9 Summers 10 Autumns
(Dari Kota Apel ke The Big Apple)
Iwan Setyawan @ 2011
GPU – Cet. IV, Mei 2011
221 Hal.
(Swap with @myfloya)
Iwan Setyawan, seorang anak dari sebuah desa yang terletak di Batu, Malang, tepatnya di kaki Gunung Panderman. Ia adalah anak seorang supir angkot. Iwan punya dua kakak perempuan dan dua adik perempuan. Kehidupan mereka sangatlah sederhana, kalau gak mau dibilang susah ya. Menjadi anak laki-laki satu-satunya, membuat ia harus mengalah, tak pernah punya kamar tidur sendiri, karena kamar tidur yang ada diperuntukan untuk orang tua dan saudara-saudara perempuannya.
Mereka tak pernah merasakan yang namanya bermain boneka, main sepeda. Kemewahan mereka mungkin hanyalah sebuah televisi yang kerap ‘mengundang’ tetangga mereka untuk menumpang nonton di rumah mereka.
Namun demikian, keluarga sederhana ini adalah keluarga ‘pejuang’. Dengan berbagai daya upaya, orang tua mereka berhasil menyambung hidup dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Dan Iwan bersaudara pun, tak segan-segan untuk mencari kerja kecil-kecilan demi membantu orang tua mereka. Kesederhanaan yang mengajarkan mereka untuk bekerja keras.
Iwan pun berhasil diterima di IPB jurusan Statisik. Dari sinilah, awal mula kesuksesan seorang Iwan Setyawan. Lulus dari IPB, ia bekerja di AC Nielsen, perusahaan yang memberinya kesempatan untuk bekerja di luar negeri, tepatnya di New York City.
Bertahan selama 10 tahun, tapi, kerinduan akan kampung halamannya, terutama kehangatan berada di antara keluarga tercinta, membuat Iwan memilih berhenti dan pulang kembali ke Batu.
Novel ini disajikan dengan bahasa yang puitis dan indah. Iwan seolah bercerita kepada sosok bocah kecil berbaju putih-merah yang misterius. Penggemar Dostoevsky, yang kutipannya menghias beberapa halaman di buku ini.
Tampaknya bukan sebuah tema yang baru mengangkat kehidupan nyata menjadi sebuah novel. Sebut saja Laskar Pelangi (meskipun ini belum baca sih) atau Negeri 5 Menara. Seorang anak ‘kampung’ yang bersusah payah dari kecil, akhirnya mendulang sukses kala dewasa hingga keluar negeri.
Tapi, tetap saja, buku-buku seperti ini masih menarik untuk dibaca karena bentuk penyampaian yang jauh dari kesan membosankan, berlebihan atau sekedar ingin pamer ‘kesuksesan’.
Yang juga menarik perhatian, adalah cover-nya yang bersih dan simple. Berlatar warna putih, dengan dua buah apel merah yang bersanding.
(Dari Kota Apel ke The Big Apple)
Iwan Setyawan @ 2011
GPU – Cet. IV, Mei 2011
221 Hal.
(Swap with @myfloya)
Iwan Setyawan, seorang anak dari sebuah desa yang terletak di Batu, Malang, tepatnya di kaki Gunung Panderman. Ia adalah anak seorang supir angkot. Iwan punya dua kakak perempuan dan dua adik perempuan. Kehidupan mereka sangatlah sederhana, kalau gak mau dibilang susah ya. Menjadi anak laki-laki satu-satunya, membuat ia harus mengalah, tak pernah punya kamar tidur sendiri, karena kamar tidur yang ada diperuntukan untuk orang tua dan saudara-saudara perempuannya.
Mereka tak pernah merasakan yang namanya bermain boneka, main sepeda. Kemewahan mereka mungkin hanyalah sebuah televisi yang kerap ‘mengundang’ tetangga mereka untuk menumpang nonton di rumah mereka.
Namun demikian, keluarga sederhana ini adalah keluarga ‘pejuang’. Dengan berbagai daya upaya, orang tua mereka berhasil menyambung hidup dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Dan Iwan bersaudara pun, tak segan-segan untuk mencari kerja kecil-kecilan demi membantu orang tua mereka. Kesederhanaan yang mengajarkan mereka untuk bekerja keras.
Iwan pun berhasil diterima di IPB jurusan Statisik. Dari sinilah, awal mula kesuksesan seorang Iwan Setyawan. Lulus dari IPB, ia bekerja di AC Nielsen, perusahaan yang memberinya kesempatan untuk bekerja di luar negeri, tepatnya di New York City.
Bertahan selama 10 tahun, tapi, kerinduan akan kampung halamannya, terutama kehangatan berada di antara keluarga tercinta, membuat Iwan memilih berhenti dan pulang kembali ke Batu.
Novel ini disajikan dengan bahasa yang puitis dan indah. Iwan seolah bercerita kepada sosok bocah kecil berbaju putih-merah yang misterius. Penggemar Dostoevsky, yang kutipannya menghias beberapa halaman di buku ini.
"... I told my self, I will not let this happen again. I want to make her a happy mother, a very happy mother. I want to do something for my family. I love them so much."
-- hal. 210
Tampaknya bukan sebuah tema yang baru mengangkat kehidupan nyata menjadi sebuah novel. Sebut saja Laskar Pelangi (meskipun ini belum baca sih) atau Negeri 5 Menara. Seorang anak ‘kampung’ yang bersusah payah dari kecil, akhirnya mendulang sukses kala dewasa hingga keluar negeri.
Tapi, tetap saja, buku-buku seperti ini masih menarik untuk dibaca karena bentuk penyampaian yang jauh dari kesan membosankan, berlebihan atau sekedar ingin pamer ‘kesuksesan’.
Yang juga menarik perhatian, adalah cover-nya yang bersih dan simple. Berlatar warna putih, dengan dua buah apel merah yang bersanding.
10 comments:
Gua ngasih ni buku ke adek gua supaya dia makin rajin berjuang, tapi kayaknya malah teronggok di sudut ruangan tanpa dibaca, hehehe
aku malah kurang suka sama cerita ini, terlalu datar sih.. hehehe
Aku juga tertarik sama buku ini karena covernya.. Tapi belum dibaca.. Wkwkwk..
pengen nyambar ke gramed ikh
@Claude: kalo gak suka sama tipe beginian sih, emang jadi rada ngebosenin
@maya: emang rada datar, dibanding buku sejenis yang pernah aku baca
@annisa: baca dongg... :)
@Neeza: buruan ke gramed :)
pengen baca, secara sama dari malangnya :D
@Penikmat Buku: tetanggaan gak? :D
nahhh ini, pernah dikenalin sama penulisnya, humble bangeeet =D tapi sampe sekarang belum baca bukunya hahaha *maafmasiwan*.
@Astrid: hehehe.. gimana sih? tapi udah punya belum bukunya? :D
aku uah baca buku ini. recommanded banget deh. :D sangat menggugah dan "dalem".
Post a Comment