Wednesday, November 18, 2009

The Men’s Guide to the Women’s Bathroom

The Men’s Guide to the Women’s Bathroom
(Tak Ada Rahasia di Dalam Kamar Mandi)

Jo Barrett @ 2008
Widyawati Octavia (Ed..)
GagasMedia – Cet. I, 2009
382 Hal.

Setelah bercerai dengan suaminya, Claire St. John, meninggalkan pekerjaannya sebagai pengacara di New York, kembali ke kampung halamannya di Austin, Texas. Claire mencari segala cara untuk menghapus luka di hatinya dan melupakan mantan suaminya.

Ternyata, untuk mendapatkan sebuah nasihat terbaik, entah itu, hanya mencuri dengar atau berbicara secara langsung dengan orang lain, bisa didapatkan di dalam kamar mandi. Segala macam hal bisa didapatkan di kamar mandi, pengalaman, curhatan, atau sekedar memperhatikan tipe-tipe perempuan hanya dari lipstick yang dia pakai, busananya, dan lain-lain.

Nah, dari sinilah, Claire mendapatkan ide untuk menulis sebuah ‘buku panduan’, bukan tipe buku panduan yang serius, tapi, rasa-rasanya akan berguna buat para cowok biar lebih ‘mengerti’ dunia kaum perempuan.

Banyak yang meragukan keputusan Claire untuk jadi penulis, terutama ibunya. Tapi, Claire tetap dengan keputusannya. Teman-temannya, seperti Aaron, Leslie, Heather atau Laura, secara langsung atau pun tidak, ikut memberi kontribusi dalam penulisan guidance itu.

Claire pun menata ulang kembali hidupnya dengan menjalin hubungan dengan pria lain. Hubungan ini nyaris kandas, gara-gara ulah Claire di kamar mandi.

Hmmm… coba perhatiin, deh (khususnya untuk para cowok), cewek-cewek emang seneng pergi ke kamar mandi bareng-bareng. Mungkin lebih nyaman kali ya, kalau ada orang lain yang dikenal di tengah-tengah orang asing. Gue jadi inget waktu jaman-jaman sekolah dulu, kalo lagi jam pelajaran mau ke kamar mandi, pasti ngajak temen… ya, secara kamar mandinya juga agak-agak spooky gitu.

Tapi, di kamar mandi… bener seperti kata Claire, kita bisa melakukan, menemukan apa aja. Bisa curhat, bisa nge-gosip, atau sekedar merenung sendirian… atau ‘melarikan diri’ sejenak seperti Laura – baca majalah, nyelesain novel yang ending-nya bikin penasaran.

Untuk bukunya sendiri, ditulis (diterjemahkan) dengan bahasa yang santai… yak has Chicklit. Untuk isinya sendiri… hmmm.. so-so lah… lumayan deh, buat selingan. Awal gue memutuskan untuk membeli buku ini, karena judulnya. Tadinya, gue pikir ini buku non-fiksi. Dan, buku ini juga sempat ‘terlantar’ selama beberapa waktu.

Monday, November 16, 2009

All Those Things We Never Said

All Those Things We Never Said (Toules ces qu’on ne c’est pas dites)
Marc Levy @ 2008
World ++ Translation Service (Terj.)
Penerbit Bentang, Cet. I – July 2009
360 Hal.

Hubungan Julia Walsh dengan ayahnya, Anthony Walsh, memang tidak begitu baik. Sejak kecil, Julia selalu menunggu ayahnya yang kerap sibuk dengan pekerjaannya, sering bepergian ke luar negeri, atau kalau pun mereka berlibur bersama, Anthony sibuk dengan telepon bisnisnya. Hingga, Julia akan menikah, mereka jarang sekali berhubungan. Julia hanya mengirim undangan pernikahannya via pos, tidak meminta ayahnya untuk hadir secara langsung.

Tapi, menjelang detik-detik akhir Hari H pernikahan Julia dan Adam, justru Anthony ‘mengacaukan’ segalanya, hingga Julia dan Adam terpaksa menunda pernikahan mereka. Kenapa? Karena tepat di hari Julia seharusnya menikah, ia justru harus memakamkan ayahnya.

Belum hilang rasa terkejut Julia, meskipun ia tidak terlalu merasa kehilangan mengingat hubungan mereka yang tidak terlalu baik, ia mendapatkan sebuah paket yang isinya sangat aneh – sebuah android, robot ‘manusia’, yang ‘mengambil’ bentuk ayahnya. Lewat robotnya, Anthony mencoba memperbaiki kesalahan-kesalahannya di masa lalu.

Julia yang keras kepala tidak begitu saja menerima kehadiran android itu, apalagi ketika ‘Anthony’ mengaku sudah ‘mensabotase’ kehidupan masa lalu Julia, cinta pertama Julia dengan seorang komunis asal Jerman.

Julia pun melakukan ‘napak tilas’, menghilang dari tunangannya – karena gak mungkin dong, dia bilang pergi sama ‘ayahnya’? Mulai dari Montreal, sampai ke Jerman. Mencari sosok pria yang ternyata belum sepenuhnya bisa ia hilangkan dari benaknya.

Aneh juga kali ya, tiba-tiba dapet kiriman dalam bentuk orang yang kita tahu udah meninggal. Tapi, gue lebih milih seandainya ceritanya benar-benar tentang ‘ayah dan anak’. Di sini, kaya’nya lebih ke Julia yang mencari cinta pertamanya, dilatarbelakangi sama runtuhnya Tembok Berlin, waktu Julia remaja yang lagi seneng-senengnya memberontak nekat pergi ke perbatasan bareng teman-temannya. Di tengah-tengah peristiwa itulah, Julia bertemu dengan Thomas. Thomas yang idealis

Banyak adegan ‘selisipan’ jalan yang bikin gemes. Sedikit menyisakan ‘pertanyaan’ di akhir cerita. Bukan cerita favorit gue, tapi, rasanya gue ikut ‘tersentuh’ sama usaha Anthony untuk membuat Julia bahagia dan mendapatkan ‘ma’af’ dari Julia di enam hari ‘terakhir’ kebersamaan mereka.

Buku Marc Levy lain yang pernah gue baca adalah If Only It were True, ada hubungannya sama orang yang udah meninggal juga, or at least ‘in between’… apakah buku-bukunya yang lain juga bertema sama, ya?

Monday, November 09, 2009

Feel: What I Want in Life

Feel: What I Want in Life
Wulan Guritno & Adilla Dimitri @ 2009
Penerbit Edelweiss – Cet. I, Oktober 2009
244 Hal.

Gue menemukan buku ini ketika lagi ‘kehabisan’ bacaan, tapi gak pengen beli buku yang terlalu ‘berat’. Pengen yang simple-simple aja. Dalam bayangan gue sih, gue berharap buku ini, buku ringan yang bisa gue habiskan sekali baca pas weekend.

Jadi, gue baca sambil nungguin Mika main di Lollypop, Senayan City. Tapi, wah… memasuki prolog-nya aja, ternyata dugaan gue salah. Buku ini, sangat serius. Gimana gak serius, ceritanya dibuka di pemakaman. Lalu bergulir ke sebuah petanyaan yang berat, dan susah untuk mencari jawabannya: Apa yang kamu inginkan dalam hidup ini?

Jadi, ceritanya, Kanya sangat terpukul dengan kematian sahabatnya, Tammy. Kanya merasa bersalah, karena di malam kematian Tammy, mereka berdua dugem bareng, agak-agak mabok, dan Kanya-lah yang mengemudikan mobil ketika kecelakaan itu terjadi. Kalimat terakhir Tammy, adalah sebuah pertanyaan di atas, yang membuat Kanya bengong dan hilang konsentrasi pas lagi nyupir.

Kanya dan Tammy sebenarnya bagaikan kucing dan anjing ketika pertama kali bertemu. Kanya yang manja, anak konglomerat. Sedangkan Tammy, juga anak tunggal, tapi dengan kondisi ekonomi yang berbeda. Suatu kejadian, membuat mereka berdua seolah tak terpisahkan lagi.

Kepergian Tammy – dengan pertanyaan yang menggantung itu – membuat Kanya berpikir, apa yang ia cari dalam hidup ini, apa yang membuatnya bahagia. Untuk mencari jawaban itu, Kanya pergi ke Bali. Tempat yang sebenarnya juga menyisakan duka untuk Kanya dan ayahnya.

Di Bali, Kanya berkenala dengan Gala, seorang musisi independent, anak pemilik rumah yang disewa Kanya. Gala yang cuek, awalnya sering melontarkan kalimat yang membuat Kanya tersinggung, tapi Gala juga yang akhirnya membuka mata hati Kanya, hingga ia bisa memutuskan apa yang ia pilih.

Sebuah novel filosofi dalam bentuk ringan. Ada nuasana roman terselip sedikit. Novel ini emang gue baca langsung habis, tanpa jeda. Tapi, malah bikin mikir… hehehe.. untuk bacaan ringan, gak cocok, tapi, bagus untuk jadi ‘santapan’ selingan yang mengenyangkan.

Sebagai pelengkap, novel ini ada 'soundtrack'nya, ada CD yang diselipkan dalam novel ini, lagu ciptaan Anang Hermansyah (belum sempet gue denger sih, CD-nya). Konon kabarnya, bakal ada filmnya juga, yang akan dibuat sama pasangan suami-istri ini.

Thursday, November 05, 2009

Kelas Memasak Lilian (The School of Essential Ingredients)

Kelas Memasak Lilian (The School of Essential Ingredients)
Erica Baurermeister @ 2009
Bentang, Cet. 1 – September 2009
234 Hal.

Gue selalu tertarik baca novel yang ada hubungannya dengan masakan, makanan… kaya’nya so yummy (Farah Quinn’s tone: on). Dan gue mencari-cari ke-yummy-an itu lagi di buku Kelas Memasak Lilian. Wuiihh… mau nulis ini aja, bikin gue jadi laper…

Lilian mulai memasak untuk membuat ibunya ‘keluar’ dari dunianya sendiri. Ibu Lilian ‘melarikan diri’ ke buku sejak ayahnya pergi meninggalkan mereka. Lilian jadi benci buku. Ia seolah melihat wajah ibunya tergantung dari tokoh dari buku yang dibacanya saat itu. Ia mencoba berbagai masakan untuk menarik perhatiaannya ibunya, ia nyaris putus asa karena malahan masakannya tergantung juga dari apa yang dibaca ibunya. Untung dia pernah berkenalan dengan Abuelita, perempuan pemilik toko rempah-rempah dan bahan makanan. Abuelita memberinya sebuah ‘tongkat ajaib’.

Beranjak dewasa, Lilian pun membuka restoran, sekaligus mengadakan kursus memasak di setiap hari senin, ketika restoran tutup. Peserta kursus itu tidak banyak, tapi datang dari berbagai kalangan – misalnya Claire, seorang ibu rumah tangga, pasangan suami istri Carl dan Helen, Antonia, cewek Italia yang designer interior, ada Tom yang memang pernah berprofesi sebagai koki, lalu Chloe, Isabelle dan Ian. Mereka punya alasan masing-masing hingga mereka sampai di tempat Lilian.

Buku ini gak melulu menceritakan kesibukan di kelas masak itu, dan tidak hanya bercerita dari sisi Lilian. Setiap bab, satu tokoh yang bercerita, kita jadi tahu masa lalu masing-masing tokoh, kehidupan mereka sekarang, kenangan terhadap sebuah masakan atau kegiatan memasak. Misalnya, Claire – kesibukannya sebagai ibu rumah tanggga, mengurus suami dan dua orang anak yang masih kecil, membuat dia merasa gak mengenal dirinya lagi, gak tau lagi apa yang dia inginkan, kursus masak ini seolah jadi ‘me time’ bagi Claire. Lalu, Carl dan Helen, tampak mesra di depan semua murid, seolah mereka adalah pasangan idaman. Tapi, ternyata di balik kemesraan mereka, tersimpan masa lalu yang menyakitkan – cinta, gak berarti membuat pasangan bisa benar-benar setia. The good point is, belajar saling mema’afkan.

Antonia, cewek eksotis dari Italia, rindu kampung halaman – sedang pusing menghadapi klien yang memintanya mendesign sebuah dapur di rumah tua. Antonia yang ingat kampung halamannya, merasa sayang banget kalau dia harus membongkar dapur itu, dapur yang mengingatkannya pada suasana di kampungnya di Italia.

Ian, si ahli computer, diam-diam suka sama Antonia. Kursus memasak adalah hadiah dari ibunya. Si kaku Ian, harus belajar bersosialisi dengan yang lain. Beda dengan Tom, ia ikut kursus masak demi kenangannya akan istrinya yang sudah meninggal. Mendiang istrinya adalah seorang koki.

Isabelle, perempuan tua yang kesepian dan pelupa , dan terakhir si ceroboh, Chloe. Sebagai pelayan restoran, Chloe sangat ceroboh. Entah sudah berapa banyak gelas, piring yang pecah.

Semuanya seolah penuh cinta. Di setiap bab, Lilian juga mengajari seri resep yang berbeda, yang selalu mempunyai cerita atau filosofi di balik resep itu. Selalu menggunakan bahan-bahan yang alami, sentuhan langsung dengan tangan. Tapi, Lilian sendiri ‘digambarkan’ sebagai tokoh yang misterius.

Gue seolah merasakan ‘kehangatan’ di dalam dapur – bukan hanya yang terjadi di kelas memasak itu, tapi di setiap dapur setiap tokoh. Kaya’nya penuh cinta, penuh rasa sayang… hahaha.. kenapa jadi sok romantis gini?!!

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang