One Amazing Thing
Chitra Banerjee Divakaruni @ 2009
Sujatrini Liza (Terj.)
Qanita – Cet. 1, Juni 2011
422 hal.
Kantor permohonan visa ke India terasa begitu membosankan. Petugas yang acuh tak acuh, cuek dengan para pemohon yang antri. Salah satu di antara pemohon visa itu adalah Uma. Meskipun ia orang India, tapi belum pernah sekali pun ia menginjakkan kaki di tanah airnya itu. Tujuannya ke India, adalah untuk berkunjung, bertemu dengan orang tuanya yang menghabiskan masa pensiun di kampung halamannya. Sejak pagi, ia sudah tiba di sana. Semua tampak tenang, sibuk dengan pikiran masing-masing, mengusir kebosanan dengan caranya sendiri.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh. Gempa bumi. Sembilan orang terjebak di dalam kantor itu. Cameron, salah satunya, sebagai mantan prajurit, ia cepat tanggap dengan situasi yang genting. Meskipun sikapnya ini tidak disukai oleh Thariq, pemuda berjenggot keturunan Pakistan, yang memandang sinis orang-orang Amerika, sebagai balasan atas sikap orang Amerika sendiri terhadap kaum Muslim.
Dengan sigap, Cameron memeriksa kerusakan yang terjadi, membantu orang-orang yang cedera, memeriksa cadangan air dan membagi makanan dengan sama rata. Di tengah kegelapan dan bahaya karena sewaktu-waktu langit-langit bisa runtuh.
Untuk mengusir rasa takut, sepi dan ketidakpastian, Uma mengusulkan agar mereka saling berbagi satu kisah yang sangat berarti dalam hidup mereka. Awalnya usul ini ditolak, khawatir akan membuang oksigen dengan sia-sia.
Tapi, Nenek Jiang memberanikan diri untuk menjadi yang pertama menuturkan ceritanya. Dan sambil berharap-harap cemas akan bantuan yang tak kunjung datang, persediaan makanan dan air yang menipis, akhirnya, semua pun bercerita satu kisah yang membuat hidup mereka berubah dan membawa mereka ada dii kantor permohonan visa.
Semua kisah memang ‘menakjubkan’ dan punya arti sendiri-sendiri bagi si penutur, yang pada akhirnya memberi pengaruh pada orang-orang di sekitar yang baru dikenal saat terjadi bencana itu.
Kisah favorit gue, adalah ceritanya Malathi, perempuan petugas di kantor permohonan visa itu. Salon pink yang digambarkan dalam bayangan gue jadi benar-benar genit dan wangi. Penuh dengan gosip para pelanggan dan pekerja salon yang tekun tapi diam-diam ikut menguping.
Chitra Banerjee Divakaruni adalah salah satu penulis favorit gue sejak pertama baca The Mistress of Spices, dan entah kenapa, gue lebih bisa menikmati tulisan-tulisan penulis dari India, ketimbang penulis-penulis Jepang. Rasanya tulisan mereka lebih ‘dekat’ dengan kehidupan sehari-hari, lebih nyata.
Chitra Banerjee Divakaruni @ 2009
Sujatrini Liza (Terj.)
Qanita – Cet. 1, Juni 2011
422 hal.
Kantor permohonan visa ke India terasa begitu membosankan. Petugas yang acuh tak acuh, cuek dengan para pemohon yang antri. Salah satu di antara pemohon visa itu adalah Uma. Meskipun ia orang India, tapi belum pernah sekali pun ia menginjakkan kaki di tanah airnya itu. Tujuannya ke India, adalah untuk berkunjung, bertemu dengan orang tuanya yang menghabiskan masa pensiun di kampung halamannya. Sejak pagi, ia sudah tiba di sana. Semua tampak tenang, sibuk dengan pikiran masing-masing, mengusir kebosanan dengan caranya sendiri.
Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh. Gempa bumi. Sembilan orang terjebak di dalam kantor itu. Cameron, salah satunya, sebagai mantan prajurit, ia cepat tanggap dengan situasi yang genting. Meskipun sikapnya ini tidak disukai oleh Thariq, pemuda berjenggot keturunan Pakistan, yang memandang sinis orang-orang Amerika, sebagai balasan atas sikap orang Amerika sendiri terhadap kaum Muslim.
Dengan sigap, Cameron memeriksa kerusakan yang terjadi, membantu orang-orang yang cedera, memeriksa cadangan air dan membagi makanan dengan sama rata. Di tengah kegelapan dan bahaya karena sewaktu-waktu langit-langit bisa runtuh.
Untuk mengusir rasa takut, sepi dan ketidakpastian, Uma mengusulkan agar mereka saling berbagi satu kisah yang sangat berarti dalam hidup mereka. Awalnya usul ini ditolak, khawatir akan membuang oksigen dengan sia-sia.
Tapi, Nenek Jiang memberanikan diri untuk menjadi yang pertama menuturkan ceritanya. Dan sambil berharap-harap cemas akan bantuan yang tak kunjung datang, persediaan makanan dan air yang menipis, akhirnya, semua pun bercerita satu kisah yang membuat hidup mereka berubah dan membawa mereka ada dii kantor permohonan visa.
Semua kisah memang ‘menakjubkan’ dan punya arti sendiri-sendiri bagi si penutur, yang pada akhirnya memberi pengaruh pada orang-orang di sekitar yang baru dikenal saat terjadi bencana itu.
Kisah favorit gue, adalah ceritanya Malathi, perempuan petugas di kantor permohonan visa itu. Salon pink yang digambarkan dalam bayangan gue jadi benar-benar genit dan wangi. Penuh dengan gosip para pelanggan dan pekerja salon yang tekun tapi diam-diam ikut menguping.
Chitra Banerjee Divakaruni adalah salah satu penulis favorit gue sejak pertama baca The Mistress of Spices, dan entah kenapa, gue lebih bisa menikmati tulisan-tulisan penulis dari India, ketimbang penulis-penulis Jepang. Rasanya tulisan mereka lebih ‘dekat’ dengan kehidupan sehari-hari, lebih nyata.
4 comments:
ooh ini berupa novel gitu ya mbak ? saya kira semacam chicken soup gitu :P
"dan entah kenapa, gue lebih bisa menikmati tulisan-tulisan penulis dari India, ketimbang penulis-penulis Jepang. Rasanya tulisan mereka lebih ‘dekat’ dengan kehidupan sehari-hari, lebih nyata"
Setuju banget. Kadang penulis Jepang daya khayalnya terlalu tinggi.
sama...penulis india/karya ttg india somehow detil budayanya kuat bgt dan bisa bikin aku sendiri melihat warna2,mencium aroma2 khas india. dan efeknya jadi lebih menghargai yg namanya kebudayaan sih,lebih ngerti uniknya gimana-gimana gitu. XD
@Nophie: idem, penulis india (yang aku baca), pasti gak lupa masukin makanan2 india.
kalo orang bilang, India itu negara yang paling gak banget untuk didatengin, aku malah pengen semoga someday aku bisa ke sana
Post a Comment