Anne of Green Gables
Lucy M. Montgomery
Maria M. Lubis (Terj.)
Qanita, Cet. 2 - 2008
516 Hal.
Hampir gak pernah, gue mau baca buku-buku klasik kaya’ gini. Soalnya, takut… bahasanya ngebosenin, ceritanya yang ribet dan jadi gak menarik untuk dibaca. Buku Anne of Green Gables edisi Bahasa Inggris, udah lama banget ‘mengendon’ di dalam lemari buku gue. Mungkin ada kali hampir 10 tahun, nyaris terlupakan. Untungnya buku ini gratisan (upss… dari my mantan.. hehehe..) Lahh.. koq jadi curhat.
Buku edisi bahasa Indonesia ini, gue beli dengan rasa ketertarikan yang beda. Koq, tiba-tiba gue pengen tau, siapa sih si Anne ini? Koq sampai demikian ngetop-nya dia di dunia ‘perbukuan’. Huh… gue aja nih yang ternyata ketinggalan jaman banget.
Anne Shirley, begitu nama lengkapnya, hadir dalam kehidupan Matthew dan Marilla Cuthbert – pasangan kakak beradik yang tinggal di Green Gables, Avonlea – karena ketidaksengajaan. Pasangan yang ‘kaku’ ini tadinya berniat mencari anak yatim piatu laki-laki untuk membantu mereka bekerja. Tapi, entah kenapa, ada sebuah kesalahpahaman. Ketika Matthew menjemput anak yang dijanjikan di stasiun, yang ia temukan bukanlah anak laki-laki, melainkan anak perempuan berambut merah, berwajah bintik-bintik dengan baju yang kekecilan.
Matthew Cuthbert, yang pendiam dan pemalu, tidak terbiasa menghadapi perempuan – selain Marilla tentunya – terkejut dengan keberadaan Anne. Anne, bisa dibilang, anak yang unik. Satu halaman bisa penuh dengan percakapannya sendiri. Topik pembicaraannya juga bukan hal yang biasa, tapi penuh imajinasi – seperti yang diakui sendiri oleh Anne.
Matthew sendiri makin bingung, apa yang harus ia sampaikan pada Marilla. Marilla sempat ingin mengembalikan Anne ke Panti Asuhan. Tapi, meskipun Anne anak yang cerewet, banyak omong, ternyata, mampu memikat hati Marilla. Anne nyaris ‘hancur’, ketika ia tahu ia akan dikembalikan ke panti asuhan.
Kenakalan, imajinasi Anne yang katanya romantis… menggetarkan, sering membuat Marilla menilai Anne tidak bersikap semestinya sebagai anak perempuan. Tapi, itulah yang sebenarnya kelebihan Anne. Sifat jelek Anne, adalah saking asyiknya dia melamun, berkhayal, Anne suka lupa dengan pekerjaannya. Anne juga terkadang temperamental, gampang marah, apalagi kalau sudah menyinggung rambut merahnya.
Belum lagi kegemarannya memberi nama pada tempat-tempat yang menurut Anne begitu menggetarkan dan romantis – sebut saja Kanopi Kekasih, Buih-Buih Dryad, Ratu Salju, Danau Air Riak Berkilau. Lalu, peristiwa-peristiwa menghebohkan yang bikin semua orang yang tadinya kesal, malah tertawa – seperti bikin kue pakai minyak angin, jalan di atas genteng, hampir tenggelam. Tapi, tetap, Anne ternyata anak yang berprestasi.
Gak hanya teman-teman sebayanya yang jatuh hati pada Anne, orang dewasa pun, yang sempat sebal sama Anne, bisa luluh karena sikap Anne yang polos. Ia gak akan segan minta ma’af, meskipun awalnya gengsi setengah mati.
Buku ini jadi ceria, gue pun tersenyum-senyum dalam hati, membaca betapa ‘ribut’nya Anne. Kepolosan tapi, sebenarnya menunjukkan kedewasaan yang mungkin belum pada waktunya. Tapi, rasa sayangnya pada Marilla mampu mengalahkan keinginan Anne untuk meraih mimpinya. Toh, ia yakin, di setiap belokan, mungkin ada satu kejutan lain yang menyenangkan.
Di buku ini, dikisahkan masa empat tahun Anne tinggal di Green Gables. Masa sekolah Anne yang ceria, persaingan di antara teman-temannya, persahabatannya dengan Diana Barry, cerita tentang semua teman sejiwanya, sampai diam-diam jatuh cinta sama saingannya sendiri.
Ternyata buku ini asyik banget dibacanya. Sambil baca, gue ngebayangin setting-nya, di padang rumput a la Laura Ingalls. Begitu ‘menggetarkan’…. ‘romantis’….. Apa jadinya seseorang tanpa imajinasi? Gue pun jatuh cinta sama Anne Shirley…
Lucy M. Montgomery
Maria M. Lubis (Terj.)
Qanita, Cet. 2 - 2008
516 Hal.
Hampir gak pernah, gue mau baca buku-buku klasik kaya’ gini. Soalnya, takut… bahasanya ngebosenin, ceritanya yang ribet dan jadi gak menarik untuk dibaca. Buku Anne of Green Gables edisi Bahasa Inggris, udah lama banget ‘mengendon’ di dalam lemari buku gue. Mungkin ada kali hampir 10 tahun, nyaris terlupakan. Untungnya buku ini gratisan (upss… dari my mantan.. hehehe..) Lahh.. koq jadi curhat.
Buku edisi bahasa Indonesia ini, gue beli dengan rasa ketertarikan yang beda. Koq, tiba-tiba gue pengen tau, siapa sih si Anne ini? Koq sampai demikian ngetop-nya dia di dunia ‘perbukuan’. Huh… gue aja nih yang ternyata ketinggalan jaman banget.
Anne Shirley, begitu nama lengkapnya, hadir dalam kehidupan Matthew dan Marilla Cuthbert – pasangan kakak beradik yang tinggal di Green Gables, Avonlea – karena ketidaksengajaan. Pasangan yang ‘kaku’ ini tadinya berniat mencari anak yatim piatu laki-laki untuk membantu mereka bekerja. Tapi, entah kenapa, ada sebuah kesalahpahaman. Ketika Matthew menjemput anak yang dijanjikan di stasiun, yang ia temukan bukanlah anak laki-laki, melainkan anak perempuan berambut merah, berwajah bintik-bintik dengan baju yang kekecilan.
Matthew Cuthbert, yang pendiam dan pemalu, tidak terbiasa menghadapi perempuan – selain Marilla tentunya – terkejut dengan keberadaan Anne. Anne, bisa dibilang, anak yang unik. Satu halaman bisa penuh dengan percakapannya sendiri. Topik pembicaraannya juga bukan hal yang biasa, tapi penuh imajinasi – seperti yang diakui sendiri oleh Anne.
Matthew sendiri makin bingung, apa yang harus ia sampaikan pada Marilla. Marilla sempat ingin mengembalikan Anne ke Panti Asuhan. Tapi, meskipun Anne anak yang cerewet, banyak omong, ternyata, mampu memikat hati Marilla. Anne nyaris ‘hancur’, ketika ia tahu ia akan dikembalikan ke panti asuhan.
Kenakalan, imajinasi Anne yang katanya romantis… menggetarkan, sering membuat Marilla menilai Anne tidak bersikap semestinya sebagai anak perempuan. Tapi, itulah yang sebenarnya kelebihan Anne. Sifat jelek Anne, adalah saking asyiknya dia melamun, berkhayal, Anne suka lupa dengan pekerjaannya. Anne juga terkadang temperamental, gampang marah, apalagi kalau sudah menyinggung rambut merahnya.
Belum lagi kegemarannya memberi nama pada tempat-tempat yang menurut Anne begitu menggetarkan dan romantis – sebut saja Kanopi Kekasih, Buih-Buih Dryad, Ratu Salju, Danau Air Riak Berkilau. Lalu, peristiwa-peristiwa menghebohkan yang bikin semua orang yang tadinya kesal, malah tertawa – seperti bikin kue pakai minyak angin, jalan di atas genteng, hampir tenggelam. Tapi, tetap, Anne ternyata anak yang berprestasi.
Gak hanya teman-teman sebayanya yang jatuh hati pada Anne, orang dewasa pun, yang sempat sebal sama Anne, bisa luluh karena sikap Anne yang polos. Ia gak akan segan minta ma’af, meskipun awalnya gengsi setengah mati.
Buku ini jadi ceria, gue pun tersenyum-senyum dalam hati, membaca betapa ‘ribut’nya Anne. Kepolosan tapi, sebenarnya menunjukkan kedewasaan yang mungkin belum pada waktunya. Tapi, rasa sayangnya pada Marilla mampu mengalahkan keinginan Anne untuk meraih mimpinya. Toh, ia yakin, di setiap belokan, mungkin ada satu kejutan lain yang menyenangkan.
Di buku ini, dikisahkan masa empat tahun Anne tinggal di Green Gables. Masa sekolah Anne yang ceria, persaingan di antara teman-temannya, persahabatannya dengan Diana Barry, cerita tentang semua teman sejiwanya, sampai diam-diam jatuh cinta sama saingannya sendiri.
Ternyata buku ini asyik banget dibacanya. Sambil baca, gue ngebayangin setting-nya, di padang rumput a la Laura Ingalls. Begitu ‘menggetarkan’…. ‘romantis’….. Apa jadinya seseorang tanpa imajinasi? Gue pun jatuh cinta sama Anne Shirley…