All the Bright Places
Knopf 2015
388 hal.
Buku ini.. adalah tipe buku yang
membuat gue pengen ngamuk-ngamuk sama tokoh-tokohnya … karena … si tokoh ini
menyisakan pertanyaan di akhir-akhir cerita… tapi eniwei.. begini ceritanya …
Finch, cowok yang ‘terobsesi’ dengan
kematian. Dia rajin mengumpulkan referensi tentang berbagai cara untuk bunuh
diri. Di sekolah, Finch dikenal sebagai ‘trouble maker’. Dia juga sering jadi
korban ‘bully’. Di rumahnya, Finch memiliki tempat yang ia sebut ‘benteng’, di
mana di tempat itu, Finch bisa mencurahkan segala unek-unek, entah dalam bentuk
tulisan, lagu-lagu, ada hanya potongan kata-kata yang sekilas tak berarti.
Hubungan dengan ayahnya juga tak terlalu mulus. Sejak bercerai, Finch dan
saudari-saudarinya wajib berkunjung ke rumah baru ayah mereka untuk sekedar
makan siang. Karakter Finch juga rumit dan misterius. Suka mengutip
kalimat-kalimat dari buku dan mengeluarkan komentar-komentar sinis. Finch suka
berganti-ganti ‘karakter’ sesuai mood-nya. Bahkan suka menggunakan bahasa
Inggris dengan dialek-dialek tertentu. Setiap minggu, dia harus mengikuti
konseling di sekolah.
Singkat kata, Finch ini rada-rada
bad boy, tapi bukan bad boy populer yang keren dan bikin cewek-cewek meleleh.
Entah apa ya, karakter Finch yang rumit ini, justru juga bikin penasaran. Gue
justru tertarik sama Finch dengan segala pikiran-pikirannya yang suram, tapi
juga unik.
Violet, gadis berusia hampir 18
tahun ini, dulunya termasuk gadis populer di sekolah. Ia pacaran dengan salah
satu cowok terkeren, berteman dengan cewek-cewek populer juga. Tapi, setelah
kakaknya meninggal, Violet dihantui rasa bersalah, dan trauma gak mau naik
mobil lagi. Dia bela-belain pergi ke sekolah naik sepeda atau jalan kaki.
Mereka berdua bertemu di sebuah
menara, Finch sedang merenung, apa yang akan terjadi kalau dia bunuh diri. Sementara
Violet justru memang berniat untuk bunuh diri. Finch-lah yang menyelamatkan Violet,
meskipun yang diberitakan justru sebaliknya.
Melalui tugas sekolah, mereka
semakin dekat. Meskipun Finch tetaplah cowok ‘freak’ yang dengan segala obsesi
tentang bunuh dirinya, dengan segala omongan yang ‘sinis’. Gue berharap Finch
bisa menghilangkan depresi di dalam dirinya dan menghilangkan segala ide konyol
tentang bunuh diri, dan juga berharap Violet bisa kembali bangkit dari rasa
bersalah.
Bahkan Finch dan Violet berhasil
membuat gue penasaran dengan buku Virginia Wolf, sering dijadikan ‘sarana’
komunikasi oleh Finch dan Violet melalui kutipan-kutipan. Lalu, pergi ke
tempat-tempat unik, meninggalkan jejak dan juga kalau lebih jeli, sebuah
petunjuk.
Kenapa gue bilang pengen
ngamuk-ngamuk sama tokohnya … karena gue berharap .. Violet berusaha lebih
keras… tried to convice Finch harder … *gemes*… dan Finch… pengennya … dengan
adanya Violet, bisa lebih terbuka, mau sharing …
Tapi, at the end, gue juga jadi
bertanya-tanya … apakah akan jadi lebih baik, kalau Finch memilih jalan lain?
0 comments:
Post a Comment