Tuesday, May 03, 2011

Scones and Sensibility

Scones and Sensibility
Lindsay Eland @ 2010
Penerbit Atria - Maret 2011
302 Hal.

Polly Madassa, baru berusia 12 tahun, tapi ia merasa paling ‘ahli’ dalam urusan percintaan bahkan perjodohan. Kegemarannya membaca buku-buku klasik, dan hal ini begitu ‘merasuk’ ke jiwanya, sampai-sampai ia terhanyut dan terbawa dalam kehidupan nyata. Polly selalu berkhayal tentang tokoh-tokoh dalam novel Anne of Green Gables, Pride and Prejudice. Polly dengan baju berenda-renda dan topinya, menulis dengan pena khusus kaligrafi, punya jam saku dan kalau bicara begitu berbunga-bunga, layaknya dalam novel-novel itu.

Begitu menjiwai isi cerita klasik yang ia baca, Polly merasa bahwa orang-orang di sekitarnya memerlukan ‘sebuah rajutan cinta yang baru’. Polly bertekad memutuskan hubungan Clementine, kakaknya, dengan Clint, karena Polly melihat Clint sangat menyebalkan dan tidak cocok untuk kakaknya. Mulailah proyek ‘Cinta Dirajut’ pertama, mencari ‘peminang’ yang tepat untuk kakaknya.

Proyek kedua, adalah mencarikan istri untuk Mr. Fisk, yang tak lain adalah ayah sahabatnya Fran. Proyek ketiga, menjodohkan Miss Wiskerton dengan Mr. Nightquist, si pemilik toko layang-layang.

Berbagai usaha dilakukannya. Mulai dari mengirim roti ke Miss Wiskerton yang mengatasnamakan Mr. Nightquist, mencari pasangan di tempat-tempat yang ia datangi (kebetulan di liburan musim panas kali ini, Polly mendapat tugas mengantar roti – maklum anak pemilik toko roti), memberi bunga pada wanita tak dikenal di coffee shop karena ia rasa cocok dengan Mr. Fisk, dan memaksa Edward alias Eddie untuk menjadi ‘knight in shining armor’ untuk menyelamatkan Clementine.

Tapi, tak semua berjalan mulus. Malah kekacauan demi kekacauan terjadi. Banyak kesalahpahaman, sampai-sampai, Polly tak melihat sosok ‘peminang sejati’ untuk dirinya sendiri.

Membaca ini, gue jadi melihat sosok Anne Shirley dalam versi yang lebih modern dan lebih konyol, lebih lebay. Tapi, salut buat Polly yang gemar baca buku klasik dan sampai berulang-ulang. Gue aja baru berhasil baca Jane Eyre tahun lalu, dan gak berniat untuk mengulangnya. Mungkin gue kurang menjiwai ceritanya seperti Polly.

Gue jadi ngebayangin asyiknya lokasi tempat Polly tinggal. Setiap pagi nyium aroma roti yang baru matang (hmmm.. minus acara gosong-gosongannya Clementine), jalan-jalan di tepi pantai sambil naik sepeda… hehehe.. gue jadi ikutan berkhayal kaya’ Polly, deh…

2 comments:

Anonymous said...

Setuju mbak, baca novel ini yang kebayang Anne Shirley dalam tipe yang lebih lebay :) Walau si Anne juga lebay sih,haha.

Saya juga ngebayangin aroma roti yang baru matang, piknik di tepi sungai lengkap dengan taplak kotak-kotak saat membaca buku ini :p

ferina said...

hehehe... Polly versi Anne Shirley yang lebih lebay lagi..

keranjang rotan plus limunnya jangan lupa dibawa :D

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang