Qaisra Shahraz
Atta Verin (Terj.)
Mizan – Cet. 1, Mei 2007
406 Hal.
“Seorang perempuan cantik berambut hitam panjang… Yang kutahu adalah aku harus menemuinya lagi dan memohon ampun padanya. Sudah dua puluh tahun aku tidak bertemu dengannya.”
(Perempuan Suci – hal. 340. Mizan, Cet. III – Februari 2007)
Kalimat ini diucapkan Baba Siraj Din, kakek Zarri Bano. Di buku pertama, Perempuan Suci, mungkin pembaca akan bertanya-tanya, apa maksud perkataan Baba Siraj Din. Karena tidak pernah diberi penjelasan lebih lanjut akan arti kalimat itu.
Inilah yang menjadi benang merah antara buku pertama dengan sekuelnya – Perempuan Terlukan. Buku ini bukan tentang kelanjutan kehidupan Zarri Bano, sang Perempuan Suci, tapi kisah lain yang terjadi jauh sebelum Zarri Bano menjadi Perempuan Suci. Kisah tentang sebuah peristiwa yang menyebabkan petaka dan kenangan buruk bagi penduduk desa Chiragpur.
Di suatu malam, seorang perempuan membuntuti suaminya yang mengendap-endap pergi keluar rumah. Betapa terkejutnya Gulshan, nama perempuan itu, ketika mendapati suaminya, Haroon, berada dalam pelukan perempuan lain. Perempuan itu bernama Naghmana, adalah pendatang dari kota yang baru beberapa hari menginjakkan kaki di Desa Chiragpur, bagaimana mungkin suaminya bisa dengan mudah terpikat oleh perempuan itu.
Gulshan pulang dengan hati luka dan bercerita pada ibunya, Hajar, apa yang baru saja ia lihat. Hajar tidak percaya dan berusaha membuktikan sendiri cerita anaknya. Hajar murka ketika mendapati kebenaran kata-kata anaknya.
Begitu Haroon pulang ke rumah, Hajar langsung memakinya dan bukan itu saja, ia juga memaki Naghmana sebagai ‘perempuan nakal perusak rumah tangga’. Hajar menuntut diadakannya sebuah kacheri – pengadilan terbuka untuk menghukum dua orang perusak kedamaian Desa Chiragpur itu.
Kabar burung segera merebak dalam waktu sehari saja. Seluruh penduduk desa, terutama perempuan, yang tidak tahu masalah sebenarnya, langsung menghakimi Naghmana dengan menjelekkan dirinya.
Kacheri pun diadakan, dipimpin oleh Baba Siraj Din selaku orang yang paling dihormati di desa itu. Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Naghmana yang tadinya dianggap sebagai perusak, justru pada akhirnya berbalik menjadi orang yang paling pantas dikasihani dan dikagumi karena kebesaran hatinya. Kacheri itu menghantui kehidupan orang-orang yang terlibat secara langsung atau pun tidak. Semua diliputi rasa bersalah, tidak terkecuali Baba Siraj Din – selaku pemimpun, Hajar – yang begitu membabi buta menuntut akan adanya kacheri, para tukang gosip – Naimat Bibi dan Kulsoom.
Selama dua puluh tahun rasa bersalah itu terus menghantui mereka.
Sampai akhirnya, ketika Baba Siraj Din sedang meregang nyawa, beliau minta agar Naghmana datang ke Desa Chiragpur. Ia ingin minta ma’af pada Naghmana sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Tapi, trauma begitu menghantui Naghmana, mampukah ia kembali ke Desa Chiragpur? Bertemu kembali dengan orang yang sudah menghancurkan hidupnya, bertemu kembali dengan Gulshan dan Haroon?
Sementara itu, dalam dua puluh tahun pula, kehidupan Chaudharani Kaniz berubah. Janda yang selalu bersikap dingin ini menyimpan rahasia besar yang juga menjadi bayang-bayang buruk dalam kehidupannya.
Buku ini berkisah tentang 3 perempuan yang terluka, yang tersakiti karena perbuatan orang lain. Agak lebih bertele-tele dan membosankan dibanding buku pertamanya. Mungkin karena gaya cerita flashback itu kali ya…