Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno
Ramadhan K.H
Penerbit Bentang – Cet. I, Maret 2011
431 hal.
Waktu pertama belajar sejarah, yang gue ketahui Ibu Negara, istri Bung Karno adalah Ibu Fatmawati. Baru belakangan, dari buku-buku yang gue baca, dari majalah, koran dan lain-lain, gue tahu kalau istri beliau tidak hanya Ibu Fatmawati. Dan baru kemudian lagi, gue tahu, sebelum menikah dengan Ibu Fatmawati, Bung Karno pernah dua kali menikah, dengan Ibu Utari dan Ibu Inggit. Mungkin nama Ibu Utari tidak banyak terdengar, karena pernikahan itu juga hanya seumur jagung. Berbeda dengan Ibu Inggit, meskipun jarang dibahas, tapi beliau adalah sosok yang berpengaruh dalam kehidupan Bung Karno, terutama di awal-awal perjuangan kemerdekaan. Melalu buku ini, yang judulnya menurut gue ‘sangat romantis’, gue pun mengetahui kisah cinta antara Ibu Inggit dan Bung Karno.
Pertemuan itu diawali ketika Kusno (nama kecil Bung Karno) tinggal di rumah Ibu Inggit dan suaminya, Kang Sanusi. Tujuan Bung Karno datang ke Bandung adalah untuk menyelesaikan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung. Ibu Inggit pun menerima kedatangan Bung Karno – beserta istrinya, Ibu Utari di rumah itu. Meskip
Sosok Ibu Inggit yang sederhana, penuh kasih dan lemah lembut, ternyata membuat hati Bung Karno ‘bergetar’. Tak peduli usia Ibu Inggit yang jauh lebih tua dan masih berstatus istri orang, Bung Karno ‘nekat’ melontarkan kata cinta. Ibu Inggit pun ternyata tak mampu ‘menolak’ pesona seorang Soekarno. Meskipun masih muda, tapi penuh tekad dan tegas.
Urusan rumah tangga masing-masing pun diselesaikan dengan baik-baik, dan mereka pun menikah. Dalam sosok Ibu Inggit, Bung Karno menemukan sosok seorang ibu mengemongnya dan istri yang melayani dengan setia dan juga seorang teman mau mendengar ide-ide dan pandangan-pandangannya.
Sepak terjang Bung Karno di dunia politik membawa mereka pada keadaan yang tak menentu. Belanda terus mencurigai segala pergerakan Bung Karno, sampai akhirnya beliau dan beberapa temannya dijebloskan ke penjara. Tak mudah bagi Ibu Inggit untuk menengok Bung Karno. Tapi, berkat kesabaran dan doa yang tak putus, mereka bisa bertemu kembali.
Ibu Inggit tetap setia mendampingi bung Karno meskipun harus ikut ke tempat pengasingan, pertama di Pulau Ende, Flores dan kemudian ke Bengkulu. Tak sekali pun Ibu Inggit mengeluh, yang ada justru semangat yang terus diberikan kepada Bung Karno untuk terus berjuang dan sabar. Meskipun di saat berpidato, Bung Karno bolehlah disebut ‘singa podium’, tapi di samping Ibu Inggit, beliau layaknya anak lelaki kecil yang ingin dimanja.
Namun, ternyata di Bengkulu inilah, pernikahan mereka mengalami cobaan. Bung Karno tertarik dengan seorang gadis yang pernah tinggal bersama dengan mereka di rumah – bernama Fatmawati. Bung Karno yang masih muda, ingin mempunyai keturunan sendiri, sementara Ibu Inggit tidak mampu memenuhi keinginan Bung Karno. Bung Karno tetap bersikeras menikahi Fatmawati, dan Ibu Inggit tidak mau dimadu, maka pernikahan mereka pun harus berakhir dengan perceraian.
Meski hatinya sakit dan cemburu, tapi Ibu Inggit tetap mendoakan Bung Karno agar terus selamat dan tetap berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia.
Pertama yang menarik perhatian gue, tentu saja judulnya, tapi gue masih ragu-ragu, karena jarang gue berhasil menyelesaikan membaca buku seperti ini. Thanks to Om Tan, yang berbaik hati, merelakan buku ini ‘jalan-jalan’ sebentar ke Jakarta. Dari buku ini, gue gak hanya belajar sejarah, tapi juga ‘mengenal’ sosok seorang Inggit Ganarsih – sosok perempuan yang tak berharap apa-apa, kecuali melayani suami dengan kasih sayang yang tulus.
Buku ini ditulis berdasarkan wawancara langsung dengan Ibu Inggit Ganarsih, dibantu anak angkat Ibu Inggit dan Bung Karno – Ratna Djuami dan Kartika.
Ramadhan K.H
Penerbit Bentang – Cet. I, Maret 2011
431 hal.
Waktu pertama belajar sejarah, yang gue ketahui Ibu Negara, istri Bung Karno adalah Ibu Fatmawati. Baru belakangan, dari buku-buku yang gue baca, dari majalah, koran dan lain-lain, gue tahu kalau istri beliau tidak hanya Ibu Fatmawati. Dan baru kemudian lagi, gue tahu, sebelum menikah dengan Ibu Fatmawati, Bung Karno pernah dua kali menikah, dengan Ibu Utari dan Ibu Inggit. Mungkin nama Ibu Utari tidak banyak terdengar, karena pernikahan itu juga hanya seumur jagung. Berbeda dengan Ibu Inggit, meskipun jarang dibahas, tapi beliau adalah sosok yang berpengaruh dalam kehidupan Bung Karno, terutama di awal-awal perjuangan kemerdekaan. Melalu buku ini, yang judulnya menurut gue ‘sangat romantis’, gue pun mengetahui kisah cinta antara Ibu Inggit dan Bung Karno.
Pertemuan itu diawali ketika Kusno (nama kecil Bung Karno) tinggal di rumah Ibu Inggit dan suaminya, Kang Sanusi. Tujuan Bung Karno datang ke Bandung adalah untuk menyelesaikan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung. Ibu Inggit pun menerima kedatangan Bung Karno – beserta istrinya, Ibu Utari di rumah itu. Meskip
Sosok Ibu Inggit yang sederhana, penuh kasih dan lemah lembut, ternyata membuat hati Bung Karno ‘bergetar’. Tak peduli usia Ibu Inggit yang jauh lebih tua dan masih berstatus istri orang, Bung Karno ‘nekat’ melontarkan kata cinta. Ibu Inggit pun ternyata tak mampu ‘menolak’ pesona seorang Soekarno. Meskipun masih muda, tapi penuh tekad dan tegas.
Urusan rumah tangga masing-masing pun diselesaikan dengan baik-baik, dan mereka pun menikah. Dalam sosok Ibu Inggit, Bung Karno menemukan sosok seorang ibu mengemongnya dan istri yang melayani dengan setia dan juga seorang teman mau mendengar ide-ide dan pandangan-pandangannya.
Sepak terjang Bung Karno di dunia politik membawa mereka pada keadaan yang tak menentu. Belanda terus mencurigai segala pergerakan Bung Karno, sampai akhirnya beliau dan beberapa temannya dijebloskan ke penjara. Tak mudah bagi Ibu Inggit untuk menengok Bung Karno. Tapi, berkat kesabaran dan doa yang tak putus, mereka bisa bertemu kembali.
Ibu Inggit tetap setia mendampingi bung Karno meskipun harus ikut ke tempat pengasingan, pertama di Pulau Ende, Flores dan kemudian ke Bengkulu. Tak sekali pun Ibu Inggit mengeluh, yang ada justru semangat yang terus diberikan kepada Bung Karno untuk terus berjuang dan sabar. Meskipun di saat berpidato, Bung Karno bolehlah disebut ‘singa podium’, tapi di samping Ibu Inggit, beliau layaknya anak lelaki kecil yang ingin dimanja.
Namun, ternyata di Bengkulu inilah, pernikahan mereka mengalami cobaan. Bung Karno tertarik dengan seorang gadis yang pernah tinggal bersama dengan mereka di rumah – bernama Fatmawati. Bung Karno yang masih muda, ingin mempunyai keturunan sendiri, sementara Ibu Inggit tidak mampu memenuhi keinginan Bung Karno. Bung Karno tetap bersikeras menikahi Fatmawati, dan Ibu Inggit tidak mau dimadu, maka pernikahan mereka pun harus berakhir dengan perceraian.
Meski hatinya sakit dan cemburu, tapi Ibu Inggit tetap mendoakan Bung Karno agar terus selamat dan tetap berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia.
… bahwa sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah mengantar seseorang sampai di gerbang yang amat berharga.
Hal. 415
Pertama yang menarik perhatian gue, tentu saja judulnya, tapi gue masih ragu-ragu, karena jarang gue berhasil menyelesaikan membaca buku seperti ini. Thanks to Om Tan, yang berbaik hati, merelakan buku ini ‘jalan-jalan’ sebentar ke Jakarta. Dari buku ini, gue gak hanya belajar sejarah, tapi juga ‘mengenal’ sosok seorang Inggit Ganarsih – sosok perempuan yang tak berharap apa-apa, kecuali melayani suami dengan kasih sayang yang tulus.
Buku ini ditulis berdasarkan wawancara langsung dengan Ibu Inggit Ganarsih, dibantu anak angkat Ibu Inggit dan Bung Karno – Ratna Djuami dan Kartika.
11 comments:
iyaaa.. aku akhirnya baca buku ini juga, Mbaak.. kisah cintanya Ibu Inggit yg setia benar-benar membuat saya salut. Juga keteguhan akan prinsipnya yg nggak mau di poligami..
Nice review, Mbak :)
Penulis buku Untung Surapati, yaitu Yudhi Herwibowo bilang kalo Buku Kuantar Ke Gerbang ini adalah buku yang sangat bagus.
jadi pengen baca juga. *masuk wishlist ah...
nice Review, mbak ^ _ ^
Ini buku yg ttg kisah cinta bung Karno itu ya?
memang dibalik sosok-sosok besar dunia, ada wanita wanita luar biasa yang mendukung dan menopang cita-cita suaminya, bu Inggit ini salah satunya
udah 4 nih aku baca review Kuantar Ke Gerbang. mupeng mau bacaaaa....
@orybun, @dion, @buntelan kata: sejak baca reviewnya di blog om Tanzil, aku 'mupeng' banget pengen baca juga. akhirnya pinjem deh ke beliau.
hayo, buat yang masih 'mupeng', segera dicari dan dibaca bukunya
fer: sama, buku ini bukan genre gue banget, tapi ternyata sangat interesting ya! nggak nyesel banget bacanya, hehe..dan bener2 dapet banyak pengetahuan baru ttg sejarah...seru!
Bu Inggit memang TOP banget deeh
saya penasaran dengan filmnya
wah..bukunya om tan bentar lagi jalan2 ke magetan..gak sabar deh pengen baca...aura buku ini gimana gitu...covernya juga nampak syahdu banget..
kenapa ya diktat sejarah tak pernah benar-benar mencantumkan dengan benar segala sesuatunya. sigh..
Iya aku jadi makin mupeng ni fer. Bu Inggit tuh hebat banget ya!!
@astrid: jarang2 gue mau baca non-fiksi, tapi kalo buku sejarah kaya' begini, pasti asyik banget
@helvry: o iya, katanya yang jadi Bu Inggit itu Maudy ya?
@Nophie: mungkin ada yang gak kepengen ketauan jeleknya kali :D
Post a Comment