Wednesday, February 29, 2012

Rumah di Seribu Ombak

Rumah di Seribu Ombak
Erwin Arnada
Gagas Media - Cet. I, 2011
388 hal.
(Gramedia Plasa Semanggi)

“Allah memberkati kita dengan keberanian. Rasa takut adalah hal yang kita ciptakan sendiri. Perasaan apa yang nanti menguasai kita adalah pilihan kita sendiri…”
(hal. 197)


Bicara tentang Bali, pastinya gak pernah lepas dari yang namanya pantai. Gak afdol, kalo ke Bali, gak main-main di pantai, meskipun hanya sebentar.

Gak terkecuali buku ini. Berkisah tentang persahabatan antara Samihi dan Wayan Manik – atau yang akrab dipanggil Yanik. Semua bermula ketika Yanik menyelamatkan Samihi dari keroyokan anak-anak yang ingin mencuri sepedanya. Sejak itulah, di mana ada Samihi, hampir selalu ada Yanik.

Yang membuat persahabatan mereka jadi unik, adalah latar belakang yang berbeda. Samihi beragama Islam dan Yanik beragama Hindu. Mereka berdua tinggal di Desa Kalidukuh, Singaraja. Daerah ini memang terkenal dengan penduduknya yang mayoritas Muslim. Dua kelompok penduduk dengan keyakinan yang berbeda ini hidup berdampingan dengan rukun.

Samihi mempunyai trauma takut dengan air. Gara-gara kakaknya yang meninggal karena tenggelam di laut. Sementara Yanik, adalah anak pantai sejati. Pantai Lovina yang terkenal dengan lumba-lumbanya itu adalah tempat Yanik menghabiskan waktunya. Tempat bergantung untuk mencari nafkah sekaligus berselancar. Yanik lah yang berperan besar dalam membentuk Samihi menjadi anak yang lebih tangguh dan percaya diri.



Sayangnya persahabatan mereka harus ‘terhenti’, sebuah luka lama terkoyak. Yanik ternyata menyimpan cerita sedih. Awalnya cerita ini adalah sebuah rahasia. Yanik berbagi dengan Samihi, yang sudah berjanji untuk tidak menceritakan kembali pada siapa pun. Tapi, demi menyelamatkan sahabatnya itu, justru Samihi harus ‘membongkar’ rahasia itu pada polisi adat. Sejak saat itu, persabahatan mereka mulai renggang.

Cerita dalam buku ini sederhana, tapi makna tidak sesederhana itu. Di tengah kondisi Indonesia yang kadang beda dikit bentrok, ada ormas-ormas yang merasa lebih baik dari pihak lain, dikit-dikit ribut, bentrok. Aduh.. bikin suasana jadi gak tenang. Baca buku ini, rasanya jadi ademmmm… judulnya udah ‘indah’, terkesan romantis (hahaha.. banyak yang kecele dengan judulnya nih), covernya juga teduh… cara penuturannya juga tenang banget. Tapi, endingnya.. huhuhuhu…. Sedih sekali…

Ditulis oleh Erwin Arnada, mantan pemred majalah yang bikin heboh itu. Novel ini sendiri hasil karya selama mendekam di LP Cipinang dan akan segera beredar film-nya.

0 comments:

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang