Hotel on the Corner of Bitter and Sweet
Jamie Ford @ 2009
Leinovar Bahfein
Penerbit Matahati - Cet. 1, November 2011
398 hal.
(pinjam sama @balonbiru)
Jamie Ford @ 2009
Leinovar Bahfein
Penerbit Matahati - Cet. 1, November 2011
398 hal.
(pinjam sama @balonbiru)
“Berapa lama kau akan menungguku, Henry?”
”Selama yang dibutuhkan…”
“Bagaimana kalau aku tetap di sini sampai tua dan ubanan __”
“Kalau begitu aku akan membawakanmu tongkat.”
(hal. 317)
Ah, betapa romantisnya kalimat-kalimat di atas. Didukung dengan cover-nya yang cantik, cuaca dingin-dingin abis hujan :D
Diceritakan dalam dua kurun waktu yang berbeda, tahun 1942 dan 1986, ber-setting di Amerika. Henry, anak laki-laki berusia 11 tahun, hidup dalam masa perang. Sebagai keturunan Cina, tidaklah mudah bagi Henry. Ayah Henry, seorang pria nasionalis sejati, ia sangat membenci Jepang yang sudah memporak-porandakan Cina. Ia sangat mendukung diusirnya rakyat Jepang dari Amerika. Dan ayah Henry menginginkan anaknya untuk menjadi ‘Amerika’, ia tidak diperbolehkan bicara bahasa Canton di rumah. Padahal orang tuanya sendiri tidak begitu paham bahasa Inggris. Di sekolah pun, Henry kerap jadi bahan ejekan. Ditambah lagi, ia wajib memakai bros ‘Aku Orang Cina’ ke mana pun ia pergi. Mungkin tujuannya biar gak dikira orang Jepang dan demi keselamatan Henry sendiri. Di sekolah, Henry bekerja di kantin, membantu menyediakan makan siang untuk para siswa.
Suatu hari, datanglah seorang gadis cantik bernama Keiko. Malang bagi Keiko, meskipun ia lahir di Amerika, tapi tetaplah di mata orang, ia tetap seorang Jepang. Keiko tinggal di kawasan Nihonmachi. Keiko dan Henry sama-sama bekerja di kantin. Dan saat itulah, dimulai persahabatan mereka. Hubungan yang sangat terlarang di mata ayah Henry. Tapi, bahkan, saat Keiko dan keluarganya, beserta warga keturunan Jepang lainnya harus tinggal di dalam kamp pengungsian, Henry tetap setia menemui Keiko dan kerap berkirim surat.
Tapi, hubungan ini tidak mulus. Ayah Henry yang mempunyai kuasa di kalangan keturunan Cina, menggunakan pengaruhnya untuk menjauhkan Henry dan Keiko. Dalam keadaan sakit pun, ayah Henry bisa ‘mensabotase’ surat-menyurat antara Henry dan Keiko. Yang pada akhirnya membuat Henry terpaksa mengalah dan hubungan itu pun terputus.
Tahun 1986, Henry yang baru saja kehilangan istrinya, lewat di depan hotel Panama yang sedang dibongkar. Hotel Panama ini adalah tempat warga Jepang menyimpan barang-barang mereka sebelum mereka dulu dibawa ke kamp pengungsian. Daripada menghancurkan kenangan mereka, para warga Jepang memilih untuk menyimpannya. Meskipun tak tahu kapan bisa diambil lagi.
Tanpa sengaja, Henry melihat sebuah benda yang membawanya kepada kenangan 40 tahun silam. Dan ia pun tergerak untuk mencari potongan kenangan yang lain.
Wahh.. tanpa terasa gue ikut terhanyut dalam kenangan Henry, kenangan akan cinta monyet, saat anak laki-laki 11 tahun berusaha untuk jadi dewasa, mencoba bertanggung jawab atas anak perempuan seusianya dan bahkan pengen ngajak kabur… Begitu lugu…
Buku ini gak hanya melulu soal hubungan Keiko dan Henry, tapi juga menyorot hubungan Henry dengan ayahnya yang kaku, ibunya yang terombang-ambing, antara kadang kasihan sama anaknya, tapi juga harus nurut sama suaminya. Padahal gue pengen lebih mengenal Keiko, tapi sayangnya, justru Henry yang paling dominan. Suka dengan Keiko yang manis.. pinter gambar. Dan uniknya nih, dua anak ini punya soundtrack lagu jazz.
Gue juga tertarik dengan fakta-fakta dalam buku ini. Misalnya Hotel Panama yang memang benar adanya. Dibangun oleh arsitek Jepang di tahun 1910, bernama Sabro Osaza. Sekarang, di dalam hotel ini, dibuat semacam lantai kaca, di mana para pengunjung bisa melihat ke basement di mana masih ada barang-barang yang ditinggalkan warga Jepang.
Penulisnya sendiri, Jamie Ford, adalah seorang keturunan Cina, yang akrab dengan sejarah Chinatown dan Nihonmachi. Kakek buyutnya hijrah ke San Fransisco pada tahun 1865.
Dan gue juga suka endingnya… gak banyak basa-basi… tapi manis…
4 payung cantik untuk Keiko dan Henry
Diceritakan dalam dua kurun waktu yang berbeda, tahun 1942 dan 1986, ber-setting di Amerika. Henry, anak laki-laki berusia 11 tahun, hidup dalam masa perang. Sebagai keturunan Cina, tidaklah mudah bagi Henry. Ayah Henry, seorang pria nasionalis sejati, ia sangat membenci Jepang yang sudah memporak-porandakan Cina. Ia sangat mendukung diusirnya rakyat Jepang dari Amerika. Dan ayah Henry menginginkan anaknya untuk menjadi ‘Amerika’, ia tidak diperbolehkan bicara bahasa Canton di rumah. Padahal orang tuanya sendiri tidak begitu paham bahasa Inggris. Di sekolah pun, Henry kerap jadi bahan ejekan. Ditambah lagi, ia wajib memakai bros ‘Aku Orang Cina’ ke mana pun ia pergi. Mungkin tujuannya biar gak dikira orang Jepang dan demi keselamatan Henry sendiri. Di sekolah, Henry bekerja di kantin, membantu menyediakan makan siang untuk para siswa.
Suatu hari, datanglah seorang gadis cantik bernama Keiko. Malang bagi Keiko, meskipun ia lahir di Amerika, tapi tetaplah di mata orang, ia tetap seorang Jepang. Keiko tinggal di kawasan Nihonmachi. Keiko dan Henry sama-sama bekerja di kantin. Dan saat itulah, dimulai persahabatan mereka. Hubungan yang sangat terlarang di mata ayah Henry. Tapi, bahkan, saat Keiko dan keluarganya, beserta warga keturunan Jepang lainnya harus tinggal di dalam kamp pengungsian, Henry tetap setia menemui Keiko dan kerap berkirim surat.
Tapi, hubungan ini tidak mulus. Ayah Henry yang mempunyai kuasa di kalangan keturunan Cina, menggunakan pengaruhnya untuk menjauhkan Henry dan Keiko. Dalam keadaan sakit pun, ayah Henry bisa ‘mensabotase’ surat-menyurat antara Henry dan Keiko. Yang pada akhirnya membuat Henry terpaksa mengalah dan hubungan itu pun terputus.
Tahun 1986, Henry yang baru saja kehilangan istrinya, lewat di depan hotel Panama yang sedang dibongkar. Hotel Panama ini adalah tempat warga Jepang menyimpan barang-barang mereka sebelum mereka dulu dibawa ke kamp pengungsian. Daripada menghancurkan kenangan mereka, para warga Jepang memilih untuk menyimpannya. Meskipun tak tahu kapan bisa diambil lagi.
Tanpa sengaja, Henry melihat sebuah benda yang membawanya kepada kenangan 40 tahun silam. Dan ia pun tergerak untuk mencari potongan kenangan yang lain.
Wahh.. tanpa terasa gue ikut terhanyut dalam kenangan Henry, kenangan akan cinta monyet, saat anak laki-laki 11 tahun berusaha untuk jadi dewasa, mencoba bertanggung jawab atas anak perempuan seusianya dan bahkan pengen ngajak kabur… Begitu lugu…
Buku ini gak hanya melulu soal hubungan Keiko dan Henry, tapi juga menyorot hubungan Henry dengan ayahnya yang kaku, ibunya yang terombang-ambing, antara kadang kasihan sama anaknya, tapi juga harus nurut sama suaminya. Padahal gue pengen lebih mengenal Keiko, tapi sayangnya, justru Henry yang paling dominan. Suka dengan Keiko yang manis.. pinter gambar. Dan uniknya nih, dua anak ini punya soundtrack lagu jazz.
Gue juga tertarik dengan fakta-fakta dalam buku ini. Misalnya Hotel Panama yang memang benar adanya. Dibangun oleh arsitek Jepang di tahun 1910, bernama Sabro Osaza. Sekarang, di dalam hotel ini, dibuat semacam lantai kaca, di mana para pengunjung bisa melihat ke basement di mana masih ada barang-barang yang ditinggalkan warga Jepang.
Penulisnya sendiri, Jamie Ford, adalah seorang keturunan Cina, yang akrab dengan sejarah Chinatown dan Nihonmachi. Kakek buyutnya hijrah ke San Fransisco pada tahun 1865.
Dan gue juga suka endingnya… gak banyak basa-basi… tapi manis…
4 payung cantik untuk Keiko dan Henry
5 comments:
Aaaw, dari dulu pengen baca historical fiction ini, ratingnya BBIers bagus2 sih.. :D
ak juga jarang baca HisFic, pengen nyoba, pengen juga baca buku ini dari dulu :))
@okeyzz, @peri hutan: baca deh, bagus koq. dijamin gak menyesal :)
baruuuu aja mau komen, diswap nggak fer? ehhh ternyata pinjeman ya hihihi...penasaran pengen baca dr dulu. sooo romantic ya
@astrid: iya nih, punya-nya Nophie. Romantis lho... hihihi... :)
Post a Comment