Laut Bercerita
Leila S. Chudori
Kepustakaan Populer
Gramedia, Oktober 2017
389 hal.
Judul dan cover yang
langsung menarik perhatian gue. Dan tentu saja nama Leila S. Chudori. Gue mulai
menyukai karya beliau sejak membaca 9 dari Nadira.
Cerita tentang Biru
Laut, seorang mahasiswa, aktif dalam organisasi yang dianggap ‘terlarang’ oleh
pemerintah ketika itu, ketika Pak Harto masih menjabat sebagai presiden. Bersama
teman-temannya, Laut bermimpi ingin mewujudkan Indonesia yang lebih baik,
pemerintah yang peduli dengan rakyatnya. Tapi sayang, pemerintah ketika itu
tidak bisa menerima kritik dengan baik. Para demonstran dianggap sebagai
penentang pemerintah.
Tahun 1998, ketika
politik Indonesia memanas, Laut dan teman-temannya jadi incaran karena dianggap
pengkhianat. Laut hidup dalam bayang-bayang, mencari sudut yang remang-remang,
berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, hingga pada akhirnya, Laut
disergap di rumah susun tempat ia bersembunyi.
Dengan mata tertutup,
tangan terikat, ia dibawa ke sebuah tempat. Berbulan-bulan Laut, dan juga
teman-teman yang lain, disekap, diinterogasi, disiksa dengan berbagai cara yang
mengerikan dan tak terbayangkan betapa ada manusia yang sedemikian keji. Ada
satu titik, di mana gue berhenti membaca, karena gue gak sanggup membayangkan
penderitaan yang dialami Laut dan teman-temannya.
Hari demi hari, mereka
bertanya-tanya, kapan ini akan berakhir, sampai titik mana mereka semua
berhenti.
4 tahun kemudian…..
Laut dan beberapa temannya masih belum kembali. Keluarga mereka masih menanti
dan berharap, bahwa mereka baik-baik saja, masih hidup di suatu tempat untuk
suatu saat kembali bersama keluarga.
Asmara Jati, adik
Laut, bersama Anjani, kekasih Laut dan juga, Alex, teman Laut yang akhirnya
dibebaskan bergabung dengan Komisi Orang Hilang, mencoba mencari jejak mereka
yang hilang.
Buku ini bercerita
tentang seorang aktifis yang berjuang, rela berjauhan dari keluarga demi
memperjuangkan cita-citanya, tentang keluarga yang kehilangan, yang sesekali
hidup dalam ‘denial’, tentang bagaimana para korban yang sempat tertangkap dan
dibebaskan bergulat dengan trauma berkepanjangan.
Bolehlah siap-siap
tissue… bukan adegan romantis yang bikin baper yang akan bikin loe sedih, tapi
bagaimana seorang kakak menitipkan pesan rahasia pada sang adik, bagaimana
orang tua yang hidup dalam ‘kepompong’, bercengkerama dalam ilusi yang mereka
ciptakan. Banyak bagian-bagian yang bikin emosi jadi ‘teraduk-aduk’…. Mulai dari awal buku ini sampai akhir…
Tahun 1998, waktu itu gue masih kuliah.. sekali ikut demo
di dalam kampus… abis itu gak boleh lagi sama ortu gue… dan.. gue berterima
kasih kepada orang-orang seperti Biru Laut yang membuat gue bisa membaca karya
Pramoedya Ananta Toer.
Gue suka bagaimana sosok
Biru Laut diceritakan – bukan yang sosok yang terlalu idealis dengan pidato
yang berapi-api, tapi mampu ‘membius’,
sosok yang juga jahil dan kakak yang protektif. Dan gue suka bagaimana
ending untuk Biru Laut diciptakan., meskipun sedih, tapi begitulah rasanya Laut
harus berakhir… kalo gak bakal jadi rada klise.. (eh.. ini menurut gue lohhhh)