Wednesday, September 07, 2016

All the Bright Places


All the Bright Places
Knopf 2015
388 hal.

Buku ini.. adalah tipe buku yang membuat gue pengen ngamuk-ngamuk sama tokoh-tokohnya … karena … si tokoh ini menyisakan pertanyaan di akhir-akhir cerita… tapi eniwei.. begini ceritanya …

Finch, cowok yang ‘terobsesi’ dengan kematian. Dia rajin mengumpulkan referensi tentang berbagai cara untuk bunuh diri. Di sekolah, Finch dikenal sebagai ‘trouble maker’. Dia juga sering jadi korban ‘bully’. Di rumahnya, Finch memiliki tempat yang ia sebut ‘benteng’, di mana di tempat itu, Finch bisa mencurahkan segala unek-unek, entah dalam bentuk tulisan, lagu-lagu, ada hanya potongan kata-kata yang sekilas tak berarti. Hubungan dengan ayahnya juga tak terlalu mulus. Sejak bercerai, Finch dan saudari-saudarinya wajib berkunjung ke rumah baru ayah mereka untuk sekedar makan siang. Karakter Finch juga rumit dan misterius. Suka mengutip kalimat-kalimat dari buku dan mengeluarkan komentar-komentar sinis. Finch suka berganti-ganti ‘karakter’ sesuai mood-nya. Bahkan suka menggunakan bahasa Inggris dengan dialek-dialek tertentu. Setiap minggu, dia harus mengikuti konseling di sekolah.

Singkat kata, Finch ini rada-rada bad boy, tapi bukan bad boy populer yang keren dan bikin cewek-cewek meleleh. Entah apa ya, karakter Finch yang rumit ini, justru juga bikin penasaran. Gue justru tertarik sama Finch dengan segala pikiran-pikirannya yang suram, tapi juga unik.

Violet, gadis berusia hampir 18 tahun ini, dulunya termasuk gadis populer di sekolah. Ia pacaran dengan salah satu cowok terkeren, berteman dengan cewek-cewek populer juga. Tapi, setelah kakaknya meninggal, Violet dihantui rasa bersalah, dan trauma gak mau naik mobil lagi. Dia bela-belain pergi ke sekolah naik sepeda atau jalan kaki.

Mereka berdua bertemu di sebuah menara, Finch sedang merenung, apa yang akan terjadi kalau dia bunuh diri. Sementara Violet justru memang berniat untuk bunuh diri. Finch-lah yang menyelamatkan Violet, meskipun yang diberitakan justru sebaliknya.

Melalui tugas sekolah, mereka semakin dekat. Meskipun Finch tetaplah cowok ‘freak’ yang dengan segala obsesi tentang bunuh dirinya, dengan segala omongan yang ‘sinis’. Gue berharap Finch bisa menghilangkan depresi di dalam dirinya dan menghilangkan segala ide konyol tentang bunuh diri, dan juga berharap Violet bisa kembali bangkit dari rasa bersalah.

Bahkan Finch dan Violet berhasil membuat gue penasaran dengan buku Virginia Wolf, sering dijadikan ‘sarana’ komunikasi oleh Finch dan Violet melalui kutipan-kutipan. Lalu, pergi ke tempat-tempat unik, meninggalkan jejak dan juga kalau lebih jeli, sebuah petunjuk.

Kenapa gue bilang pengen ngamuk-ngamuk sama tokohnya … karena gue berharap .. Violet berusaha lebih keras… tried to convice Finch harder … *gemes*… dan Finch… pengennya … dengan adanya Violet, bisa lebih terbuka, mau sharing …


Tapi, at the end, gue juga jadi bertanya-tanya … apakah akan jadi lebih baik, kalau Finch memilih jalan lain?

0 comments:

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang