Thursday, May 03, 2007

Nagabonar (Jadi) 2

Nagabonar (Jadi) 2
Akmal Nasery Basral
Akoer, Cet. 1 – April 2007
241 Hal.

Siapa yang tak kenal Jendral Nagabonar? Seorang mantan pencopet yang jadi pejuang di masa penjajah Belanda. Kini, beliau tidak lagi mencopet, Nagabonar sudah tua. Mak, Kirana – istrinya dan Bujang, sahabatnya, sudah meninggal. Tinggal Nagabonar sendiri mengurus perkebunan kelapa sawitnya. Anak satu-satunya, Bonaga, merantau – jadi pengusaha di Jakarta. Hebat kan? Mantan pencopet, jadi jendral, punya kebun kelapa sawit, bisa menyekolahkan Bonaga ke Inggris sampai akhirnya Bonaga jadi pengusaha sukses.

Alkisah, Nagabonar sedang berpamitan di kuburan Mak, Kirana dan Bujang. Bonaga akan segera menjemputnya untuk ikut ke Jakarta, meninjau proyek baru Bonaga. Kocak banget dialog di kuburan ini. Meskipun berat meninggal kuburan orang-orang yang ia sayangi, tapi, sesekali terselip kata-kata kocak… apalagi ketika Nagabonar meninggalkan pesan-pesan pada Bujang.

Di Jakarta, Nagabonar terkejut-kejut dengan segala kondisi yang berbeda dengan kampung halamannya. Belum lagi melihat rumah Bonaga yang mewah itu. Gaya Nagabonar yang cuek bisa mencairkan kekakuan di rumah itu.

Tapi, Nagabonar lebih terkejut lagi dengan rencana Bonaga. Sebuah investor dari Jepang berminat membangun resort yang kebetulan letaknya adalah di kebun kelapa sawit milik Nagabonar. Bukan itu saja, ada kemungkinan proyek itu akan menggusur kuburan Mak, Kirana dan Bujang. Tentu saja, Nagabonar marah besar dan langsung meninggalkan kantor Bonaga.

Seharian Nagabonar pergi keliling Jakarta tak tentu mau kemana dengan bajaj. Semua supir bajaj bingung dibuatnya. Sampai akhirnya, ada satu supir bajaj bernama Umar yang kebetulan tinggal di kampung di belakang rumah Bonaga. Itulah awal persahabatan Nagabonar dengan Umar yang kemudian dengan setia melayani keinginan Nagabonar untuk melihat patung-patung para pejuang kemerdekaan.

Selain masalah proyek ini, ada satu hal lagi yang menjadi pertanyaan Nagabonar, yaitu, kenapa Bonaga belum juga punya calon istri. Ada satu perempuan yang selalu dekat dengan Bonaga, namanya Monita. Tapi, entah kenapa, Bonaga masih malu-malu untuk menyatakan cintanya pada Monita. Sampai akhirnya, Nagabonar pun harus turung tangan. Ternyata, biar sudah melanglang jauh sampai ke Inggris, untuk urusan cinta, Bonaga masih maju-mundur. Wahhh.. Apa kata dunia?!”

Jika kita nonton filmnya, kita disuguhkan, “Ini lho… kehidupan Nagabonar dan Bonaga.” Kita jadi pihak ketiga yang menonton kehidupan mereka. Tapi, dalam novel ini, Nagabonar-lah yang bertutur. Nagabonar yang bercerita. Sehingga, kita lihat, ada adegan-adegan di film di mana Nagabonar tidak terlibat, tidak aka nada dalam buku ini. Sebaliknya, banyak adegan yang di film terlalu singkat, di dalam buku ini, akan diceritakan lebih mendalam, seperti ketika Nagabonar bercerita tentang kisah perjuangan kepadaTulus, anak Umar si tukang bajaj. Lewat novel ini, pembaca mungkin lebih bisa memahami perasaan Nagabonar, karena semua yang dia rasakan benar-benar ‘tercurah’ dalam novel ini.

Mungkin ini adalah novel yang diadaptasi dari scenario film terbaik yang pernah gue baca. Antara film dan novel saling melengkap, tidak tumpang tindih, atau hanya sekedar memindahkan layar bioskop dalam bentuk tulisan.




(covernya ada dua macam, yang gambarnya Deddy Mizwar, atau yang Tora Sudiro. Sebenernya gue punya yang covernya Tora Sudiro. Cuma udah browsing, ketemunya yang gambarnya Deddy Mizwar. Jadi itulah yang gue pajang di sini.)

3 comments:

Duma said...

cepat nih tayangnya.... ^.^

ferina said...

kebetulan aja lagi cepet bacanya, Bo

Duma said...

ayo lanjutkan si 3 sekawan wright ^.^

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang