Monday, October 14, 2013

Crying 100 Times



Crying 100 Times (100Kai Naku Koto)
Nakamura Kou @ 2005
Khairun Nisak (Terj.)
Penerbit Haru – Cet. I, Juni 2013
256 Hal
(Gramedia Plasa Semanggi)

Hmmm.. gimana ya mau nulis review untuk buku ini. Ok, gini aja. Buku ini tentulah tentang cinta. Seorang pemuda bernama Fujii menjalin hubungan dengan gadis bernama Yoshimi. Yoshimi ini dalam imajinasi gue adalah gadis yang manis, pendiam. Dia pintar menggambar. Yoshimi lah yang meyakinkan Fujii untuk segera memperbaiki sepeda motor tuanya, agar Fujii bisa pulang ke kampung halamannya, menjenguk anjingnya yang sedang sakit keras. Anjing ini bernama Book – karena ia ditemukan di dekat perpustakaan. Book setia menemani Fujii belajar untuk masuk ke perguruan tinggi.

Saat sedang memperbaiki sepeda motor itulah, Fujii melamar Yoshimi. Wah, gue langsung terbayang adegan ini. Sementar Fujii dengan cueknya melamar Yoshimi, si Yoshimi yang sedang menunduk membersihkan sepeda motor, akan terdiam sejenak, seolah lagi ngelamu, sebelum menjawab lamaran Fujii. Setelah itu, mereka pun mengadakan ‘latihan’ berumah tangga. Yoshimi pindah ke apartemen Fujii.

Well… tampaknya kisah cinta ini akan berjalan dengan manis kan? Hmmm… gue jadi inget episode Masterchef US season 4 kemarin, waktu para kontestan diminta menyajikan makan malam untuk tamu undangan di pesta pernikahan, si Joe Bastianich bilang, “Gak semua pernikahan berakhir dengan manis kan? Ada kalanya si mempelai ditinggal oleh pasangannya di altar.” Hehehe.. emang rada kejam sih buat menggambarkan kisah dalam buku ini. Tapi, ya, maksud gue, gak semua kisah cinta berakhir dengan manis, berbunga-bunga, penuh senyum dan saling bergandengan tangan. Fujii yang tadinya merasa sebagai laki-laki yang paling bahagia, justru harus merasakan sebuah kehilangan.

Kalau katanya Fujii adalah laki-laki paling bahagia di dunia, dalam buku ini gak akan keliatan seperti itu. Gue malah membayangkan Fujii dan Yoshimi adalah dua orang yang baru saling kenal, sopan banget (yah, kalo gak mau dibilang kaku sih). Apa orang Jepang emang kaku-kaku ya? Harusnya Book bisa jadi tokoh yang menambah keceriaan dalam buku ini. Sayangnya, Book lebih sebagai tokoh pelengkap, meskipun ada benang merahnya juga sih kalau mau ditarik lebih jauh. Intinya tentang ikhlas kali ya… 

 Alur ceritanya lambat banget, malah cenderung datar. Tapi bersabarlah sedikit, maka pelan-pelan kita akan mengenal Fujii dan Yoshimi, dan mencoba merasakan rasa sedih dan tertekan yang dirasakan sama Fujii. Kalau ini ditulis sama orang Indonesia, pasti drama-nya lebih mengharu-biru, bikin hati teriris-iris, perih. Apa orang Indonesia yang suka mendramatisir segala sesuatu?

Tentang 'latihan' sebelum menikah digambarkan dengan halus oleh Nakamura Kou. Bahkan untuk 'kissing' pun mereka malu-malu. Bener-bener pasangan yang imut-imut. 

Gue suka dengan cover-ya yang pinky ini. Cocok dengan cerita yang manis, meski berakhir tragis. Tapi ya, bahkan di cover-nya pun terlihat sepi.

O ya, kalo diinget-inget, mungkin ini setipe dengan Nicholas Sparks, yang demen banget cerita tentang kisah cinta dengan pasangan yang salah satunya mengidap penyakit keras.

0 comments:

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang