The Sinden:
Cinta dan Airmata Dinglik Waranggana
Halimah Munawir
GPU, 2011
145 hal.
Menjadi sinden, bukanlah profesi yang mudah.
Banyak orang yang menyalahartikan penampilan seorang sinden. Ada yang memandang
rendah, karena menganggap sinden itu adalah penggoda pria, suka merebut suami
orang, ‘gampangan’. Dan perempuan-perempuan ‘nyinyir’ gemar bergosip tentang
para sinden. Sementara yang pria, sama aja, berpikir bahwa sinden itu bisa diajak
macem-macem. Maklum deh, memang penampilan sinden itu bisa membuat mata pria
tak berkedip, membuat para istri was-was. Kebaya brokat yang menerawang, badan
yang sintal, muka full make-up, rambut disanggul, cukup membuat pria tergoda.
Oleh karena itu, Nyi Inten, salah satu pesiden
tersohor, berusaha menahan sikap untuk menghindar dari praduga yang aneh-aneh.
Setiap manggung, Nyi Inten gak pernah mau dijemput atau diantar bahkan oleh pihak
penyelenggara. Dia memilih bersusah-susah sedikit untuk mencapai tempat
tujuannya. Ia tidak ingin jadi pesinden seperti ibunya yang seolah membuktikan
perkataan orang-orang di luar.
Ketika memiliki anak perempuan, Nyi Inten sudah
bertekad untuk menjadikan anak perempuannya itu sebagai penerusnya. Namanya
adalah Waranggana. Meskipun tak terlalu cantik, tapi begitu dipoles, Waranggana
mampu memukau para pria. Di awal, sebagai anak remaja, tentu saja, Waranggana
males-malesan latihan sinden. Tapi, berkat bujukan ibundanya, Waranggana
bertekad menjadi pesinden yang baik.
Sayang, ia harus berpisah dengan ibunya gara-gara
di kampungnya itu, ada penguasa yang menjadikan anak gadis entah sebagai tumbal
pembangunan jembatan atau dijadikan selir. Waranggana jadi salah satu sasaran.
Karena itu, ia melarikan diri bersama pamannya, Jarok.
Di sinilah perjalanan Waranggana menjadi sinden
dimulai. Dan, sebuah dingklik antik pemberian Nyi Inten jadi salah satu faktor yang
membuat Waranggana tampil memukau. Entah kenapa, saat Waranggana duduk di
dingklik itu (yang juga dulu digunakan Nyi Inten saat menyinden), membuat
Waranggana seolah bagai dewi, suaranya mendayu-dayu, bagai merayu. Akibatnya,
lagi-lagi ada saja yang ingin menjadikan Warangganga sebagai selir. Dan
akhirnya, ia memiliki nama panggung ‘Dingklik Waranggana’.
Temanya menarik. Boleh jadi sebagai salah satu
sarana untuk menggali budaya Indonesia dan menyorot kehidupan seorang sinden. Sayang,
endingnya rada terburu-buru. Terus, gak jelas tuh kenapa Nyi Mimi tiba-tiba
keracunan. Adakalanya pengen berkesan 'mistis'. Dan kenapa judulnya harus ‘The Sinden’? Kenapa gak Sang Sinden, biar
lebih Indonesia gitu? Dan mungkin karena bukunya tipis, jadi banyak yang rada
ngambang aja gitu.
Dua dingklik aja ya buat The Sinden…
8 comments:
mirip2 gadis kretek gitu ya temanya?
gak tau juga sih, aku belum baca gadis kretek soalnya, may
atau mirip ronggeng Dukuh Paruk?
Ronggeng Dukuh Paruk? hmmm.. gak juga rasanya.
kalau sinden itu nggak ada yang cowok yah?
hmmm...*berpikir* rasanya gak ada. kalo cowok jadi dalang kali :D
aku punya kenalan pesinden..emang kehidupannya heboh juga sih, tapi dia udah bisa tampil di luar negeri segala =D mungkin aku bakal suruh dia baca buku ini =D
Wah cuma 2 ya Mbak Fer? Buku ini covernya keren! Tapi benar juga The Sinden ini rada ga nyambung ya judulnya..
Post a Comment