In the Bag
Kate Klise @ 2012
Nurkinanti Laraskusuma (Terj.)
GPU, Oktober 2013
376 hal.
Dua orang tua tunggal berlibur dengan anak mereka
masing-masing. Pertama, Andrew dan Web dengan tujuan ke Madrid,
dan kedua, Daisy dan Coco, tujuannya ke Paris.
Dua ‘tragedi’ – pertama insiden Andrew yang gak
sengaja menumpahkan anggur ke baju Daisy Sprinkle. Lalu yang kedua, insiden tas
Andrew dan Coco yang tertukar. Karuan liburan
yang seharusnya menyenangkan, diawali dengan rasa bt dari keempat tokoh ini.
Andrew adalah seorang kurator yang kali ini
diminta oleh sahabatnya, Solange, untuk
merancang sebuah pameran di Madrid.
Sedangkan, Daisy, melarikan diri ke Paris,
setelah kembali resign dari restoran tempatnya bekerja.
Sementara kedua orang tua mereka sibuk sendiri,
yang satu dengan pekerjaan, yang satu bt dengan pesan rahasia, anak-anak mereka
– Andrew dan Coco malah asyik chatting dan berencana untuk membuat pertemuan
singkat dalam rangka saling mengembalikan tas.
Andrew dan Daisy juga pada akhirnya bertemu, saat
Daisy diminta Solange untuk membantu menyediakan makanan di acara pameran yang
dirancang Andrew. Dan tentu saja, mereka berdua tertarik satu sama lain, dan
merencanakan pertemuan kecil antar dua keluarga, tanpa mengetahui bahwa
anak-anak mereka ternyata sudah saling mengenal.
Gue ‘mema’afkan’ kebetulan kecil di dalam buku
ini. Karena, tanpa kebetulan itu, cerita ini akan jadi ‘biasa’. Peran Solange
yang muncul sesekali dalam buku ini ternyata besar pengaruhnya. Ditambah lagi,
tempat-tempat asyik di Madrid dan Paris.
Karakter Andrew dan Coco,
sebagai anak usia 17-18 tahun juga menurut gue ‘keren’. Mereka menyukai hal-hal
yang gak umum, yang malah bikin percakapan mereka jadi nyambung. Andrew dan
Daisy juga menghadapi masalah dalam
beradaptasi dengan perilaku anak-anak mereka yang masih remaja, tapi mulai
menuju kedewasaan.
Gue juga menyukai ending cerita ini yang manis.
Cara penyampaian cerita yang bergantian di antara empat tokoh ini, bikin cerita
jadi lebih seru. Karena gue bisa tahu apa yang ada di pikiran masing-masing
tokoh. Apalagi tokohnya dua orang dewasa dan dua orang anak-anak dengan jenis
kelamin yang beda-beda. Jadi, gue juga bisa melihat bagaimana si anak-anak
memandang orang tua mereka, atau justru sebaliknya, membaca orang tua yang
resah-gelisah sama sikap anak-anak mereka yang kaya’nya hidup dalam dunia
sendiri.
O ya, awalnya ketika gue baca sinopsis buku ini,
terus terang gue gak terlalu tertarik. Karena gue pikir, ah paling-paling soal
abg yang jatuh cinta gara-gara kopernya ketuker, jadi gue melewatkan tawaran
mbak Maria untuk PO buku ini. Tapi, waktu
ngeliat covernya yang imut-imut ini, yah…. Luluhlah pertahanan gue. Gak kuat
melawan godaan cover yang menarik ini. 4 pasang kaki, dengan sepatu yang
‘menjelaskan’ siapa tokoh-tokoh buku ini, lalu dengan latar warna hijau yang
kalau dipandang-pandang seperti sebuah koper, lengkap dengan tempelan sticker
hotel dan ada gambar passport-ya. Ilustrasi di setiap pergantian bab – yang
ditandai dengan pergantian hari itu, juga bagus – kertas-kertas seperti boarding
pass, tiket, daftar belanjaan atau bahkan surat
rahasia dari Andrew untuk Daisy.
Satu hal yang menarik dari buku ini, adalah tema
pameran yang dirancang Andrew itu. Tentang teknologi – seperti smartphone, yang
menggantikan sarana surat-menyurat tradisional. Gue jadi kepikiran, 3-4 tahun
yang lalu, saat lebaran, masih banyak kartu ucapan yang di antara pak pos, kalo
sekarang di malam takbiran ‘banjir’ broadcast message ucapan lebaran. Ada
sesuatu yang kurang ‘akrab’ kaya’nya, karena pertama rata-rata pesan itu adalah
copy paste dari pesan sebelumnya, kedua, dikirim secara ‘berjamaah’ ke semua
contact. Makanya kalo sekarang, gue seneng ikutan postcrossing, seneng rasanya
tiba-tiba dapet kartu pos, entah dari siapa dan dari mana aja.
Gue pun suka ide Daisy untuk menyajikan makanan
yang kembali ke masa lalu, biar orang yang sekarang hidup dengan teknologi
canggih, kangen dengan masa-masa di mana semua butuh proses yang lama dan
bernostalgia. Mungkin ada hal-hal yang gak bisa tergantikan sepenuhnya oleh
peranan teknologi.
Di buku ini disebutkan adanya demonstrasi oleh
kalangan orang-orang yang menolak teknologi – seperti Suku Amish. Mereka ini
konon benar-benar hidup jauh dari teknologi. Gak mau pakai lampu listrik, semua
serba manual, dan hidup memisahkan diri dari masyarakat umum. Gue pertama kali
mengetahui tentang masyarakat Amish ini dari bukunya Jodi Picoult, yang
judulnya The Plain Truth.
Submitted for:
-
Lucky No. 14 Reading Challenge – category: Cover Lust
-
New Author Reading Challenge 2014
-
Young Adult Reading Challenge 2014
0 comments:
Post a Comment