Thursday, August 02, 2007

Glonggong

Glonggong
Junaedi Setiyono
Penerbit Serambi – Cet. 1, Juli 2007
293 Hal.

Glonggong, adalah sebuah permainan daerah, permainan perang-perangan dengan menggunakan pedang glonggong – pedang dari tangkai daun pepaya - sebagai senjata.

Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang anak keturunan priyayi di Jawa yang kemudian lebih dikenal dengan nama ‘Glonggong’. Glonggong tidak mengenal siapa ayah kandungnya, ia hanya tahu sosok ibunya yang lebih sering mengurung diri di kamar. Ayah tirinya pun lebih banyak berada di luar rumah dan jarang pulang.

Meskipun anak seorang Raden, Glonggong lebih banyak bermain dengan anak-anak kampung untuk bermain glonggong. Awalnya ia hanya duduk memperhatikan anak-anak lain bermain, tapi, semakin ia besar, ia mulai diperbolehkan ikut bermain glonggong. Makin lama, Glonggong dikenal sebagai ‘petarung’ yang tangkas, tidak ada lagi yang memanggil nama aslinya, kecuali dua orang pembantu di rumahnya. Ia semakin dikenal dengan nama ‘Glonggong’, nama yang akan menentukan jalan hidupnya di kemudian hari.

Dari permainan glonggong itu, ia menemukan kawan dan juga lawan. Tidak hanya dari kalangan pribumi, tapi juga dua orang anak Belanda yang kemudian memberikannya sebuah glonggong istimewa dan buku ‘Gulliver’s Travel’.

Di usia 17 tahun, Glonggong harus kehilangan ibunya. Rumahnya terbakar. Glonggong hidup sebatang kara. Ia diajak bekerja sebagai ‘centeng’ di rumah seorang bangsawan Jawa. Ketika itu, masa perang Pangeran Dipanegara. Banyak bangsawan Jawa yang lebih memilih untuk tunduk kepada pemerintah Belanda dibanding memberontak. Glonggong merasa beruntung bisa bekerja pada seseorang yang ternyata berpihak pada Pangeran Dipanegara.

Sambil bekerja, Glonggong terus mencari tahu keberadaan ayahnya dan juga keluarganya yang lain. Tapi, ternyata, Glonggong sering dikhianati oleh orang yang ia percaya. Berkali-kali Glonggong harus berhadapan dengan lawan yang selama ini ia tahu adalah temannya.

Ada kebanggaan tersediri ketika akhirnya Glonggong mendapat kesempatan untuk ikut membantu membawa barang berharga milik Pangeran Dipanegara. Di tengah jalan, ada komplotan perampok yang mencegatnya, dan mencuri barang berharga itu. Meskipun sudah melawan, tapi tetap Glonggong harus mengalami luka parah.

Glonggong termasuk orang yang pantang menyerah. Demi tugasnya, ia bertekad mencari tahu di mana barang berharga itu ada dan mengembalikan pada pemilik sahnya.

Dalam perjalanannya, glonggong-lah yang selalu setia menemani Glonggong. Ia tidak mau membawa senjata tajam, pistol atau apa pun selain glonggong.

Cerita di buku ini berlatar belakang Perang Pangeran Dipanegara (Diponegoro). Gue jadi inget film ‘November 1828’. Biarpun pusat ceritanya hanya pada satu orang, tapi, gak bikin buku ini jadi membosankan... malah, ternyata.. asyik banget… biasanya, gue termasuk yang lama kalo baca buku ‘serius’ begini, tapi… hmmm… lumayan.. gak sampe satu minggu udah selesai.

Setiap pergantian bab, ditulis dalam bahasa Jawa. Sempet bikin kening berkerut juga karena gak ngerti apa artinya, bolak-balik ke halaman paling belakang, ternyata ada Glosari-nya.

1 comments:

Anonymous said...

oo... dari sini toh istilah glonggong di arena KUBUGIL muncul :D

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang