Monday, October 17, 2011

Selimut Debu

Selimut Debu
Agustinus Wibowo
GPU – Januari 2010
461 Hal.
(swap sama melmarian)

Selama membaca buku ini, sejujurnya, gue hanya bisa ‘bengong’, mencoba membayangkan perjalanan seorang Agustinus Wibowo. Dari beberapa buku bergenre ‘travel’ yang pernah gue baca atau artikel di majalah, nyaris semua pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan, bikin iri dengan segala foto-foto yang indah, makanan yang enak-enak dan akomomodasi yang memadai. Ya, sebut aja, tempat-tempat di Eropa, atau Bali, Pulau Komodo, bahkan negara-negara di Afrika pun, tampaknya masih lebih menyenangkan kalau membaca tentang wisata safari-nya meskipun deg-degan, takut kalo-kalo ketemu singa laper.

Tapi, ke Afghanistan, sebuah nama yang kalau gue baca koran atau liat berita di tv isinya perang, bom, penculikan dan segala teror lainnya. Rasanya rada gak ‘waras’ kalo ada orang yang nekat ke sana dengan tujuan melihat ‘keindahan’.

Ke negeri penuh debu itu, seorang diri, dengan modal yang ‘terbatas’, Agustinus Wibowo menelusuri hampir seluruh pelosok Afghanistan. Duh, membaca petualangannya, rasanya miris banget. Mengenakan pakaian tradisional penduduk yaitu shalwar qamiz yang kumal, tidak mandi berhari-hari, tidur menumpang di kedai teh, bepergian dengan truk atau jip yang bolak-balik mogok, bahkan pernah naik traktor. Jalannya tentu tidak mulus – lubang besar-besar, kiri-kanan jurang atau harus menyeberang sungai. Belum lagi, kecopetan dan diperlakukan tidak ‘senonoh’. Apalagi, bepergian di tanah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, bagi seorang Agustinus Wibowo yang non-muslim, masalah agama jadi hal yang sensitif. Meskipun mayoritas orang-orang yang ia temui tergolong baik hati, karena mereka selalu memperlakukan orang asing sebagai tamu, tapi ada saja yang berusaha memerasnya dengan mengenakan tarif kendaraan dengan harga yang tak masuk akal, sengaja ditinggal ketika sedang tidur.

Tapi, ternyata, di balik ‘penderitaan’ dan kesusahan itu, ia bisa melihat keindahan dan keanekaragaman budaya Afghanistan. Mengenal berbagai etnis di Afghanistan, Mendengar penduduk yang saling menjelekkan etnis satu dengan yang lainnya.

Bertualang dengan cara seperti ini, membuat Agustinus Wibowo jadi lebih mudah berinteraksi dengan penduduk setempat. Menginap di rumah penduduk, ia menangkap mimpi-mimpi mereka, mendegar kegetiran dan penderitaan mereka. Sejarah masa lalu yang kelam, penuh dengan perang,

Ada perempuan tak bernama karena selalu terbungkus burqa, tapi di desa lain, perempuan justru berpakaian warna-warni dan bebas bekerja di luar rumah. Peninggalan bersejarah yang dihancurkan, atau kalau pun ada tampak terlupakan.

Akhirnya… kesampaian juga baca Selimut Debu. Buku ini sudah lama ada di wishlist gue. Gue mendapatkan sebuah ‘pandangan’ baru tentang Afghanistan. Pengetahuan gue yang minim, jadi bertambah. Foto-foto yang keren hasil jepretan Agustinus Wibowo membantu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Gue *speechless* ...

4 comments:

Anonymous said...

Senang bisa membantu :)
Sori yah kalo udah aku coret2 halaman depannya ;p

ferina said...

wah... gpp ada coret2annya, menambah 'nilai sejarah'. malah aku tulis lagi "hasil swap sama melmarian" :)

Tjut Riana said...

salah satu buku favoritku, bukan buku traveling biasa:)

ferina said...

@Tjut Riana: sama... ini juga jadi buku favoritku

 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang