Bertualang Keliling Dunia Gara-gara Putus Cinta
Franz Wisner @ 2005
Berliani M. Nugrahani (Terj.)
Penerbit Serambi – Cet. II, Desember 2008
485 Hal.
Diputusin pacar kaya’nya udah gak enak banget. Kaya’nya semangat untuk hidup dan beraktivitas lain udah gak ada. Apalagi yang namanya ditinggalin pasangan, calon pendamping, hanya seminggu sebelum hari pernikahan. Kebayang gak, gedung udah ok, catering, dekorasi, undangan udah tersebar dan tinggal menunggu sodara-sodara jauh pada dateng… tau-tau… jeng… jenggggg… si CMP or CMW bilang, “Ma’af, aku gak bisa meneruskan ini semua.” Hah… alesannya? Cuma gak bisa… gak ada penjelasan lain.
Franz Wisner, mengalami hal ini. Harusnya Sea Ranch, sebuah daerah di Pesisir California, jadi saksi ketika mereka mengucapkan sumpah yang sakral itu. Harusnya, kue buatan LaRue, nenek tiri Franz, jadi kue pengantin yang paling indah. Bulan madu ke Kosta Rica juga hanya tinggal kenangan. Annie, ‘mencampakkan’ Franz dengan alasan yang tidak jelas itu.
Beruntung Franz memiliki keluarga, teman-teman yang memberi dukungan. Pesta tetap ada, hanya saja tidak ada mempelai wanitanya. Di Sea Ranch juga, teman-teman Franz menghiburnya. Franz yang tentu saja terpukul, tidak langsung jadi terpuruk dan berlarut-larut dalam kesedihan. Malah ia mengajak adiknya, Kurt, untuk tetap melaksanakan perjalanannya ke Kosta Rika.
Ternyata perjalanan itu memberikan inspirasi positif bagi Franz dan Kurt. Franz yang selama ini tidak terlalu dekat dengan Kurt, merasa inilah saat melakukan sesuatu yang berbeda. Tak hanya kehilangan kekasih, tapi di tempatnya bekerja pun, Franz ‘dicampakkan’ oleh atasannya. Gara-gara ini, rencana ‘gila’ pun disusun. Bersama Kurt, yang juga mengalami masalah rumah tangga, Franz merencakan sebuah ‘bulan madu’ bersama adiknya. Padahal, dia sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menghadapai Kurt yang selama ini tidak terlalu dikenalnya.
Rencana perjalanan segera disusun. Budget segera dihitung – ada dari bonus, ada dari hasil penjualan rumah. Didukung oleh LaRue, mereka pun pergi. Perjalanan mereka pertama menuju ke Eropa Timur. Perjalanan yang tidak selalu mulus, karena di awal saja, mereka sudah harus kehilangan paspor, padahal visa-visa untuk masuk ke negara-negara yang susah sudah diurus dan sudah ok. Kurt, yang lebih santai, selalu punya banyak akal. ‘Kesialan’ kecil di awal tidak menyurutkan langkah mereka.
Di Eropa Timur, mereka berkeliling dengan mobil baru Kurt menuju Rusia, Swedia, Rumania. Di Praha, Franz terlibat hubungan singkat dengan seorang perempuan.
Dari benua Eropa, Franz dan Kurt menuju Asia Tenggara – menuju Indonesia, Thailand, Kamboja, Vietnam. Indonesia… tentu saja mampir ke Bali, tapi, ternyata, buat mereka Bali terlalu ramai – meskipun mereka kagum dengan adu ayam-nya, sampai akhirnya mereka mempersingkat kunjungannya ke Bali dan menyepi ke Lombok dan bertemu sesama backpackers yang ternyata punya ‘dewa’, terus, ke Pulau Komodo demi ngeliat Komodo.
Setelah dari Asia Tenggara, mereka menuju Amerika Utara dan Selatan – Brazil membuat Franz jatuh cinta dan membuatnya ingin berkunjung ke sana sekali lagi.
Perjalanan berakhir di Benua Afrika, yang katanya mereka, merupakan ujian terberat selama perjalanan mereka yang menempuh waktu dua tahun itu. Di sana, semua pelajaran lengkap bisa didapat – tertawa ketika anak-anak kelaparan memeluk kaki mereka, ceria ketika hanya bermain di halaman karena gak ada tv, bahagia bahkan ketika lapar.
Di sela-sela ‘perpindahan’ antar benua, mereka selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Amerika, melihat anjing-anjing Kurt, menengok LaRue yang selalu mereka kirimi kartu pos di setiap persinggahan mereka – LaRue yang menempelkan paku-paku di peta, menandai jejak-jejak Franz dan Kurt.
Perjalanan panjang ini membuat Franz semakin bersyukur dengan apa yang dia miliki, dan belajar merelakan apa yang sudah lepas dari dirinya – terutama yang menyangkut soal Annie. Bergaul dengan penduduk setempat dan bernegosiasi sendiri dengan petugas travel, hotel, mereka pun jadi gak percaya dengan yang namanya Lonely Planet. Foto Franz dengan George W. Bush jadi jimat mereka untuk lolos dari dari polisi yang reseh. Banyak hal yang serius, tapi juga kocak. Misalnya saat Franz cerita tentang supir taksi yang paling menyebalkan. Perjalanan panjang mereka ini akhirnya menarik minat koran-koran di Amerika, sehingga Franz pun jad ‘wartawan travel’ dadakan.
Buku-buku traveling begini selalu membuat gue iri, selalu membuat gue bertanya-tanya, kapan gue bisa jalan-jalan, gak usah keliling dunia, tapi keliling Indonesia dulu aja deh… Karena ini cerita perjalanan a la backpacker, tempat-tempat yang didatangi mereka jadinya unik-unik, bukan apa yang ada di brosur biro travel, tapi justru dari rekomendasi teman-teman atau malah penduduk setempat.
Gue ikut ‘terpukau’ dengan perjalanan mereka. Bahkan ikutan ngerasa capek ketika mendekati akhir perjalanan. Serasa pengen cepet-cepet sampai rumah, tapi masih belum mau liburan berakhir. Jarang-jarang, gue bisa suka sama buku non-fiksi seperti ini. Kemasan cerita jalan-jalan bikin menarik. ‘Pelajaran’ didapat dengan cara-cara yang gak terlalu serius, tapi tetap ‘dalam’.