Friday, September 16, 2016

A Tale of Two Cities


A Tale of Two Cities
Reinitha Lasmana (Terj.)
Qanita – Maret 2016
496 hal.

Cuplikan cerita via goodreads:

Seandainya hidup memberiku kesempatan, aku akan mengorbankan apa saja untukmu.

Inggris abad 17, Lucie Manette tinggal bersama sang ayah, Dokter Manette, mantan korban kekejaman bangsawan Perancis. Kecantikan dan kebaikan hati Lucie merebut hati Charles Darnay, bangsawan pelarian Perancis. Bak gayung bersambut, Lucie pun tertarik pada Charles. Sydney Carton, yang membantu pelarian Charles sebenarnya juga mencintai Lucie. Namun Sydney memilih memendam perasaannya karena dia sadar, dirinya yang serampangan tak pantas bersanding dengan Lucie.

Revolusi Perancis pecah dan Charles dipanggil pulang ke negaranya untuk menyelamatkan nyawa seorang teman. Tetapi, dia malah dijebloskan ke penjara, bahkan diancam hukuman mati gara-gara dosa masa lalu ayah dan pamannya. Demi Lucie, Dokter Manette melakukan segala upaya untuk membebaskan Charles dari Pisau Guillotine. Namun apakah pengaruh Dokter Manette saja cukup? Di saat-saat kritis, muncul pertolongan dari seseorang yang tak terduga. Pertolongan berlandaskan cinta.

----

Gue gak akan nulisin ringkasan cerita, karena pastinya akan panjang banget karena gue kesulitan memilah-milah inti cerita. Jadi gue ambil saja dari goodreads. Tergoda oleh cover yang cantik, gue nekat beli buku ini. As usual, emosi terpendam bikin ‘asal’ ambil buku. Tapi … ternyata … cukup ‘memuaskan’ untuk gue. Gue menikmati cerita ini sejak awal sampai akhir cerita. Gue bukan penggemar cerita-cerita klasik, karena terkadang gue kesulitan mengartikan kata-kata yang bersayap.

Tak terkecuali dalam buku ini. Inti kisah ini buat gue tetaplah kisah cinta. Antara sepasang manusia yang menderita karena keadaan yang memburuk, kasih sayang seorang ayah kepada anaknya, dan kesetiaan seorang teman hingga rela membahayakan nyawanya sendiri. Tapi yang bikin jadi lebih dramatis adalah latar  belakang revolusi Perancis yang kuat.

Cerita terbagi dalam 3 bagian. Bagian pertama ketika Dr. Manette kembali dalam kehidupan ‘normal’ dan bertemu kembali dengan Lucie, bagian kedua, pertemuan pertama Lucie dan Charles Darnay, dan bagian ketiga, bagian ‘badai’ dalam kehidupan para tokoh.

Bagian ketiga ini adalah bagian yang paling gue suka. Karena buat gue, bagian ini lebih emosional. Dari sisi keluarga Manette, di mana Lucie harus pasrah ketika suaminya ditahan di penjara paling mengerikan di Perancis saat itu, hanya karena dendam kesumat warga Perancis terhadap para petinggi.

Di dalam cerita ini, digambarkan bagaimana para kaum bangsawan berlaku semena-mena terhadap rakyat kecil. Mereka berfoya-foya, hidup dalam kemewahan, sementara rakyat diperlakukan dengan sangat kasar, lebih rendah daripada binatang sekalipun.

Akhirnya rakyat berontak, mereka mulai menyusun kekuatan dan menghabisi para bangsawan. Sebuah senjata mematikan hampir setiap hari memakan korban dan proses ini menjadi tontonan setiap harinya.

Mungkin narasi yang panjang akan menjadi ‘hambatan’ dalam membaca buku ini. Ada aura puitis, tapi juga suram dan menegangkan. Lucie, tokoh yang cantik yang nampaknya mudah bagi siapa pun untuk menyayangi dirinya, lemah lembut, sabar, tabah dan penuh kasih sayang. Mr Lorry dan Miss Pross, gambaran teman-teman yang setia, yang rela membela dan menjaga keselamatan keluarga Manette. Gue dibuat sebal dan merinding sama Madame Defarge, yang demi tujuan revolusi, tanpa tahu latar belakang, berniat ‘menghabisi’ semua yang terkait dengan para bangsawan, entah mereka bersalah atau tidak.

O ya, jangan lupa, tokoh yang kemunculannya mungkin tidak terlalu sering, tapi ternyata memegang peranan penting, yaitu Sydney Carton. Sydney yang juga menyimpan perasaan terhadap Lucie, akan memberikan kejutan di akhir cerita. Cuma nih… gue rada gak demen adegan berurai air matanya Sydney dan Lucie.


Pada akhirnya, A Tale of Two Cities menjadi salah satu buku yang berkesan di antara buku-buku yang gue baca selama tahun 2016 ini.

0 comments:

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang