The
Postmistress
Sarah Blake @ 2010
Meggy Soejatmiko (Terj.)
Elex Media Komputindo, Cet. I – April 2012
588 hal.
(Pinjam sama Astrid)
Ini adalah kisah dua perempuan yang bertugas
menyampaikan berita. Sama-sama berperan penting dalam kehidupan ‘kelangsungan’
hidup seseorang.
Amerika – masa-masa Perang Dunia II, pemerintah
sudah berjanji bahwa tidak akan ada pemuda yang dikirim ke medan perang. Tapi,
tetap saja warga was-was. Bisa-bisa sewaktu-waktu tentara Jerman muncul di
perairan Amerika.
Harry Vale, setia memantau perairan di di pesisir
Franklin, di sekitar daerah tempat ia tinggal. Meskipun banyak yang menganggap
remeh usahanya ini. Bahkan ia meminta kepala kantor pos yang baru, Iris James,
untuk segera memotong sedikit tiang bendera di depan kantor pos yang terlalu
menjulang. Khawatir ini akan menjadi tanda bagi tentara Jerman.
Iris James, si kepala kantor pos baru ini, sangat
serius dengan pekerjaannya. Baginya, surat-surat yang masuk ke kantor posnya
adalah sangat penting bagi kehidupan seseorang. Bisa saja di salah satu surat
itu ada panggilan kerja untuk seorang pencari kerja, surat undangan, surat
lamaran pria pada kekasihnya. Jika ini terlambat sampai ke orang yang
bersangkutan, maka akan menghambat hari-hari orang lain.
Sementara, nun jauh di London, Frankie Bard,
reporter asal Amerika, setia mengabarkan kepada dunia – Amerika tepatnya – akan
kondisi perang yang sesungguhnya. Bom yang nyaris dijatuhkan di London setiap
malam, orang-orang yang kehilangan sanak-saudara, teman dan tempat tinggal.
Frankie mencoba membuka mata, bahwa perang itu sungguh ada. Ia meninggalkan
kehidupan yang nyaman demi menyampaikan berita.
Adalah Will Fitch yang jadi benang merah antara
kedua perempuan ini. Karena gagal membantu menyelamatkan nyawa seorang ibu saat
melahirkan, Will Fitch merasa bersalah, ia pun ingin menebus rasa bersalahnya
itu dengan pergi ke London, menjadi sukarelawan di sana. Meski berat, Emma,
istrinya melepas kepergian suaminya. Will tak tahu kalau Emma sedang hamil.
Dan, Will berjanji akan terus mengirimkan kabar dan segera pulang.
Di awal, kabar itu lancar, sampai suatu malam,
terjadi tragedi yang merengut nyawa Will. Saat itu, Frankie yang baru saja
berkenalan dengan Will, melihat surat yang akan dikirim Will pada Emma.
Kejadian ini, membawanya mengambil keputusan untuk mencari berita dengan
mewawancarai para pengungsi. Kembali ia harus menyaksikan peristiwa-peristiwa
tragis. Selain itu, masih ada beban – surat Will, dan bahwa ia adalah sebagai
salah satu penyampai berita buruk.
Dan, surat yang mengabarkan kematian Will juga
tiba di kantor pos tempat Iris. Iris yang melihat bagaimana setiap hari Emma
selalu melihat kotak pos-nya, menanti datangnya surat dari Will, tak tega untuk
menyampaikan berita ini. Sosok Emma yang begitu rapuh, membuat semua orang
ingin melindunginya.
Siapakah yang nantinya akan menyampaikan berita
itu ke Emma? Iris atau Frankie? Yang jelas dua-duanya mempunyai beban yang
berat.
Inilah cerita perang tapi tanpa dar-der-dor.
Malah perangnya sendiri seolah gak ada. Padahal sesungguhnya ada di sekeliling
mereka. Coba aja baca, saat Frankie masih sempat minum-minum di klub, atau
teman-teman Harry yang masih asyik mancing. Padahal mereka semua juga was-was.
Dan bagaimana, keputusan seseorang bisa sangat
mempengaruhi jalan hidup orang lain. Bagaimana juga rasa curiga justru lebih
besar ada di tempat yang adem-ayem. Yang bikin sedih, saat seorang ibu melepas
anaknya untuk pergi sendiri, biar anaknya selamat, lalu saat seorang anak
melihat rumahnya sudah luluh lantak terkena bom dan gak tau keluarganya di
mana. Ini adalah bagian-bagian yang bikin sesak. Hiks….
Gue sempat merasa bagian soal tiang bendera itu
bagian yang gak penting. Tapi itu justru bagian itu yang jadi ‘penanda’
hubungan antara Iris dan Harry.
Cerita ini juga menggambarkan sosok perempuan
yang ‘gagah’. Bukan berarti macho sih. Tapi berani. Frankie Bard dengan
berita-beritanya di medan perang – tak sekali nyawanya pun terancam, dan Iris
James, si lajang yang sempat jadi bahan omongan di tempat barunya karena penampilannya
yang katanya rada gak cocok dengan lingkungan sekitar.
Judulnya sih rada gak nyambung atau menyesatkan
kali ya, soalnya ternyata yang paling banyak rasanya justru si Frankie Bard,
bukan Iris. Bahkan Emma rasanya juga lebih berperan di sini.
Dan sekedar intermezo aja sih, di jaman itu sepertinya merokok untuk perempuan jadi hal yang hip, bahkan Emma yang sedang hamil pun masih terus merokok.
O ya, inilah sosok Edward R. Murrow - wartawan perang yang jadi pembimbing Frankie