The Boy who Drew Monsters
Keith Donohue @ 2014
Maria Renata (Terj.)
Qonita – November 2016
420 hal.
Jack Peter, tidak akan pernah mau diajak keluar rumah. Dia juga hidup
dalam dunianya sendiri. Jarang berkomunikasi dengan orang tuanya, bahkan sering
kali menolak sentuhan kasih sayang dari orang tuanya. Menurut dokter, kondisi ini disebut dengan
Syndrome Asperger, atau gangguan dalam perkembangan yang mempengaruhi seorang
anak untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Satu-satu teman Jack Peter, adalah
Nick. Ibu Jack Peter ingin agar anaknya ditangani oleh seorang ahli, sejak Jack
Peter masih bayi, ia sudah merasa bahwa
ada sesuatu yang salah dengan anaknya. Ketika Nick tertawa-tawa, menangis dan
bermain dengan ceria, Jack Peter menurutnya terlalu tenang untuk seorang bayi.
Tapi, ayah Jack Peter beranggapan, ini hanyalah soal waktu, ada saatnya nanti
Jack Peter akan keluar dari dunianya, dan bersosialisasi dengan normal. Setiap
bulan, kunjungan rutin ke dokter menjadi saat-saat yang paling ‘mengerikan’ dan
melelahkan. Karena kedua orang tuanya harus bekerja keras mengajak Jack Peter
untuk keluar rumah. Namun, kondisi ini semakin membuat ibunya khawatir, ketika
tanpa sengaja Jack Peter meninjunya, hanya karena ia kaget ibunya
membangunkannya.
Jack Peter senang menggambar. Akhir-akhir ini, ia sering menggambar
monster. Awalnya, orang tua Jack Peter justru mendukung kegiatan Jack Peter
ini. Bahkan, ia diberikan satu set alat menggambar oleh ibunya sebagai hadiah
Natal. Tapi, tampaknya ada yang aneh dengan gambar-gambar itu. Dan hanya Nick
yang pada akhirnya menyadari hal itu. Apa yang digambar oleh Jack Peter seolah
menjadi nyata. Kedua orang tua Jack Peter mulai khawatir ketika mereka juga
merasa melihat hal-hal aneh tapi tak bisa dijelaskan dengan nyata.
Novel ini semakin dibuat ‘spooky’ dengan sebuah cerita tentang legenda
kapal yang tenggelam di lautan dekat mereka tinggal. Sebagian mayat-mayat
penumpang kapal itu tidak ditemukan. Ibu Jack Peter merasakan menjadi sedikit
terobsesi dengan kisah ini, karena beberapa musim panas yang lalu, Jack Peter dan
Nick hampir tenggelam. Ditambah lagi, ditemukan sebuah tulang yang diyakini
Holly, ibu Jack Peter, sebagai salah satu tulang dari mayat-mayat itu.
Awalnya gue kira ini adalah novel untuk anak-anak, ya at least seumuran
Mika, udah bisa lah menikmati ini. Gue sempet bilang ke Mika untuk baca, karena
dia lagi suka-sukanya novel misteri macam Goosebumps. Untung banget belum gue
kasih, karena ternyata ada bagian-bagian dalam novel ini, meskipun sekilas,
tapi untuk konsumsi orang dewasa.
Tokoh Jack Peter, dalam diamnya, dia berhasil membuat ‘teror’ tersendiri
untuk orang-orang di sekitarnya. Dan gak ada yang sadar kalau dia ketakutan,
gak ada yang percaya dengan cerita-cerita monster yang ia ceritakan ke orang
tuanya. Hanya Nick yang tau dan yakin bahwa ia harus menyelamatkan Jack Peter.
Di awal, buku ini memang agak lambat alurnya. Suara-suara yang didengar
oleh orang tua Jack Peter, seolah hanya halusinasi mereka masing-masing,
kehidupan yang nyaman di rumah impian di tepi pantai, di musim dingin ini
tiba-tiba jadi mimpi buruk. Baru di bagian-bagian tengah ke belakang, cerita
ini mulai jadi lebih menegangkan dengan munculnya monster-monster yang seolah
jadi nyata.
Aura novel ini udah membuat gue merinding sejak awal. Musim dingin,
tempat yang sepi, karena daerah ini adalah tempat orang-orang berlibur ketika
musim panas, tokoh yang hanya beberapa orang, rasa takut dari masing-masing
tokoh dengan problemnya masing-masing, legenda kapal tenggelam, tambahan
seorang tokoh perempuan Jepang dengan cerita mistisnya, bahkan lukisan kapal yang tenggelam ini, bikin gue juga merinding ngebayangin nasib para penumpang, seolah - seperti Holly - ikut 'tersedot' ke dalam pusaran air yang gelap. Ending-nya juga seolah
bisa bikin cerita baru dengan horor yang berbeda.
Submitted for: Fantasy
0 comments:
Post a Comment