke Indonesia,
berharap kondisi politik sudah berubah. Di apartemennya ia menyimpan dua buah
toples berisi kunyit dan cengkih, yang ia hirup aromanya manakal ia rindu
dengan tanah airnya.
Sebagai anak yang di darahnya mengalir dua
budaya, Indonesia
dan Perancis, Lintang Utara, lebih mengenal tanah air ibunya. Indonesia hanya
ia kenal dari cerita ayahnya yang kerap bercerita kisah-kisah dari Kitab Mahabarata
atau Ramayana. Tentang sejarah, selalu terhenti di tahun 1965, dan ia tahu, ada
sisi gelap dalam sejarah itu yang enggan diceritakan oleh ayahnya.
Tapi, di tahun 1998, saat ia mengajukan proposal
untuk tugas akhir, dosennya memberi usul agar Lintang membuat film dokumenter
tentang Indonesia.
Tapi, sebagai anak Dimas Suryo, tak mudah bagi Lintang untuk masuk ke Indonesia.
Untunglah ada pihak dari KBRI yang bersedia membantu Lintang mendapatkan visa
masuk ke Indonesia.
Di Indonesia, tahun 1998, suhu politik memanas –
Soeharto kembali dilantik sebagai presiden dan membentuk kabinet yang terdiri
dari anaknya sendiri beserta kroni-kroninya. Masyarakat mulai gerah, mahasiswa
terus melakukan demo.
Lintang bertemu dengan Segara Alam – anak Hananto
Prawiro dan Bimo, anak dari Risjaf. Hidup mereka sebagai anak ‘eks-tapol’
tidaklah mudah. Mereka harus bergerak di antara bayangan, jangan menonjol dan
selalu ekstra hati-hati. Alam, lebih pemberontak dibandingkan dengan Bimo. Ia
yang selalu membela Bimo. Bersama Bimo dan teman-temannya, Alam mempunya sebuah
lembaga non-profit, yang dalam situasi ini ikut bergerak menuntut Soeharto
untuk turun.
Dibantu Alam, Lintang melakukan riset dan
wawancara dengan ‘korban’ dari peristiwa tahun 1965. Saat Surti bercerita, gue
nyaris menitikkan air mata, geram dengan sikap para interogator.
Sulit menjadi keluarga dari para ‘eks-tapol’.
Seperti Rama, keponakan Dimas. Ia lebih memilih menyembunyikan identitas
aslinya, menjauhi keluarganya dan berhasil memperoleh pekerjaan di BUMN. Padahal,
dalam kondisi seperti Rama, tak mungkin BUMN mau menerimanya. Padahal,
jelas-jelas ia tidak ada sangkut paut dengan urusan politik terlarang.
Inilah pertama kalinya gue membaca buku Leila S.
Chudori, dan gue ‘terhanyut’… hanyut di antara cerita, para tokoh, tempat
Lintang bersembunyi di Paris… belum lagi, detail-detail yang memberi kesan
eksotis, mistik dan hangat di dalam buku ini. Misalnya, saat Dimas bercerita
tentang tokoh-tokoh wayang, kutipan-kutipan dari sastrawan dan pemusik
legendaris. Kehangatan di antara Empat Pilar Tanah Air, kocaknya Dimas yang
takut sama jarum yang dipakai Nugraha untuk praktek akupunktur-nya.
Pengen bisa ikutan Lintang, ngubek-ngubek
Shakespeare & Co., ‘bertapa’ di Père
Lachaise Cemetery.
Atau, saat terpesona dengan sosok Narayana –
blasteran Indonesia-Perancis – kekasih Lintang, yang selalu bersikap sangat
gentleman, atau ikutan terkena serangan halilintar saat Segara Alam muncul –
yang kaya’nya bakal masuk jadi salah satu kandidat ‘Book Boyfriend 2013’.
Dan sebuah keharuan, kala Dimas berpesan ingin
pulang ke Indonesia…
dan dikubur di Karet… betapa meski dikucilkan oleh ‘bangsa’nya sendiri, tetap
ia ingin pulang, menyatu dengan tanah airnya sendiri, bukan terkubur di tempat
ia mencari rasa aman di Paris.
Buku ini, meskipun ber-setting di Paris, tapi,
buat gue sangat ‘Indonesia’.
Jadi, apa yang bisa kita petik dari I.N.D.O.N.E.S.I.A?
Curhat sebentar…
Membaca buku ini, gue terkenang saat-saat gue
mulai mempelajari sejarah peristiwa tahun 1965. Waktu itu gue masih SD, film
tentang perisitiwa itu baru saja beredar, dan kita pun diajak oleh sekolah
nonton film itu di bioskop. Yang tersisa hanyalah rasa ngeri setelah
menyaksikan film tersebut. Rasanya, gue yang gak mengalami peristiwa itu pun
merasakan sebuah trauma, dan rasa gak nyaman selalu berulang setiap tahun,
setiap tanggal 30 September, karena gue tahu, di televisi malem itu akan
menayangkan lagi film Pengkhianatan G-30S/PKI. Gue pun mengidap insomnia
mendadak… baru benar-benar tenang, saat gue tau, hari sudah berganti dan
tanggal berubah menjadi tanggal 1 Oktober. Gue juga kerap merinding saat
mendengar lagu ‘Gugur Bunga’…. (ok, sekarang pun gue merinding…)
Dan gak jauh berbeda dengan salah satu bagian di
dalam buku ini, kala anak-anak sekolah diajak berdarmawisata ke Lubang Buaya,
melihat diorama yang penuh darah, plus rumah yang dipakai untuk penyiksaan para
korban, etc… dulu mungkin bersama teman-teman, gue hanya menyeletuk ‘Ihhh..
ngeri banget… serem…’… tapi, kalo dipikir-pikir, menurut gue lho… museum ini
bukan untuk konsumsi anak SD…
Dan, saat peristiwa 1998, saat Jakarta sedang genting, waktu itu, gue masih
kuliah. Gue dilarang ke kampus sama mama (dan gue jadi menyesal… kalo gak, kan gue bisa punya foto
di atas atap Gedung MPR/DPR dengan ber-yellow
jacket … hehehe). Pagi-pagi, jalan sepi… iseng-iseng mama ngajak ke Goro
yang ada di Kalibata. Sampai di sana
pun, kita juga sebenarnya gak tau mau beli apa. Jadilah kita gak lama ada di sana…. Dan dalam
perjalanan pulang, di radio, diberitakan bahwa Goro dijarah… ya ampun… Andai
kita gak buru-buru pulang… bukan gak mungkin kita berdua akan terjebak dalam massa yang beringas…
Tapi, apa pun, itu, entah 1965, 1998, semoga….
Menjadi pembelajaran biar Indonesia
jadi lebih baik….
4 comments:
kayaknya buku ini bagus ya? :)
yeay, ak juga suka banget sama Alam, bakalan masuk best book boyfriend 2013 juga :))
menarik, kepingin punya bukunya
@Jun: bagus.. recommended
@Peri Hutan: *toss*
@Tezar: segera dicari, Mas... :)
Post a Comment