Thursday, January 14, 2010

Garis Perempuan

Garis Perempuan
Sanie B. Kuncoro @ 2009
Bentang, Cet. I – Januari 2010
378 Hal.

Ranting – gadis anak penjual karak – kerupuk beras, ayahnya sudah meninggal. Terpaksa putus sekolah demi membantu ibunya yang terkena tumor ganas. Mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membiayai operasi ibunya. Tapi, tak bisa menolak ketika dirinya terpaksa ‘ditukar’ atau terpaksa mengorbankan dirinya jadi istri ketiga seorang pengusaha, Basudewo, yang bersedia menanggung biaya pengobatan ibunya.

Gendhing – anak seorang buruh cuci pakaian dan tukang becak. Lulus SMA, tapi belum mampu untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena masalah biaya. Mencari pekerjaan, tapi sulit, karena yang dicari lebih dari sekedar lulusan SMA. Beruntung salah satu pelanggan ibunya, Cik Ming – seorang pemilik salon – mau menerimanya sebagai salah satu kapster di salonnya. Tapi… lagi-lagi masalah biaya, hutang-piutang menjerat. Ibunya kehilangan seluruh tabungannya, gara-gara koperasi tempat ia menyimpan uang bangkrut. Malangnya, uang simpanan itu merupakan uang pinjaman dari tengkulak. Gendhing harus memilih, apakah menyerahkan dirinya kepada Indragiri, laki-laki pelanggan salon yang bersedia menerima dirinya sebagai simpanan, atau ‘dibawa’ oleh tengkulak itu sebagai ganti pelunasan hutang?

Tawangsri – anak penjual batik, pendidikan lebih beruntung dibanding dua temannya yang lain. Merindukan sosok ayah yang ada tapi seolah hanya berupa bayangan. Ayahnya pulang ketika ia sudah tidur di malam hari. Dan ketika ia bangun, ayahnya masih tertidur. Ibunya tak pernah protes atau mengeluh. Yang penting bagi ibunya, adalah ayahnya selalu pulang ke rumah. Tawangsri, menemukan sosok ayah yang dirindukan pada laki-laki bernama Jenggala, duda beranak satu yang ditinggal mati oleh istrinya ketika melahirkan anaknya. Ketika Tawangsri pasrah ‘menyerahkan diri’ pada laki-laki itu, jusru bayangan Langit Biru – nama anak kecil itu – yang menyadarkannya.

Zhang Mey – gadis keturunan Cina, anak seorang jurangan becak. Mencintai seorang laki-laki pribumi bernama Tenggar, tapi terbentun adat-istiadat Cina. Terbentur pada keinginan orang tua yang ingin Zhang Mey tetap setia pada leluhur mereka. Meskipun memiliki pendapat yang berbeda dengan orang tuanya, tetap saja ia tak sanggup untuk melawan.

Cerita tentang empat gadis yang bersahabat sejak masa kecil. Saling menguatkan, tapi tetap tidak mampu membantu ketika takdir ‘menghampiri’ mereka. Buku ini seolah ingin menggambarkan ketidakberdayaan perempuan, bahwa perempuan tidak punya pilihan. Berlatar budaya Jawa (tapi gak tau Jawa bagian mana – mungkin gue agak terlewat pas bacanya). Sebagai perempuan (halah…), gue agak gemes pas baca buku ini. Gemes dengan segala kepasrahan mereka. Tapi, ya gitu deh, kadang, kita sendiri mungkin gak bakal bisa berbuat apa-apa, atau mencari pilihan lain kalau lagi terdesak.

I did judge this book by its cover. Hehehe… sejujurnya malah gue sempet lupa judulnya. Abis, covernya lucu sih, menarik. Ini ‘perkenalan’ pertama gue dengan karya Sanie B. Kuncoro. Gue cukup tertarik untuk membaca buku beliau yang lainnya.

0 comments:

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang