Wednesday, June 27, 2012

The Sinden


The Sinden: Cinta dan Airmata Dinglik Waranggana
Halimah Munawir
GPU, 2011
145 hal.

Menjadi sinden, bukanlah profesi yang mudah. Banyak orang yang menyalahartikan penampilan seorang sinden. Ada yang memandang rendah, karena menganggap sinden itu adalah penggoda pria, suka merebut suami orang, ‘gampangan’. Dan perempuan-perempuan ‘nyinyir’ gemar bergosip tentang para sinden. Sementara yang pria, sama aja, berpikir bahwa sinden itu bisa diajak macem-macem. Maklum deh, memang penampilan sinden itu bisa membuat mata pria tak berkedip, membuat para istri was-was. Kebaya brokat yang menerawang, badan yang sintal, muka full make-up, rambut disanggul, cukup membuat pria tergoda.

Oleh karena itu, Nyi Inten, salah satu pesiden tersohor, berusaha menahan sikap untuk menghindar dari praduga yang aneh-aneh. Setiap manggung, Nyi Inten gak pernah mau dijemput atau diantar bahkan oleh pihak penyelenggara. Dia memilih bersusah-susah sedikit untuk mencapai tempat tujuannya. Ia tidak ingin jadi pesinden seperti ibunya yang seolah membuktikan perkataan orang-orang di luar.

Ketika memiliki anak perempuan, Nyi Inten sudah bertekad untuk menjadikan anak perempuannya itu sebagai penerusnya. Namanya adalah Waranggana. Meskipun tak terlalu cantik, tapi begitu dipoles, Waranggana mampu memukau para pria. Di awal, sebagai anak remaja, tentu saja, Waranggana males-malesan latihan sinden. Tapi, berkat bujukan ibundanya, Waranggana bertekad menjadi pesinden yang baik.

Sayang, ia harus berpisah dengan ibunya gara-gara di kampungnya itu, ada penguasa yang menjadikan anak gadis entah sebagai tumbal pembangunan jembatan atau dijadikan selir. Waranggana jadi salah satu sasaran. Karena itu, ia melarikan diri bersama pamannya, Jarok.

Di sinilah perjalanan Waranggana menjadi sinden dimulai. Dan, sebuah dingklik antik pemberian Nyi Inten jadi salah satu faktor yang membuat Waranggana tampil memukau. Entah kenapa, saat Waranggana duduk di dingklik itu (yang juga dulu digunakan Nyi Inten saat menyinden), membuat Waranggana seolah bagai dewi, suaranya mendayu-dayu, bagai merayu. Akibatnya, lagi-lagi ada saja yang ingin menjadikan Warangganga sebagai selir. Dan akhirnya, ia memiliki nama panggung ‘Dingklik Waranggana’.

Temanya menarik. Boleh jadi sebagai salah satu sarana untuk menggali budaya Indonesia dan menyorot kehidupan seorang sinden. Sayang, endingnya rada terburu-buru. Terus, gak jelas tuh kenapa Nyi Mimi tiba-tiba keracunan. Adakalanya pengen berkesan 'mistis'. Dan kenapa judulnya harus ‘The Sinden’? Kenapa gak Sang Sinden, biar lebih Indonesia gitu? Dan mungkin karena bukunya tipis, jadi banyak yang rada ngambang aja gitu.

Dua dingklik aja ya buat The Sinden…

8 comments:

Maya Floria Yasmin said...

mirip2 gadis kretek gitu ya temanya?

ferina said...

gak tau juga sih, aku belum baca gadis kretek soalnya, may

tezar said...

atau mirip ronggeng Dukuh Paruk?

ferina said...

Ronggeng Dukuh Paruk? hmmm.. gak juga rasanya.

Helvry Sinaga said...

kalau sinden itu nggak ada yang cowok yah?

ferina said...

hmmm...*berpikir* rasanya gak ada. kalo cowok jadi dalang kali :D

Astrid said...

aku punya kenalan pesinden..emang kehidupannya heboh juga sih, tapi dia udah bisa tampil di luar negeri segala =D mungkin aku bakal suruh dia baca buku ini =D

Anonymous said...

Wah cuma 2 ya Mbak Fer? Buku ini covernya keren! Tapi benar juga The Sinden ini rada ga nyambung ya judulnya..

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang