9 dari
Nadira
Leila S. Chudori
KPG – Cet. I, 2009
270 hal.
(swap sama Bu Dokter Dewi)
Biasanya gue rada males membaca kumpulan cerpen,
apalagi yang ditulis keroyokan oleh penulis yang berbeda-beda. Tapi, 9 dari
Nadira, membuat buku ini jadi salah satu buku favorit yang gue baca di tahun
2013.
Memang ditulis dengan latar cerita yang
berbeda-beda, tapi kesamaan tokoh dan benang merah dari seluruh cerita dalam
kum-cer ini, membuat gue merasa membaca satu novel utuh. Judul cerita yang
berbeda-beda, bagi gue, hanyalah sebuah pergantian bab.
Dalam bayangan gue, Nadira adalah perempuan yang
hidup dalam dunianya sendiri, ia sadar akan keberadaan dirinya, tahu harus
berbuat apa, tapi dia gak membiarkan orang lain masuk dan dia juga gak mau
keluar dari ruang yang dia buat itu. Nadira membiarkan dirinya hidup dalam
kenangan yang menyakitkan akan kematian ibunya.
Kematian Kemala, ibu Nadira, menjadi awal dari
cerita dalam buku ini. Nadira yang sekilas tanpa emosi, membiarkan rasa sedih
dan sakit hanya untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan kakak perempuannya yang
histeris.
Tapi jauh sebelum ibunya meninggal, Nadira sudah
lebih dulu merasakan rasa tertekan dan kesendirian. Kakak tertuanya, Yu Nina,
pernah ‘menyiksa’ Nadira. Hanya karena Nadira memperoleh uang tambahan, Yu Nina
menuduhnya mencuri.
Nadira juga kecewa pada kakak laki-lakinya, Kang
Arya – yang karena keisengannya membuat karya Nadira yang selalu dibingkai
ayahnya jadi hancur.
Bakat menulis Nadira menurun dari ayahnya yang
seorang wartawan. Ayah dan Ibu Nadira bertemu di Belanda. Ketika itu Bram
bekerja paruh waktu di sebuah bar, Kemala, ibu Nadira, kebetulan diajak
temannya ke bar tersebut. Dan jatuh cintalah mereka.
Nina, Arya dan Nadira dididik dengan baik oleh
orang tua mereka. Mereka juga mendapatkan pendidikan agama yang kuat dari kakek
mereka, ayah Bram.
Sebagai perempuan, mungkin Nadira cenderung ‘aneh’
kali ya. Terkurung di dalam dunianya sendiri, Nadira jadi ‘penghuni kolong meja’
di kantornya. Nyaris bagai gembel. Padahal ia cukup cantik. Seuntai tasbih jadi
benda kenangan yang membuat Nadira tenang, tasbih milik mendiang Kemala.
Saat yang bisa membuat Nadira tersenyum kala
seorang aktivis, penyair gombal bernama Niko memasuki kehidupan Nadira.
Hari-hari Nadira jadi merah jambu dan ceria, hari-hari yang malah membuat
seorang Utara Bayu – atasan Nadira – jadi kelabu.
Ada kisah cinta dalam buku
ini, cinta seorang orang tua pada anaknya, cinta suami istri, cinta
kakak-beradik – meskipun ketiganya punya rasa sakit satu sama lain, cinta Utara
Bayu terhadap Nadira yang tak kesampaian, dan cinta yang tak disadari Nadira
pada Utara Bayu.
Meskipun cerita dalam buku ini melompat-lompat,
tak berurutan, tapi tetap bisa menyatu sebagai satu kesatuan cerita. Jangan
liat cover atau ilustrasinya, yang rada kurang nyaman dipandang.
Bahkan di akhir cerita… gue masih menantikan apa
yang terjadi dengan Nadira yang pulang ke Indonesia demi Utara Bayu…