Just One Day (Satu Hari Saja)
Gayle Forman @ 2013
Poppy D. Chusfani (Terj.)
GPU – February 2014
400 Hal.
Hidup Allyson Healey semuanya sudah diatur oleh
ibunya. Untuk sekolah, kursus tambahan atau bahkan tempat berlibur. Orang tua
Allyson yakin pilihan berlibur keliling Eropa akan menyenangkan untuk Allyson.
Dan sebagai anak yang baik dan ingin membahagiakan orang tuanya, Allyson
menerima segala keputusan itu. Ia tidak berani untuk ‘sedikit’ memberontak
seperti sahabatnya Melanie.
Keliling Eropa memang menyenangkan, tapi, terasa
monoton dengan kegiatan yang sudah dirancang dengan rapi oleh pihak
penyelanggara. Ketika ada di Stratford-upon-Avon,
Inggris dalam rangka menonton pertunjukkan Hamlet, seorang pemuda ‘menawarkan’
sesuatu yang berbeda dan langsung di-iyakan oleh Melanie. Dan mereka pun nonton
street performance Twelve Nights, di mana si cowok itu jadi salah satu
pemerannya.
Tak disangka inilah awal dari sebuah
‘pemberontakan’ yang akan dilakukan oleh Allyson. Ia nekat memenuhi undangan
dari Willem untuk berjalan-jalan di Paris selama satu hari saja. Melihat Paris
tapi dengan cara yang berbeda, menawarkan romantisme dan membuat adrenalin
Allyson meningkat. Allyson berusaha menikmati ‘hidup’, belajar jatuh cinta dan
mencintai.
Meskipun kunjungan ke Paris itu tak berakhir seperti yang
diharapkan Allyson, tapi hal itu mampu membuat perubahan yang besar dalam diri
Allyson. Allyson kembali ke Amerika, sekolah sebagai mahasiswa pra-kedokteran
sesuai keinginan orang tuanya, tapi dalam hati ia tak bahagia. Pribadi Willem
yang spontan masih menghantui dirinya, dan sebagian dari diri Allyson berharap
untuk bisa bertemu lagi dengan Willem.
Yang menarik dalam cerita ini adalah drama
Shakespeare – yang mempertemukan Allyson dan Willem. Gue gak banyak tau tentang
drama-drama Shakespeare selain Romeo & Juliet versi Leonardi DiCaprio dan
Claire Danes. Di dalam buku ini, biarpun gak detail, diceritakan beberapa lakon
drama Shakespeare yang membuat gue berpikir kalau masih banyak kisah
Shakespeare yang menarik. Kedua, tentu saja acara keliling Paris dan Belanda a la Allyson. Rasanya ada
‘aura’ kebebasan di sana.
Tapi gue merasa ‘chemistry’ Allyson dan Willem
kurang ‘nendang’. Yah, mungkin karena pertemuan mereka yang singkat itu ya?
Malah gue merasa kehidupan Allyson pasca Paris
diceritakan dengan begitu membosankan. Karena Allyson yang jadi penyendiri,
ingin bicara tapi takut, dan akhirnya malah jadi pribadi yang gak asyik.
Persahabatannya dengan Melanie pun jadi renggang. Yang bikin ‘cerah’ bagian ini
adalah kehadiran Dee, teman baru dari kelas
drama Shakespeare yang diambil Allyson sebagai ‘penyeimbang’ mata pelajaran
kimia. Gue juga suka bagian Allyson yang berusaha memperbaiki hubungan dengan
ibunya, ketika ia kirim-kiriman foto sama ibunya, menurut gue itu suatu hal
yang ‘manis’. Dengan adanya perubahan dalam diri Allyson juga membawa perubahan
yang lebih santai pada diri orang tua Allyson.
Tapi ya, Allyson ini jangan dicontoh juga sih…
apa dia gak denger gitu kata orang tua, jangan sembarangan terima ajakan cowok?!!
Untung si Willem baik, kalo ternyata dia jahat gimana??
Dan… ending-nya sungguh menyebalkan…. !!! Tapi… who knows.. apakah buku kedua – Just
One Year - bakal membuat gue kembali ‘termehek-mehek’ seperti setelah baca
Where She Went?
Submitted for:
2 comments:
AAAK SETUJU KAK >w< #diusir
Saya juga setuju kalau Dee itu what-a-refreshment yang keren (bikin pengin punya temen kayak dia), Shakespeare nya menarik, dan saya juga suka sama perbaikan hubungannya sama ibunya :'3 ((tapi kenapa gak dimasukin reviewmu ris lol))
Novel ini entah kenapa sama-sama tidak terasa bagus sekali ataupun jelek sekali buat saya xD
Terima kasih reviewnya kak^^
Khairisa R. P
http://krprimawestri.blogspot.com
Hahaha.. thank you for reading :) Mungkin terlalu banyak cerita tentang Allyson, tanpa interaksi dengan yang lain, jadi cerita terkesan datar. Padahal maunya kan baca cerita romance-nya Allyson sama Willem... :D
Post a Comment