Wednesday, October 17, 2007

168 Jam dalam Sandera

168 Jam dalam Sandera: Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak
Meutya Hafid
Penerbit Hikmah - Cet. 1, September 2007
280 Hal.

Ketika berita tentang penyanderaan dua jurnalis Metro TV di Irak oleh tentara Mujahidin, rasanya, gue ikutan ngerasa deg-degan… mmm… terlalu sering nonton film dan baca berita di Koran, membuat gue ikut ketakutan, akan apa yang bakal terjadi sama Meutya Hafid, reporter, dan Budiyanto, juru kamera yang bertugas di Irak itu. Dan ikut bersyukur ternyata keduanya bisa selamat, tanpa kekurangan satu apapun.

Waktu ada rekonstruksi kejadian di Metro TV pun, gue juga merinding membayangkan keadaan yang sebenarnya (hmmm… agak-agak hiperbola gak sih?)

Dan sekarang, Meutya Hafid menulis pengalamannya selama berada dalam penyanderaan. Di buku ini, Meutya menggambarkan detik-detik awal terjadinya penculikan mereka di sebuah POM bensin. Meskipun sudah dijelaskan bahwa mereka adalah jurnalis yang tidak mempunyai kepentingan politik, tetap saja para penculik itu tidak peduli.

Mereka bertiga, Meutya, Budiyanto, dan Ibrahim, supir yang membawa mereka selama berada di Irak, dibawa ke sebuah gua di gurun pasir, yang untuk melarikan diri pun rasamnua suatu hal yang akan berakhir pada kematian yang sia-sia.

Selama berada dalam penyanderaan, para penyandera bersikap cukup baik pada mereka. Mereka dilayani layaknya tamu yang sedang berkunjung. Disediakan makanan yang enak, yang pastinya bakal menggugah selera seandainya berada dalam keadaan dan tempat yang lebih baik.

Berhari-hari tanpa kepastian, akhirnya setelah gambar bahwa mereka benar-benar disandera, dan presiden SBY juga langsung membuat siaran untuk meminta mereka dibebaskan, akhirnya, kabar bahwa mereka akan dibebaskan pun tiba. Tapi, ternyata, gak semudah itu, kesabaran dan kepasrahan mereka lagi-lagi diuji, karena ternyata, prosesnya gak semudah itu. Di pintu perbatasan pun, ketika mereka tinggal sedikit lagi melintas dan bebas, kendala masih ada dan membuat stress dan putus asa.

Mmmm… di saat-saat seperti itu, kaya’nya keimanan seseorang bener-bener diuji. Pasrah dan sabar, juga berkepala dingin dan gak emosi, itu yang paling penting. Beruntung banget, mereka gak diperlakukan kasar dan semena-mena, malah ketika menjelang pembebasan, justru Meutya merasa kehilangan dua orang teman (yang menyandera mereka), karena sikap mereka yang semakin hari semakin hangat dan bersahabat, meskipun ada batas-batas tertentu yang tetap harus mereka tahan.

Gue jarang suka sama yang namanya buku non-fiksi, tapi, buku ini, hampir aja membuat gue terjaga semalaman, karena pengen buru-buru nyelesainnya. Gue ikutan gemes, tegang dan terharu… rasanya ikutan ngerasain gimana gak sabar dan gregetannya ketika kebebasan itu udah di depan mata, tapi, koq susah banget dicapainya…

0 comments:

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang