Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi
Yusi Avianto Pareanom
Banana Publishing - 2016
450 hal.
Alkisah, ada seorang pemuda bernama Sungu Lembu. Usianya
masih muda, tapi hidup sudah memberinya pelajaran dan pengalaman yang sangat
banyak. Ia mengembara dengan tujuan balas dendam kepada Watugunung, raja dari
Gilingwesi, yang sudah membuat keluarganya dan juga rakyat Banjaran Waru
sengasara.
Pertemuan Sungu Lembu dengan Raden Mandasia berawal di rumah
dadu Nyai Manggis. Ternyata Raden Mandasia adalah salah satu anak dari Watugunung.
Kalau bukan karena permintaan Nyai Manggis, mungkin Sungu Lembu sudah membunuh
Raden Mandasia. Nyai Manggis berpesan agar Sungu Lembu mengikuti Raden Mandasai
dalam perjalanannya menuju Kerajaan Gerbang Agung.
Maka dimulailah perjalanan Sungu Lembu dan Raden Mandasia,
melintasi gurun pasir, terombang-ambing di lautan, bahkan bertemu bajak laut.
Lama-lama, Sungu Lembu pun sedikit banyak mengenal Raden Mandasia, pangeran
yang ‘kabur’ dari istana demi mencegah peperangan besar, pangeran yang punya
kebiasaan ajaib, yaitu mencuri daging sapi.
Dan meskipun demikian, keinginan Sungu Lembu untuk mengabisi
Watugunung tidak surut. Tapi, sesampainya ia di kerajaan Gilingwesi, mau tak
mau, nyalinya sedikit ciut, melihat kemampuan Watugunung dalam memainkan pedang
dan betapa ia sangat tangguh di medan laga.
Kalau berpikir Raden Mandasia yang jadi tokoh utama dalam
buku ini, kemungkinan akan sedikit kecewa, karena menurut gue, ini murni
tentang kisah Sungu Lembu. Bahkan gue gak menaruh perhatian sedikit pun sama
Raden Mandasia yang malah seolah jadi ‘pelengkap’ Sungu Lembu. Raden Mandasia
baru menarik perhatian gue, ketika ia turut bertempur melawan prajurit Kerajaan
Gerbang Agung. Tiba-tiba Raden Mandasia jadi gagah gitu dalam bayangan gue ..
hehehe… Dan sosok Raden Langkir, saudara kembar Raden Mandasia, mengingatkan
gue pada Tyrion
Lannister. Ini bikin Sungu Lembu pengen ketawa-tawa terus kalau liat Raden
Langkir dan gak percaya kalau dia ini adalah saudara kembar Raden Mandasia.
Yang gue suka dari Sungu Lembu, adalah pembawaannya yang
santai, kadang rada ngeselin, tapi penuh dengan kewaspadaan. Ia terlatih
mengenal berbagai jenis racun – hasil didikan pamannya, Banyak Wetan. Lalu, ia
suka membaca, plus sebenarnya Sungu Lembu ini juga cerdas sih menurut gue.
Membaca novel ini harus sabar, karena Sungu Lembu membawa
kita ke awal terjadinya cerita ini, lalu ada di tengah-tengah, baru kemudia
terjun ke masa sekarang, dengan terkadang mundur dikit lagi. Terkadang mungkin
akan ikut memaki-maki bersama Sungu Lembu, dan oh… ya ampun, ikutan ‘ngiler’
dengan penjabaran berbagai bagian daging sapi lengkap dengan masakan yang pas
untuk bagian itu. Dan tentu saja gak ketinggalan adegan-adegan dewasa yang
kadang bikin gue ‘jengah’ bacanya.
Bagian favorit gue adalah ketika Sungu Lembu bertemu dengan
Dewi Sinta, ibunda Raden Mandasia, kaya’nya tenang gitu, setelah menghabiskan
sebagian besar novel yang penuh peperangan, jatuhnya ribuan mayat dari langit,
dan perjalanan yang penuh berbagai hambatan dan tantangan.
Tadinya gue sempat ‘membandingkan’ novel ini dengan novel-novelnya
Eka Kurniawan. Tapi ternyata, jujur aja gue lebih suka sama novel ini. Menurut
gue sih, bahasa dalam Raden Mandasia ini lebih ‘halus’. Meskipun ada
maki-makian a la Sungu Lembu, tapi malah jadi ‘penyegar’ dalam novel ini.
Submitted for: Award Winning (Kusala Sastra Khatulistiwa –
Kategori Prosa)
0 comments:
Post a Comment