Kronik Betawi
Ratih Kumala @ 2008
GPU, Cet. II – Juli 2009
255 Hal.
Seru banget baca buku ini, mirip-mirip nonton Si Doel Anak Sekolahan. Tapi, menurut gue, malah lebih bagus baca buku ini daripada nonton sinentronnya yang suka muter-muter.
Cerita tentang sebuah keluarga Betawi asli. Juned dan Ipah, punya tiga anak: Jaelani, Jarkasi dan Juleha. Nanti, cerita ketiga anak ini lebih mendominasi dalam buku ini. Juned dan Ipah hanya diceritakan sebagai latar belakang, asal-usul dari ketiga anak Betawi ini.
Jaelani, anak yang tertua, punya usaha sapi perah, warisan dari Babe-nya yang dulu jadi tukang antar susu orang Belanda. Karena si Babe berhasil menyelamatkan orang Belanda itu, makanya pas si Tuan Kompeni balik ke kampung halamannya, sapi-sapi perahnya ditinggalkan untuk Juned, yang akhirnya diturunkan ke Jaelani.
Jaelani punya tiga anak – Juned, Japri dan Enoh. Jaelani kepengen mewariskan peternakan sapinya untuk Juned dan Japri, tapi, ternyata, dua anak laki-laki itu lebih milih jadi tukang ojek. Untung ada Fauzan, anak laki-laki dari pernikahan keduanya, yang jadi tumpuan harapannya. Si Fauzan nih, mirip-mirip si Doel deh… bakal jadi ‘Tukang Insinyur’.
Sementara Jarkasi, meskipun gak ada darah seni yang mengalir dari orang tuanya, ternyata dia lebih tertarik ngurusin lenong dan gambang kromong, berusaha melestarikan budaya yang nyaris punah itu. Untung anak semata wayangnya, Edah, suka ikut nari-nari, meskipun dilarang sama Enden, ibunya.
Lain lagi dengan Juleha, anak perempuan satu-satunya dari Juned dan Ipah. Istri seorang kyai kondang, tapi gak menyangka hidupnya akan dimadu, karena setelah menunggu sekian lama, Juleha tak kunjung hamil. Maka, Ji’ih, sang suami, dengan dalih menolong janda pun menikah lagi.
Ceritanya sederhana, tentang keluarga Betawi, bergulir dengan lancar, dari hari ke hari. Mengangkat masalah: orang Betawi asli yang justru tersingkir dari ‘rumah’nya sendiri, kebudayaan Betawi yang makin lama makin tenggelam, lalu sifat-sifat orang Betawi yang ‘katanya’ malas (dicontohin sama Japri dan Juned), yang ‘katanya’ suka kawin (contohnya suaminya Juleha, si Ji’ih). Tapi, bisa ‘dipatahkan’ oleh Jaelani yang setia sama mendiang istri pertamanya dan susah banget untuk cari istri lagi meskipun udah dijodoh-jodohin, lalu, Salempang, suami Juleha, yang ternyata rajin, alim dan baik banget.
Ironis banget emang jadi orang Betawi kadang-kadang. Yang ‘punya kampung’, yang katanya punya Jakarta, tapi terkaget-kaget dengan perkembangan Jakarta yang pesat banget (seperti Jaelani, Juleha yang terkagum-kagum waktu liat banyak gedung tinggi, atau rumah lama mereka yang udah jadi ruko).
Membaca buku ini, gue gak perlu membayangkan atau mencoba mencari visualisasi yang ribet. Sepertinya, mereka ada di sekitar gue (berhubung gue juga pernah tinggal di daerah Tebet, ketika masih banyak tetangga gue yang orang Betawi asli). Bahasa percakapan dalam bahasa Betawi bikin gue juga senyam-senyum. Hmmm… gue jadi inget pernah baca buku yang isinya, baik narasi atau percakapannya dalam bahasa Betawi totok dan… gue bingung… hehehe… (gambang kromong, kalo gak salah judulnya…)
Ratih Kumala @ 2008
GPU, Cet. II – Juli 2009
255 Hal.
Seru banget baca buku ini, mirip-mirip nonton Si Doel Anak Sekolahan. Tapi, menurut gue, malah lebih bagus baca buku ini daripada nonton sinentronnya yang suka muter-muter.
Cerita tentang sebuah keluarga Betawi asli. Juned dan Ipah, punya tiga anak: Jaelani, Jarkasi dan Juleha. Nanti, cerita ketiga anak ini lebih mendominasi dalam buku ini. Juned dan Ipah hanya diceritakan sebagai latar belakang, asal-usul dari ketiga anak Betawi ini.
Jaelani, anak yang tertua, punya usaha sapi perah, warisan dari Babe-nya yang dulu jadi tukang antar susu orang Belanda. Karena si Babe berhasil menyelamatkan orang Belanda itu, makanya pas si Tuan Kompeni balik ke kampung halamannya, sapi-sapi perahnya ditinggalkan untuk Juned, yang akhirnya diturunkan ke Jaelani.
Jaelani punya tiga anak – Juned, Japri dan Enoh. Jaelani kepengen mewariskan peternakan sapinya untuk Juned dan Japri, tapi, ternyata, dua anak laki-laki itu lebih milih jadi tukang ojek. Untung ada Fauzan, anak laki-laki dari pernikahan keduanya, yang jadi tumpuan harapannya. Si Fauzan nih, mirip-mirip si Doel deh… bakal jadi ‘Tukang Insinyur’.
Sementara Jarkasi, meskipun gak ada darah seni yang mengalir dari orang tuanya, ternyata dia lebih tertarik ngurusin lenong dan gambang kromong, berusaha melestarikan budaya yang nyaris punah itu. Untung anak semata wayangnya, Edah, suka ikut nari-nari, meskipun dilarang sama Enden, ibunya.
Lain lagi dengan Juleha, anak perempuan satu-satunya dari Juned dan Ipah. Istri seorang kyai kondang, tapi gak menyangka hidupnya akan dimadu, karena setelah menunggu sekian lama, Juleha tak kunjung hamil. Maka, Ji’ih, sang suami, dengan dalih menolong janda pun menikah lagi.
Ceritanya sederhana, tentang keluarga Betawi, bergulir dengan lancar, dari hari ke hari. Mengangkat masalah: orang Betawi asli yang justru tersingkir dari ‘rumah’nya sendiri, kebudayaan Betawi yang makin lama makin tenggelam, lalu sifat-sifat orang Betawi yang ‘katanya’ malas (dicontohin sama Japri dan Juned), yang ‘katanya’ suka kawin (contohnya suaminya Juleha, si Ji’ih). Tapi, bisa ‘dipatahkan’ oleh Jaelani yang setia sama mendiang istri pertamanya dan susah banget untuk cari istri lagi meskipun udah dijodoh-jodohin, lalu, Salempang, suami Juleha, yang ternyata rajin, alim dan baik banget.
Ironis banget emang jadi orang Betawi kadang-kadang. Yang ‘punya kampung’, yang katanya punya Jakarta, tapi terkaget-kaget dengan perkembangan Jakarta yang pesat banget (seperti Jaelani, Juleha yang terkagum-kagum waktu liat banyak gedung tinggi, atau rumah lama mereka yang udah jadi ruko).
Membaca buku ini, gue gak perlu membayangkan atau mencoba mencari visualisasi yang ribet. Sepertinya, mereka ada di sekitar gue (berhubung gue juga pernah tinggal di daerah Tebet, ketika masih banyak tetangga gue yang orang Betawi asli). Bahasa percakapan dalam bahasa Betawi bikin gue juga senyam-senyum. Hmmm… gue jadi inget pernah baca buku yang isinya, baik narasi atau percakapannya dalam bahasa Betawi totok dan… gue bingung… hehehe… (gambang kromong, kalo gak salah judulnya…)
0 comments:
Post a Comment