Ranah 3 Warna
A. Fuadi
GPU – Cetakan I, Januari 2011
474 hal
Pendidikan di Pondok Madani telah selesai. Alif kembali ke kampung halamannya di Maninjau. Cita-citanya kali ini adalah lulus UMPTN. Tapi sayang, banyak suara-suara sumbang yang membuat berkecil hati. Lulusan madrasah, mana bisa tembus UMPTN. Belum tentu juga lulus ujian persamaan SMA. Tapi Alif, semakin dikecilkan, semakin ia bertekad untuk membuktikan bahwa perkataan orang-orang itu salah. Terutama lagi, ia ingin membuktikan kepada Randai, bahwa ia juga bisa masuk ke perguruan tinggi dan bahkan mungkin ke Amerika… seperti cita-citanya selama ini.
Memang bukan ITB yang selama ini ia inginkan, tapi tetap Alif akhirnya membuktikan, bahwa anak pesantren juga bisa masuk perguruan tinggi negeri.
Perjuangan ternyata tidak hanya sampai di situ. Di Bandung, jauh dari orang tua, kondisi keuangan pas-pasan, membuat Alif harus memutar otak bagaimana bisa bertahan hidup. Ia mencoba bekerja sembari kuliah. Membuang rasa malu, ia jadi pedagang keliling, menjadi guru privat sampai akhirnya jatuh sakit.
Beruntung ada kesempatan lain, yang membuat Alif bangkit. Meskipun sempat membuat persahabatannya dengan Randai sedikit rusak, Alif pelan-pelan jadi mandiri dan semakin bertekad untuk menggapai cita-citanya.
Usaha Alif yang kocak, sok tau dan maju terus pantang mundur, berbuah manis. Ups… kecuali untuk urusan cinta… hehehe…
Meskipun, ada yang bilang ending-nya begitu mudah ditebak, ceritanya klise, tapi buat gue ini masih jadi salah satu favorit gue. Semua ditulis begitu detail dan rapi. Penuh dengan usaha yang jatuh bangun, beberapa juga ada yang membuat gue terharu. Iri juga karena Alif akhirnya bisa sampai ke Amerika. (hiks… gue jadi menyesal waktu kuliah gak pernah usaha lebih keras… ups.. cur-col). Tapi, gpp… buku ini bisa jadi pemompa semangat baru… biar gak gampang putus asa, biar gak gampang nyerah… biar terus usaha untuk cari jalan keluar biarpun rasanya semua pintu itu tertutup…
A. Fuadi
GPU – Cetakan I, Januari 2011
474 hal
Pendidikan di Pondok Madani telah selesai. Alif kembali ke kampung halamannya di Maninjau. Cita-citanya kali ini adalah lulus UMPTN. Tapi sayang, banyak suara-suara sumbang yang membuat berkecil hati. Lulusan madrasah, mana bisa tembus UMPTN. Belum tentu juga lulus ujian persamaan SMA. Tapi Alif, semakin dikecilkan, semakin ia bertekad untuk membuktikan bahwa perkataan orang-orang itu salah. Terutama lagi, ia ingin membuktikan kepada Randai, bahwa ia juga bisa masuk ke perguruan tinggi dan bahkan mungkin ke Amerika… seperti cita-citanya selama ini.
Memang bukan ITB yang selama ini ia inginkan, tapi tetap Alif akhirnya membuktikan, bahwa anak pesantren juga bisa masuk perguruan tinggi negeri.
Perjuangan ternyata tidak hanya sampai di situ. Di Bandung, jauh dari orang tua, kondisi keuangan pas-pasan, membuat Alif harus memutar otak bagaimana bisa bertahan hidup. Ia mencoba bekerja sembari kuliah. Membuang rasa malu, ia jadi pedagang keliling, menjadi guru privat sampai akhirnya jatuh sakit.
Beruntung ada kesempatan lain, yang membuat Alif bangkit. Meskipun sempat membuat persahabatannya dengan Randai sedikit rusak, Alif pelan-pelan jadi mandiri dan semakin bertekad untuk menggapai cita-citanya.
Usaha Alif yang kocak, sok tau dan maju terus pantang mundur, berbuah manis. Ups… kecuali untuk urusan cinta… hehehe…
Meskipun, ada yang bilang ending-nya begitu mudah ditebak, ceritanya klise, tapi buat gue ini masih jadi salah satu favorit gue. Semua ditulis begitu detail dan rapi. Penuh dengan usaha yang jatuh bangun, beberapa juga ada yang membuat gue terharu. Iri juga karena Alif akhirnya bisa sampai ke Amerika. (hiks… gue jadi menyesal waktu kuliah gak pernah usaha lebih keras… ups.. cur-col). Tapi, gpp… buku ini bisa jadi pemompa semangat baru… biar gak gampang putus asa, biar gak gampang nyerah… biar terus usaha untuk cari jalan keluar biarpun rasanya semua pintu itu tertutup…