Beauty for Killing
Fradhyt Fahrenheit
FoUmediapublisher, Januari 2008
364 Hal.
5 sahabat – Vennita, Chantika, Debby, Kiyara dan Brando – masih berduka karena kematian sahabat mereka, Mae. Ditambah lagi, hubungan mereka kini merenggang gara-gara masalah percintaan. Mereka mencintai laki-laki yang sama, yang ternyata lebih memilih Kiyara untuk dijadikan pasangan hidupnya (Cerita ini ada di buku sebelumnya dengan judul 'Beauty for Sale').
Jadilah mereka berlima untuk sementara waktu menjalani ‘gencatan senjata’ untuk menjernihkan suasana. Mereka menyebar ke seluruh pelosok dunia, mulai dari Barcelona, Singapura, Bali, New York. Mereka yang masih lajang ini berkutat dengan masalah masing-masing – masalah kesendirian kesepian dan juga masalah pribadi mereka.
Vennita misalnya, rela mengeluarkan uang milyaran rupiah demi ‘mempermak’ eks pembantu di kantornya untuk jadi wanita berkelas dengan tujuan menjebak ayahnya yang gemar main perempuan.
Lalu, Brando, yang seorang gay, dikejar-kejar seorang pria yang terobsesi pada dirinya. Hingga nyari membuat karirnya hancur.
Mereka disatukan kembali ketika Vennita menghilang. Vennita diduga diculik oleh orang-orang yang ingin menghancurkan keluarganya. Misteri hilangnya Vennita menjadi bumbu yang membuat novel ini punya sedikit sentuhan (atau hanya sebagai ‘bumbu’?). Bukan apa-apa… karena tanpa hal itu, novel ini hanya jadi novel metropop, chicklit atau roman biasa yang menunjukkan gaya hidup kelas atas para perempuan dan laki-laki single.
Sejak halaman pertama sampai akhir, pembaca ‘dibombardir’ dengan berbagai macam merk ternama, mulai dari produk fashion, handphone, club-club dan restoran. Waduh… kalo gak pernah baca majalah fashion atau gak gaul, dijamin bakal terbengong-bengong dengan sederetan nama-nama kaya’ Prada, LV, Vera Wang, lalu café dan club di segala penjuru dunia. Belum lagi, handphone Vertu (or whatever) yang bertahtahkan berlian dan berlapis kulit domba muda (Hah.. silahkan bayangin sendiri!)
Di novel ini, setiap tokohnya digambarkan hari itu dia pakai baju apa, sepatu apa, parfumnya, tas dan segala macam aksesoris lainnya, belum lagi hari itu dia ada di mana, makan di resto apa dan apa yang dia makan and minum juga ditulis sedetail-detailnya. Silahkan sebut gue norak or sinis… tapi, itulah yang digambarkan, bisa bikin mulut ternganga dengan segala macam kemewahan, keekslusifan dan ‘ke-jor-jor-an’ para tokoh.
Yang paling heboh lagi, ‘penggambaran’ adegan-adegan yang amat sangat 17 tahun ke atas dengan kata-kata yang cukup vulgar. Bikin novel ini hanya sekedar pamer pengetahuan fashion dan ‘sex’.
Fradhyt Fahrenheit
FoUmediapublisher, Januari 2008
364 Hal.
5 sahabat – Vennita, Chantika, Debby, Kiyara dan Brando – masih berduka karena kematian sahabat mereka, Mae. Ditambah lagi, hubungan mereka kini merenggang gara-gara masalah percintaan. Mereka mencintai laki-laki yang sama, yang ternyata lebih memilih Kiyara untuk dijadikan pasangan hidupnya (Cerita ini ada di buku sebelumnya dengan judul 'Beauty for Sale').
Jadilah mereka berlima untuk sementara waktu menjalani ‘gencatan senjata’ untuk menjernihkan suasana. Mereka menyebar ke seluruh pelosok dunia, mulai dari Barcelona, Singapura, Bali, New York. Mereka yang masih lajang ini berkutat dengan masalah masing-masing – masalah kesendirian kesepian dan juga masalah pribadi mereka.
Vennita misalnya, rela mengeluarkan uang milyaran rupiah demi ‘mempermak’ eks pembantu di kantornya untuk jadi wanita berkelas dengan tujuan menjebak ayahnya yang gemar main perempuan.
Lalu, Brando, yang seorang gay, dikejar-kejar seorang pria yang terobsesi pada dirinya. Hingga nyari membuat karirnya hancur.
Mereka disatukan kembali ketika Vennita menghilang. Vennita diduga diculik oleh orang-orang yang ingin menghancurkan keluarganya. Misteri hilangnya Vennita menjadi bumbu yang membuat novel ini punya sedikit sentuhan (atau hanya sebagai ‘bumbu’?). Bukan apa-apa… karena tanpa hal itu, novel ini hanya jadi novel metropop, chicklit atau roman biasa yang menunjukkan gaya hidup kelas atas para perempuan dan laki-laki single.
Sejak halaman pertama sampai akhir, pembaca ‘dibombardir’ dengan berbagai macam merk ternama, mulai dari produk fashion, handphone, club-club dan restoran. Waduh… kalo gak pernah baca majalah fashion atau gak gaul, dijamin bakal terbengong-bengong dengan sederetan nama-nama kaya’ Prada, LV, Vera Wang, lalu café dan club di segala penjuru dunia. Belum lagi, handphone Vertu (or whatever) yang bertahtahkan berlian dan berlapis kulit domba muda (Hah.. silahkan bayangin sendiri!)
Di novel ini, setiap tokohnya digambarkan hari itu dia pakai baju apa, sepatu apa, parfumnya, tas dan segala macam aksesoris lainnya, belum lagi hari itu dia ada di mana, makan di resto apa dan apa yang dia makan and minum juga ditulis sedetail-detailnya. Silahkan sebut gue norak or sinis… tapi, itulah yang digambarkan, bisa bikin mulut ternganga dengan segala macam kemewahan, keekslusifan dan ‘ke-jor-jor-an’ para tokoh.
Yang paling heboh lagi, ‘penggambaran’ adegan-adegan yang amat sangat 17 tahun ke atas dengan kata-kata yang cukup vulgar. Bikin novel ini hanya sekedar pamer pengetahuan fashion dan ‘sex’.
Dan, ending cerita bener-bener menggambarkan, betapa kekayaan bisa bikin orang depresi sampai akhirnya nyari cara yang ajaib untuk menghabiskan uang dan menghibur diri sendiri.
Minus lainnya, selain cerita yang buat gue rada berlebihan adalah tulisan-tulisan yang sering tumpang-tindih.
0 comments:
Post a Comment