Thursday, August 20, 2015

I’ll Give You the Sun


I’ll Give You the Sun
Walker Books, 2015
429 pages

Gue jarang membaca kisah tentang anak kembar – kecuali serial St. Claire. Kalo itu sih cerita tentang anak kembar yang kaya’nya tanpa masalah atau problem yang rumit. Tapi di buku ini, gue menemukan dunia anak kembar yang sedikit bikin pusing.

Buku ini diceritakan secara bergantian oleh Noah dan Jude – Noah yang berumur 14 tahun dan ketika Jude berumur 16 tahun.

Noah – tipe-tipe anak lelaki yang penyendiri, suka melukis dan berimajinasi. Dalam narasinya, suka diselipkan kalimat ide dari lukisan atau potongan adegan dalam kehidupan yang tiba-tiba muncul di benaknya. Berbeda dengan Jude, saudari kembarnya yang gaul.

Di usia remaja, usia di mana terjadi sedikit ‘pemberontakan’ dalam diri Jude. Semakin diatur sama ibunya, semakin Jude menunjukkan sifat berlawanan.

Kedekatan mereka ‘terganggu’ oleh rasa kecewa yang ada di dalam diri Noah dan Jude. Diawali dengan Noah yang kecewa karena Jude mendekati cowok yang dia sukai. Lalu, adanya ‘kompetisi’ yang diadakan ibu mereka, tanpa sengaja membuat jarak di antara mereka.

Ini gara-garaya, konon arwah Nenek mereka yang baru meninggal, berpesan bahwa Noah dan Jude harus masuk sekolah seni. Maka ibu mereka mengajak Noah dan Jude ke museum lalu membuat sketsa, dan akan dipilih siapa yang dirasa paling berbakat. Di sinilah Jude merasa bahwa ibu mereka lebih berpihak pada Noah. Jude merasa dilupakan.

Mungkin bakal dibuat bingung antara narasi Noah 14 tahun dan Jude 16 tahun. Apa yang terjadi di rentang dua tahun itu, akan mengerucut menjadi sebuah titik di mana pembaca akan jelas apa sebenarnya yang sedang terjadi. Menjawab berbagai pertanyaan kenapa Noah jadi ‘berantakan’, koq malah Jude yang masuk sekolah seni, siapa si English guy yang keren itu atau si pemahat yang misterius.

Buku yang diceritakan secara bergantian begini, selalu berhasil membuat gue penasaran. Satu kejadian dengan berbagai sudut pandang, yang bikin berbagai dugaan jadi sebuah kesimpulan. Ketika membaca bagian Noah, gue ikutan merasa sendiri dan kesepian, berasa ikut bermimpi bareng Noah. Ketika bagian Jude – yang cenderung lebih kelam, gue merasa ikutan  meresa hopeless, atau gelisah atau merasa bersalah, pengen berbaikan lagi dengan Noah.

Tokoh-tokohnya juga likeable. Noah si pemimpi – duh gue pengen gitu bisa bikin sketch kaya’ Noah. Atau Jude yang percaya sama hal-hal yang rada mistis. Gue suka hubungan antara Noah dan Jude, dengan hubungan yang gak terlalu harmonis, tapi mereka tetap saling melindungi, biarpun hanya dari jarak jauh.

Ooo.. gak ketinggalan Granma Sweetwine, dengan bible-nya yang berisi hal-hal superstitious, yang punya panggilan sayang untuk Tuhan. J

Submitted for:

Lucky No. 15 Reading Challenge – kategori: Cover Lust
New Author Reading Challenge 2015

Project Baca Buku Cetak 2015

Friday, August 14, 2015

Al Capone Does My Shirts


Al Capone Does My Shirts
Puffin Books
April 2006
288 hal.

Aduh ya ampunnn… udah lama banget sejak terakhir gue nulis blog ini. Entah kenapa mood nulis, bahkan mood baca rada menurun. Satu buku bisa lama banget gue selesain. Dan kalo pun udah selesai baca, ya udah, balikin lagi ke rak buku, terus lupa mau di-share di blog.

Mumpung lagi agak lowong dan agak-agak pengen santai dikit, gue mencoba mengingat-ingat beberapa buku terakhir yang gue baca.

Baca buku kategori anak memang selalu menyenangkan, gak harus melulu bercerita tentang hal-hal yang happy sepanjang buku, tapi juga cerita segala kerumitan dalam dunia anak yang kadang bikin gue ngerasa, masalah yang gue hadapi belum seberapa dibanding yang ada di dalam cerita.

Al Capone Does My Shirts – judulnya menggoda banget, selain cover-nya yang merah cerah. Siapa yang gak tau Al Capone, seorang gangster Amerika yang sangat berbahaya. Ia terlibat dalam berbagai kriminal – sebut aja penyelundupan minuman keras, penggelapan pajak, bahkan prostitusi. Tapi, ia juga bagai Robin Hood, di mana ia menggunakan uang illegal untuk membantu berbagai berbagai kegiatan amal. Al Capone juga diduga mendalangi sebuah pembunuhan masal di hari Valentine. Ia pun ditahan di penjara Alcatraz, sebuah penjara yang sangat ketat, dikenal dengan sebutan The Rock.

Okelah … ini bukan buku tentang Al Capone. Ini tentang Moose, anak laki-laki berusia 12 tahun yang harus pindah ke Pulau Alcatraz karena ayahnya mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga penjara. Tentu saja pindah ke pulau, jauh dari pusat kota, menjadi hal yang menyebalkan buat Moose. Kebayang betapa membosankannya , ia harus meninggalkan teman-teman lama-lamanya, masuk ke sekolah yang baru, beradapatasi lagi.  Belum lagi, ia harus menemani kakak perempuannya, Natalie yang mengidap sindrom autis. Ayahnya sibuk bekerja, sementara ibunya juga mencurahkan seluruh perhatian untuk Natalie. Tentu saja sebagai ibu, ia berharap Natalie bisa menjadi gadis ‘normal’, berkomunikasi dengan baik. Hal ini kadang membuat Moose merasa terabaikan, dan ingin sedikit merasakan kebebasan tanpa harus dibebani tugas untuk menjaga Natalie.

Di tempat  baru ini, Moose mulai berkenalan dengan beberapa anak sebaya – ada yang menjadi teman, dan ada satu anak perempuan yang ngeselin dan merasa sangat berkuasa hanya karena dia anak sipir Penjara Alcatraz. Dan mulailah Moose ‘terlibat’ dalam sebuah kegiatan yang melibatkan nama Al Capone untuk menarik perhatian. Melihat narapidana di Alcatraz, apalagi yang sekaliber Al Capone menjadi keinginan tersendiri bagi para anak-anak itu. Karena melihat narapidana adalah hal yang terlarang di Alcatraz.  Maka sekecil apa pun hal-hal yang berhubungan dengan narapidana menjadi hal yang menarik untuk anak-anak itu. Jadi dihembuskanlah desas-desus bahwa baju-baju mereka akan dicuci oleh Al Capone. Karuan saja, meskipun antara percaya dan tak percaya, teman-teman baru Moose tergoda untuk merelakan uang mereka demi agar baju mereka dicuci oleh Al Capone.

Gak kebayang gimana rasanya tinggal di lingkungan penjara. Apakah akan mengerikan, takut atau gak nyaman? Tapi katanya, justru di sinilah tempat yang paling aman. Ya, liat aja, para narapidana kan terkunci dengan ketat di balik jeruji, dengan penjagaan yang super ketat. Konon katanya lagi, pagar-pagar tak terkunci, anak-anak juga bebas bermain sampai  batas-batas yang ditentukan. Hanya saja, para perempuan – anak-anak atau dewasa, harus berpakaian tertutup. Karena kan .. .mmm.. ada banyak narapidana pria yang bertahun-tahun gak liat perempuan, jadi ya jaga-jaga aja deh… jadi, the most scariest place in the world, justru tempat yang paling aman. Belum lagi, ternyata fasilitasnya juga lengkap – kantor pos, sekolah, toko kelontong dan fasilitas penunjang lain. Gambaran ini membuat gue mendapatkan banyangan seperti apa keadaan keluarga Moose.

Satu lag yang menarik, buku ini gak hanya bercerita tentang petualangan Moose di Alcatraz, tapi juga sekelumit kisah tentang keluarga yang salah satu anggotanya pengidap sindrom autis. Bagaimana sang ibu yang berusaha keras agar Natalie bisa mendapatkan pendidikan atau terapi yang bisa membantunya keluar dari dunianya sendiri, bagaimana ayah Moose yang bekerja keras atau Moose yang menyayangi kakaknya, tapi juga kadang emosi dan frustasi hingga ingin menjauh dari kakaknya.


Gennifer Choldenko mengangkat kisah seputar keluarga yang tinggal di Alcatraz. Di bagian akhir cerita, ada beberapa wawancara dengan anak-anak yang dulu tinggal di sana. Dan Al Capone Does My Shirts adalah salah satu buku dari 3 seri Al Capone at Alcatraz.

Submitted for:

Lucky No. 15 Reading Challenge – kategori: Freebies Time
New Author Reading Challenge 2015
Children Literature Project

Project Baca Buku Cetak 2015
 

lemari bukuku Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang