Nur Jahan: The Queen of Mughal (The Feast of Roses)
Indu Sundaresan @ 2002
Hikmah, Cet, I - Mei 2008
684 Hal.
Setelah 17 tahun, mimpinya jadi kenyataan, Mehrunnisa menjadi istri Sultan Jahangir ke dua puluh dan yang terakhir. Pernikahan ini benar-benar berdasarkan cinta, tidak dicampuri oleh urusan politik. Karena tidak ada darah ningrat dalam diri Mehrunnisa yang akan membawa keuntungan bagi Kesultanan Mughal.
Tapi, ternyata hal ini tidaklah cukup bagi Mehrunnisa, yang kemudian diberi gelar Nur Jahan – Cahaya Dunia – oleh Sultan Jahangir. Ambisi masa kecilnya untuk menjadi seorang ratu, berkembang menjadi ambisi untuk menguasai kedudukan yang lebih tinggi sejauh yang diperkenankan sang Sultan. Nur Jahan ingin menjadi wanita nomer satu di dalam zenana, yang berarti menggeser kedudukan Ratu Jagat Gosini sebagai Padshah Begam.
Nur Jahan juga ingin mempunyai peranan dalam urusan pemerintahan. Ia ingin menguasai Sultan Jahangir. Dan, Sultan Jahangir pun menjadi seolah ‘boneka’ yang memainkan peran atas keinginan Nur Jahan. Demi mempertahankan kedudukannya, Nur Jahan merangkul Ghias Beg, ayahnya, lalu Abul, kakak laki-lakinya dan Pangeran Khurram yang bertunangan dengan Arjumand, keponakan Nur Jahan. Nur Jahan ikut serta dalam pengambilan keputusan tentang kedatangan Inggris dan Portugis di India.
Banyak pihak-pihak yang tidak rela Sultan mereka ‘diperintah’ oleh sang Ratu. Kala itu, amatlah tabu seorang perempuan berperan secara langsung dalam pemerintahan. Tapi, seolah buta dan tuli, Sultan Jahangir tak peduli dengan protes dan meluluskan semua permintaan Nur Jahan demi rasa cintanya.
Ketamakan Nur Jahan malah menghasilkan kekacauan yang akhirnya malah membuatnya jatuh. Tak puas sudah berhasil menikahkan Pangeran Khuram dengan Arjumand, Nur Jahan malah meminta Pangeran Khuram untuk menikah lagi dengan putri semata wayangnya, Ladli. Permintaan itu ditolak Pangeran Khurma. Nur Jahan berang, dan meminta kepada Sultan Jahangir untuk mencoret nama Pangeran Khuram sebagai penerus takhta berikutnya.
Di antara empat putra Sultan Jahangir, hanyalah Pangeran Khuram yang memiliki potensi sebagai Sultan berikutnya. Pangeran Khusrau, setelah pemberontakan merebut mahkota dari ayahnya sendiri, telah dibutakan oleh Sultan Jahangir, dan dikabarkan menjadi setengah gila. Lalu Pangeran Parviz, kerjanya hanya mabuk-mabukan dan sama sekali tidak bisa diandalkan. Terakhir, ada Pangeran Shahryar yang tidak peduli terhadap pemerintahan, selama ia bisa puas bermain-main dengan para dayang-dayangnya.
Pemberontakan demi pemberontakan datang mengancam Kesultanan Mughal. Kesehatan Sultan Jahangir mulai menurun akibat asma yang dideritanya. JuntaI yang dibentuk Nur Jahan pun pecah. Pangeran Khuram memilih untuk memberontak, menghalalkan segala cara, termasuk membunuh saudaranya sendiri, demi mengamankan posisinya sebagai pewaris mahkota berikutnya.
Andai saja, Nur Jahan sedikit lebih sabar, ‘kudeta’ tak disengaja tidak akan terjadi. Tapi, akhirnya, Nur Jahan hidup dalam pengasingan. Namanya pelan-pelan memudar. Dibanding keponakannya, Arjumand yang hanya berperan sebagai ratu selama empat tahun, nama Nur Jahan seolah lewat saja dalam sejarah India. Tapi, tidak ada, ratu yang memiliki koin yang tercetak atas namanya selain Nur Jahan. Paling tidak, Nur Jahan sudah berhasil menancapkan kukunya dalam pemerintahan selama 17 tahun sebagai Ratu Mughal.
Buku kedua ini, sekuel dari Mehrunnisa: The Twentieth Wife, lebih banyak bercerita tentang sepak terjang Mehrunnisa dalam kancah politik. Meskipun dimodifikasi sana-sini, cerita dalam buku ini menggambarkan sejarah India yang ternyata ‘penuh darah’. Bener-bener menunjukkan kalau Mehrunnisa adalah perempuan yang ambisius, keras, terkadang licik.
Indu Sundaresan @ 2002
Hikmah, Cet, I - Mei 2008
684 Hal.
Setelah 17 tahun, mimpinya jadi kenyataan, Mehrunnisa menjadi istri Sultan Jahangir ke dua puluh dan yang terakhir. Pernikahan ini benar-benar berdasarkan cinta, tidak dicampuri oleh urusan politik. Karena tidak ada darah ningrat dalam diri Mehrunnisa yang akan membawa keuntungan bagi Kesultanan Mughal.
Tapi, ternyata hal ini tidaklah cukup bagi Mehrunnisa, yang kemudian diberi gelar Nur Jahan – Cahaya Dunia – oleh Sultan Jahangir. Ambisi masa kecilnya untuk menjadi seorang ratu, berkembang menjadi ambisi untuk menguasai kedudukan yang lebih tinggi sejauh yang diperkenankan sang Sultan. Nur Jahan ingin menjadi wanita nomer satu di dalam zenana, yang berarti menggeser kedudukan Ratu Jagat Gosini sebagai Padshah Begam.
Nur Jahan juga ingin mempunyai peranan dalam urusan pemerintahan. Ia ingin menguasai Sultan Jahangir. Dan, Sultan Jahangir pun menjadi seolah ‘boneka’ yang memainkan peran atas keinginan Nur Jahan. Demi mempertahankan kedudukannya, Nur Jahan merangkul Ghias Beg, ayahnya, lalu Abul, kakak laki-lakinya dan Pangeran Khurram yang bertunangan dengan Arjumand, keponakan Nur Jahan. Nur Jahan ikut serta dalam pengambilan keputusan tentang kedatangan Inggris dan Portugis di India.
Banyak pihak-pihak yang tidak rela Sultan mereka ‘diperintah’ oleh sang Ratu. Kala itu, amatlah tabu seorang perempuan berperan secara langsung dalam pemerintahan. Tapi, seolah buta dan tuli, Sultan Jahangir tak peduli dengan protes dan meluluskan semua permintaan Nur Jahan demi rasa cintanya.
Ketamakan Nur Jahan malah menghasilkan kekacauan yang akhirnya malah membuatnya jatuh. Tak puas sudah berhasil menikahkan Pangeran Khuram dengan Arjumand, Nur Jahan malah meminta Pangeran Khuram untuk menikah lagi dengan putri semata wayangnya, Ladli. Permintaan itu ditolak Pangeran Khurma. Nur Jahan berang, dan meminta kepada Sultan Jahangir untuk mencoret nama Pangeran Khuram sebagai penerus takhta berikutnya.
Di antara empat putra Sultan Jahangir, hanyalah Pangeran Khuram yang memiliki potensi sebagai Sultan berikutnya. Pangeran Khusrau, setelah pemberontakan merebut mahkota dari ayahnya sendiri, telah dibutakan oleh Sultan Jahangir, dan dikabarkan menjadi setengah gila. Lalu Pangeran Parviz, kerjanya hanya mabuk-mabukan dan sama sekali tidak bisa diandalkan. Terakhir, ada Pangeran Shahryar yang tidak peduli terhadap pemerintahan, selama ia bisa puas bermain-main dengan para dayang-dayangnya.
Pemberontakan demi pemberontakan datang mengancam Kesultanan Mughal. Kesehatan Sultan Jahangir mulai menurun akibat asma yang dideritanya. JuntaI yang dibentuk Nur Jahan pun pecah. Pangeran Khuram memilih untuk memberontak, menghalalkan segala cara, termasuk membunuh saudaranya sendiri, demi mengamankan posisinya sebagai pewaris mahkota berikutnya.
Andai saja, Nur Jahan sedikit lebih sabar, ‘kudeta’ tak disengaja tidak akan terjadi. Tapi, akhirnya, Nur Jahan hidup dalam pengasingan. Namanya pelan-pelan memudar. Dibanding keponakannya, Arjumand yang hanya berperan sebagai ratu selama empat tahun, nama Nur Jahan seolah lewat saja dalam sejarah India. Tapi, tidak ada, ratu yang memiliki koin yang tercetak atas namanya selain Nur Jahan. Paling tidak, Nur Jahan sudah berhasil menancapkan kukunya dalam pemerintahan selama 17 tahun sebagai Ratu Mughal.
Buku kedua ini, sekuel dari Mehrunnisa: The Twentieth Wife, lebih banyak bercerita tentang sepak terjang Mehrunnisa dalam kancah politik. Meskipun dimodifikasi sana-sini, cerita dalam buku ini menggambarkan sejarah India yang ternyata ‘penuh darah’. Bener-bener menunjukkan kalau Mehrunnisa adalah perempuan yang ambisius, keras, terkadang licik.